Ads 468x60px

Saturday, June 1, 2013

Hadis di Mata Joseph Schacht dan Juynboll

Secara historis pengalaman Barat terhadap beradabaan Muslim sudah dimulai sejak abad 11, ketika Adalusia (Spanyol) berada pada masa keemasan dan menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Pada saat itu orang-orang Eropa bersekolah dan belajar di perguruan Arab. Pada saat ini kemunculan orentalis Barat dapat diidentikkan sebagai tarap “kesadaran awal” untuk menguasai bahasa Arab untuk menterjemahakan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat yang berbahasa Arab ke bahasa latin, yang pada saat itu merupakan bahasa ilmiah. Jadi, pada fase ini tujuan orenatalis atau akativitas orentalis lebih berorentasi pada pemindahan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dunia Islam ke Eropa. Pada masa ini pembahasan tentang Hadis belum terjadi.
Sejarah mencatat pada tahun 1096-1291 terjadilah perang Salib antara Kristen-Barat dan Islam-Timur, peristiwa ini menimbulkan kekalahan bagi Barat-Kristen. Lalu tidak lama setelah itu kerajaan Ottoman (Usmani) mengadakan ekspansi atau serangan ke Eropa yang menyebabkan jatuhnya sejumlah kota seperti Andrionopel tahun 1366, Konstinopel (Istambul) tahun 1453 M. Menurut hemat Hasan Hanafi Islam pada tahun tersebut tersebar dan menguasai seperempat bumi Eropa di Andalusia, pulau laut Putih dan Eropa utara Prancis, bagian utara Italia, Sicilia, Creete, Yunani, Cyprus, dan Eropa Timur.
Pada abad 17-18 disebut sebagai abad pencercahan (enilightement), karena pada masa ini arah kecendrungan untuk mengkaji bidang Hadis, seiring perhatiannya terhadap keIslaman secara makro, nampaknya semakin mengeliat. Kongkritnya kajian mereka memuncak pada abad 19-20 terhadap ilmu Hadis dan ilmu-ilmu semisalnya. Di antara oreintalis yang berkecimpung dalam bidang Hadis pada masa ini adalah, Leon Caetani, A Spereger, Eduwerd E Salib Bury, Igez Golgoldeher, Alfred, Jemes Reosen, GHA. Jonball, Joseph Schacht Deinel. W. Drow, dan masih banyak lagi nama-nama orentalis yang tidak dapat disebut dalam makalah ini. Di antara nama-nama di atas yang paling menonjol dalam pemikiran dan karya-karyanya tetang Hadis adalah Igaz Goldzeher (1850-1921) Joseph Schacht (1902-1969 dan GHA. Juynboll. 
Hadis merupakan ucapan, tindakan, serta sikap dan pesan Nabi terhadap sesuatu yang menyangkut kehidupan beragama. Hadis dalam risalah Islam merupakan teladan yang harus diikuti. Sebagai catatan penting dalam sejarah Islam bahwa pada dasarnya sebagian besar Hadis diriwayatkan secara lisan (oral transmition) oleh Sahabat dan hanya sebagian kecil sahabat meriwayatkan secara tulisan. Agama Islam merupakan objek studi Sarjana Barat, bahkan Islam merupakan sudah menjadi karir Barat yang melahirkan orenatalis dan Islamolog Barat dalam jumlah yang besar. Sarjana Barat menaruh perhatian yang besar pada studi Islam, karena mereka memandang Islam bukan hanya sekedar agama, ia juga sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan kebudayaan yang perlu diperhitungkan. Sebagaimana kita ketahui orientalis adalah Sarjana Barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran meliputi agama, adat istiadat, bahasa, sastra, dan masalah lain yang menarik perhaitain mereka.
Sebelum lebih jauh menguaikan teori Comman Link ada beberapa faktor kesalahpahaman Barat selama ini terjadi kepada dunia Timur, khususnya dalam hal ini adalah agama Islam. Faktor-faktor itu antara lain: Pertama, Barat memandang Timur khususnya Islam sebagai bangsa dan agama yang Inferior, sedangkan mereka merasa sebagai bangsa Superior. Demikian juga mereka melihat Islam sebagai agama teror, agama perusuhan, dan gerombolan orang bar-bar yang patut dibenci. Kedua, sikap apologis. Masyarakat Barat memandang Islam sebagai agama inferior terkait erat dengan sikap apologis. Sikap apologis itu bertujuan menyerang dasar keyakinan Islam dan untuk memperkuat kedudukan agama Kristen. Orang Barat menyebut agama Islam dengan “Muhammadaisme” bertolak dari pandangan agama Kristen tentang Kristus sebagai basis agama Kristen. Pemberian nama Muhammadanisme tersebut untuk menumbukhakan kesan bahwa Islam itu ciptaan Muhammad, bukan agama yang diturunkan Allah swt.
Ketiga, pandangan negatif lainnya adalah Islam sebagai salah satu sekte Yahudi atau Keristen yang sesat. Sejarah dunia Islam mencatat pada abad 19 pertengahan Masehi hampir seluruh bagian dunia Islam masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois Spenger pertama kali mempersoalkankan masalah status Hadis dalam Islam. Spenger berasal dari Jerman dalam pendahuluan bukunya mengenai Riwayat Hidup Muhammad mengkliam bahwa Hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Klaim ini juga di-amini oleh rekan satu misinya William Muir, oreintalis asal Jerman ini juga mengkaji biografi Nabi Muhammad dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam lereratur Hadis nama Nabi Muhammad sengaja dicatut untuk menutupi kebohongan dan keganjilan (the name of muhamet was abuse to support all possible lies and absurdities.

Asumsi Ignes Goldzaher dan Jyunboll 
Persoalan mengenai asal usul Hadis masih menjadi bahan perdebatan di tengah pemikir-pemikir Hadis dari dulu samapai sekarang. Sejumlah pemikir meragukan apakah semua Hadis itu dapat dibuktikan secara histories berasal dari Nabi, dan sebagian yang lain mempercayai bahwa semua Hadis itu berasal dari Nabi. Masing-masing kelompok mempunyai argumentasi yang nampaknya sama-sama menyakinkan.  Ignez Goldzaher (1850-1921) yang termasuk kelompok pertama mengatakan bahwa fenomena Hadis memang berasal dari zaman Islam yang paling awal, hanya saja kandungan Hadis memebengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim, materi Hadis berjalan pararal dengan dokterin-dokterin fiqh dan ideologi yang saling bertentangan.
Dari sini kemudian Ignez Goldzaher buru-buru menyimpulkan bahwa sangat sulit menentukan Hadis-hadis orisinal yang berasal dari Nabi. Sebagian besar materi Hadis dalam koleksi Hadis menurutnya adalah hasil pengembangan keagamaan, histories, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau dengan ungkapan lain Hadis adalah refleksi dari kecedrungan yang nampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut. Akibatnya, produk-produk kompilasi Hadis yang ada saat ini tidak dapat di percayai secara keseluruhan sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi. Dengan kata lain Hadis itu adalah bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi wafat, dan bukan berasal atau asli dari Nabi.
Sebenarnya penelitain para orentalis ini dapat dibagi menjadi dua, pertama periode awal (pra-Goldzeher) disimpulkan bahwa Hadis bukanlah ucapan dan perbuatan yang sebenarnya dari Nabi Muhammad. Konsekuensi dari anggapan ini bahwa ulama-ulama (muhaddisin) tidak diindahkan atau diabaikan, karena dipandang tidak pernah ada. Menutut mereka, Hadis adalah karya manusia belaka yang tidak memiliki kebenaraan agama sama sekali.
Kedua, tentang penelitian Hadis yang dilakuakan oleh orentalis tercapai ketika Igaz Goldzeher menerbitkan karyanya “Muhamadanische Studien” di samping karyanya yang lain “Die Zahiriten” karya di atas adalah puncak tulisa-tulisan Goldzher. Titik tolak dari teori Goldzeher adalah sebagai berikut: pertama, Dapat dibenarkan yang berasal dari masa hidup Muhammad hanya al-Qur’an dan yang lain berasal dari buatan kaum Muslimin dari abad ke II dan III H./ VII dan IX M. Kedua, Dasar dari anggapan tersebut adalah bukti-bukti riil menujukkan bahwa masyarakat Islam sebelum abad II dan ke III adalah masyarakat yang belum memiliki kemampuan yang cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan, buta hurup masih merata dan kebudayaan hanya terpusat di lingkungan raja-raja (di kota-kota besar).
Ketiga, Di samping dasar-dasar tersebut di atas adalah kelangkaan peninggalan tertulis yang nyata-nyata menujukkan bahwa Hadis dipelihara dengan sadar secara tertulis lalu di turunkan dari generasi ke generasi yang sampai pada permulaan abad II Hijriyah ketika Ibnu Shihab al-Zuhri mulai menuliskan teks-teks Hadis. Ignez Goldzaher mengakui adanya sejumlah kecil Hadis memang tepelihara teksnya dari guru ke murid secara berantai, tetapi sebagian besar Hadis yang terkumpul dalam corpus Hadis ternyata tidak dapat dipastikan benar-benar berasal dari Nabi Muhammad saw. Alasannya demikan sulitnya mencari mana yang di antara sekian ratus ribu Hadis yang benar-benar berasal dari kehidupan beliau. Dari sini kemudian, ia katakan bahwa Hadis secara jeles harus dinyatakan tidak berasal dari masa tersebut. Kongklusinya menurut Goldzeher Hadis yang berasal dari ungkapan Nabi Muhammad itu tidak dapat di terima secara ilmiah, dan yang dapat diterima adalah Hadis sebagai Sunnah. 
Penulisan dan membukukan Hadis secara resmi terjadi pada abad ke II hijriyah yang diseponsori oleh seorang khalifah yaitu Umar bin Abd Aziz, dari bani Umaiyah, dengan mengintrusikan kepada seluruh ulama untuk mengumpulkan Hadis-hadis Nabi. Atas intruksi dari khalifah, Ibnu Hazm mengumulkan Hadis-hadis baik yang ada pada dirinya sendiri atau yang ada pada Amrah, seorang tabi’iy wanita yang banyak meriwayatkan Hadis Aisyah, demikian pula Ibnu Syhab Azuhri, seorang Imam dan ulama besar hijaz dan Syam. Walupun harus dicatat pula, sebelumnya ada Hadis Nabi yang sudah ditulis (tadwinkan) oleh beberapa orang sahabat dan tabi’in, di antaranya: Abdullah bin Amr bin Ash, salah seorang sahabat Nabi yang selalu menulis apa-apa yang didengar dari Nabi dan jumlah Hadis yang terkumpul kurang lebih 1000 Hadis yang kemudian naskah ini disebut dengan Ash-shifah Ash-ashadiqah karena hal ini ditulisnya secara langsung dari rasul.
Kemudian diteruskan oleh keluaraganya untuk dijaga dan dihafal. Ada pula sahabat yang bernama Jabir bin Abdullah al-Anshary r.a (16-73 H.) naskah ini kemudian disebut oleh para ulama dengan Shahifah Jabir. Dan terakhir seorang tabi’in bernama Hammam bin Munabbih diceritakan punya sebuah naskah Hadis. Hamam bin Munabbih adalah seorang tabi’in yang alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah. Dari situ kemudian bermunculan kitab-kitab separti Al- Muawwatta’ karya Imam Malik pada tahun 144 H. disusul  usnad Imam Syafi’i. Karya Imam Sayfi’i ini mencantumkan semua musnad-musnadnya pada kitab yang diberi nama al-Umm.
Pada awal ketiga ini bangkitlah para ulama-ulama seperti: Musa al-Abbasy, Musaddad al-Basry, Asad bin Musa, Nu’aim bin Hammad al-Khazai’ menyusun kitab-kitab musnad untuk memisahkan mana Hadis Nabi dan mana fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in. Namun pada saat tersebut kenyataanya masih banyak Hadis-hadis yang lemah yang belum terpisahkan. Kelemahan kitab-kitab Hadis tersebut menginspirasikan para ulama ahli Hadis di abad ketiga pertengahan untuk bergerak cepat menyelamatkanya. Mereka membuat kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu Hadis itu apakah shahih atau dha’if. Maka pada periode inilah tekumpul Hadis-hadis shahih dari para ulama-ulama seperti Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhary (194-256 H.) dengan kitab Hadisnya yang terkenal Shahih Bukhary atau al-Juwami Shahih. Dalam kitab ini sekitar 8122 Hadis Shahih.
Kemudian Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusairy (204-261 H.) dengan kitabnya bernama Shahih Muslim atau al-Jawamius Shahih di dalamnya terdapat Hadis sebanyak 7273. Di samping itu juga teradapat kitab-kitab Musnad yang mengadung segala jenis Hadis, baik shahih, hasan maupun dha’if, kecuali Hadis yang sangat dha’if dan mungkar. Pada abad ketiga disusul pula dengan kreatif ulama Hadis-hadis seperti Sunnan Abu Daud, Sunnan at-Tirmidzy, Sunnan an-Nasai’I dan Sunnan Ibnu Majah  Dengan demikan, sebetulnya sudah jelas kodifikasi Hadis dari masa ke masa secara selektif, sehingga asumsi orang Muslim kecil kengkinan atau sebagian kecil saja Hadis-hadis yang tidak jelas ujung pangkalnya. Dengan kata lain, bahwa Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Hadis saat sekarang ini betul-betul berasal dari Nabi dan wajib dipercayainya, walaupun tidak seluruhnyanya. Hadis dalam pandangan umum masyarakat muslim (word view) bukan buatan para sahabat dan tabi’in, seperti yang dianggap para orentalis. selanjutnya pemakalah menguraikan teori Comman Link¬-nya Josehp Schacht dan Juynboll. 
Teori Cammon Link adalah istilah di mana seseorang periwayat yang mendengar sesuatu dari -jarang lebih dari satu-seseorang yang berwenang lalu menyebarkan atau menyiarkan kepada sejumlah murid yang pada gilirannya juga mereka menyiarkannya kepada dua atau tiga lagi murid. Dengan kata lain teori ini adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan Hadis kepada lebih dari satu murid. Hal in bisa terjadi baik dari generasi awal (sahabat), tengah (tabi’in) atau akhir (tabi’ut tabi’in).
Setiap zaman senantiasa muncul para pemikir yang tertarik untuk meneliti Hadis. Ini dapat di lihat dari buku-buku ilmu Hadis atau jurnal-jurnal internasional yang banyak berkembang dewasa ini. kajian terhadap Hadis dalam karya itu pada umumnya bersifat filsosofis. Para penulis lebih banyak membicarakan apa yang seharusnya disebut Hadis, bukan apa yang senyatanya dari Hadis itu. Sementara kajian yang didasarkan pada kajian murni Ilmiah baru terjadi pada abad 19, yang dilakukan oleh orientalis. Namun hasil dari studi mereka, khususnya pada Hadis kurang biasa diterima oleh umat Islam. Seperti teori Comman Link oleh Josep Schacht (1902-1969) yang mengklaim diri sebagai penerus Golzher menyatakan “we shall mast not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic” bahwa isnad memiliki kecenderungan untuk berkembang kebelakang. Menurutnya isnad berasal dari bentuk sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengkaitkan dokterin aliran-aliran fiqih klasik kepada tokoh-tokok yang lebih awal seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi, karena isnad merupakan rekayasa sebagai hasil dari pertententangan antara aliran fikih klasik dan ahli Hadis, tak satu pun Hadis Nabi, lebih-lebih yang berkenaan dengan masalah hukum dapat dipertanggung jawabkankan sebagai Hadis shahih. Singkatnya Hadis tidak berasal dari Nabi, tapi dari generasi tabi’in.
Joseph Schacht orentalis kelahiran Jerman yang ketutunaan Yahudi ini juga mengatakan senada dengan Igaz golzhiher, “A gread many traditions in the classical and other collections were put into circulation only after Safi’i time, the fist considerable body of legal tradition from prophet originated to word middle of the second century”, dia mengklaim bahwa Hadis baru muncul pada abad kedua hijriyah dan baru beredar luas setelah zaman Iman syafi’i. Menurutnya “Even the classical corpus contains a great many tradition which cannot possible be outhentic” maksudnya Hadis-hadis yang terdapat dalam al-Kuttub Sittah sekalipun tidak dapat dijamin keasliannya. Lebih jauh ia berpendapat “The no reason to suppose that the regular practice of using isneds is older than the beginning of the second century”, bahwa sistem periwayatan berantai alias isnad merupakan alat justifikasi dan otorisasi yang baru diperaktikkan pada abad kedua hijriyah.
Senada dengan Schacht adalah G.H.A Juynboll, mengaku dirinya sebagai pengembang, bukan penemu dari teori tersebut, dalam tulisannya selalu merujuk kepada Schacht seraya menyatakannya sebagai pembuat istilah Comman link dan yang pertama kali memerkenalakan “The Origns”. Mesti demikian Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai. Sebenarnya fenomena ini (teori Comman Link) sudah dikenal oleh para ahli Hadis di kalangan Islam. At-Tirmizi dalam koleksi Hadisnya menyebut Hadis-hadis yang menujukkan adanya seorang periwayat tertentu, misalnya si A sebagai Comman link dalam isnadnya, dengan Hadis-hadis si A istilah tehnis yang dipakai Tirmizi untuk menggambarkan gejala seperti itu adalah madar (poros). Hadis-hadis itu ternyata membentuk sebagian besar Hadis garib. Yaitu Hadis yang diriwayatkankan oleh seseorang periwayat tunggal pada tingkatan (tabaqat) isnad tertentu. Tapi kelihatannya para ahli Hadis di kalangan Islam tidak menyadari sepenuhnya impelikasi dari gejala tersebut terhadap problem penanggalan Hadis. 
Gambarannya dalam kasus ini menurut Schacht, sebuah Hadis yang biasanya diedarkan oleh seorang ahli Hadis yang disebutnya sebagai NN, atau seorang yang menggunakan namanya pada saat tertentu, dalam perkembagannya secara alami Hadis itu diriwayatkan oleh seseorang atau bebeapa periwayat pada generasi berikutnya dan sebagai akibatnya bagian isnad yang ke bawah cendrung menjadi beberapa jalur isnad. Sebagai seorang periwayat yang memperomosikan Hadis NN menyediakan isnad yang kembali pada otoritas yang lebih tinggi seperti sahabat dan Nabi. Bagian daripada isnad merupakan bagian palsu yang dibikin oleh NN sebagai upaya penyempurnaan, ia pun sering kali membut jalur-jalur tambahan (edditon brechhes) dengan menciptakan isnad-isnad tertentu di samping isnad-isnad yang asli atau melalui proses penyebaran isnad. Walaupun demikian, NN tetap sebagai Comman link bagi seluruh atau sebagian besar isnad dari Hadis-hadis tertentu menjadi indikasi yang kuat bahwa Hadis tesebut berasal dari periwayat yang menjadi Comman link.
Fenomena ini, klaimnya tidak sedekar hipnotes, tetapi sudah merupakan kejadian umum (commom accerrence). Oleh sebab itu, jika terdapat Hadis yang memiliki isnad yang berbeda, tetapi masih dalam satu matan yang tekait erat menjukkan adanya gejala Comman link, maka dapat disimpukan bahwa Hadis itu bersumber dari seorang periwayat yang menjadi Comman link yang disebut dalam isnad.
Schacht telah mengemukakan contoh yang menujukkan gejala Commom link atau dengan istilah lain Comman transmitter. Misalnya dalam karya as-Syafi’i, al-Ikhtilaf al-Hadis, terdapat sebuah Hadis memiliki isnad, untuk lebih jejasnya dapat dilihat pada lampiran diagram satu di bawah. Dalam diagram satu ini kata Schacht, Amr bin Abi Amr merupakan Comman link dari seluruh jalar isnad Hadis yang diriwayatkan oleh Syafi’i Amr-lah yang membuat Hadis tersebut bersambung dengan Jabir dan dengan Nabi. Bagian bawah dari isnad tersebut adalah bagian otentik, sementara bagian atas isnad hanya buatan dari Amir bin Amr semata.
Dalam upaya memperbaiki isnad, Amr juga mengemukakan jalur-jalur tambahan, yakni jalur dari seorang laki-laki dari Bani Salamah. Dengan demikian, Hadis ini sebenarnya bersumber dari Amir bin Amr karena ia adalah orang pertama yang menyerahkan Hadis ke beberapa periwayat Hadis beriktnya, dan bukan dari Muthtalib, dan bukan dari Jabir atau Nabi. Berbagai impelikasi yang ditimbulkan oleh teori Comman link Juynboll memberi indikasi yang sangat kuat bahwa ide-ide Juynboll tentang sejarah awal periwayatan Hadis lebih dekat dan lebih sejalan dengan Goldziher dan Schacht, dan kedua pendahulunya yang merupakan wakil utama dari kelompok revisionis. Dalam banyak hal, baik teori maupun temuan tidak lebih dari Syrah dan perluasan atas ide-ide Goldziher dan Schacht. Sebaliknya berbeda pendapat dengan para memikir lain seperti pendapat Nabi Abott, Sezgib dan Azami demikan juga Fazlur rahman.
Kesimpulan Schacht ini dianggap tidak berdasar oleh Azami diagram satu di bawah ini, kata Azami dapat menimbulkan kesalahpaham bagi para pembaca alasannya pertama, dalam diagram 1 itu digambarkan seolah-olah Amir meriwayatkan Hadis dari ketiga orang guru, yakni dari Muthatib yang disebutkan dua kali dalam diagram 1 dan dari seorang laki-laki dari Bani Salamah. Kedua, Schacth kelihatannya salah paham atau tidak memahami teks dalam al-Ikhtilaf Hadis. Dalam buku itu Syafi’i sebenarnya ingin membandingkan tiga murid Amir dan menyalahkan Abd Aziz ketika menyebut seorang laki-laki dari suku Bani Salamah sebagai guru Amir. Di sisi lain, Ibrahim bin Yahya adalah periwayat yang lebih kuat dari Abd Aziz, lebih-lebih pernyataan itu didukung oleh pernyataan Sulaiman.
Oleh sebab itu, Amar sebenarnya meneriama Hadis tersebut hanya melalui satu jalaur isnad, yakni jalur Muthathib–Jabir–Nabi seperti lampiran diagram dua di bawah. Kembali kepada pendapat Juynboll sering kali mengemukanakan sebuah asumsi dasar yang menjadi pijakan dalam meneliti sebuah Hadis serta memperkenalkan beberapa istilah tehnis yang relatif baru yang berhubungan erat dengan Comman link. Prinsip itu mengatakan “The more transmission lines come togetheder in one transmitter, ather reaching him or going a way from him, the more this transmitter and his transmission have a claim to history” (bahwa semakin banyak jalaur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, maka semakin besar seorang periwayat dan periwayataannya memiliki klaim kesejarahaan). Dengan demikian, hematnya Hadis itu tidak dapat di pertanggung jawabkan keasliannya.

Respon Pemikir Muslim
Banyak karya-karya tulis ilmiah yang menanggapi keraguan otentisitas terhadap Hadis yang dilontarkan oleh dua tokoh tersebut di atas. Di antara mereka adalah Nabia Abbot dalam bukunya Studies in Literary Papyari Qurani’c Commentary and Tradition, menegaskan bahwa Hadis-Hadis Nabi Muhammad saw. dapat ditelusuri kebenarannya sampai pada masa Nabi dan bukan buatan umat Islam setelah abad pertama hijriyah.
Pandangan ini didasrarkan pada manuskrip-menuskrip yang berhubungan dengan Hadis-hadis Nabi. Fazlur Rahman mengembangkan kritiknya terhadap tesis Goldzeher dan Joseph Schacht tersebut. Menurut Rahman, mereka gagal menemukan perbedaan penting antara Hadis dan Sunnah, akibatnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa Sunnah Nabi dalam kenyataanya bukanlah dari Nabi, tetapi merupakan tradisi umum di tengah-tengah masyarakat Islam, Rahman mengatakan sebagai berikut:
”Tidak seorangpun dari ontentalis ini yang menyatakan perbedaan atau memutuskan persoalan apakah sunah yang terjadi awal masyarakat Muslim ini dipandang sebagai sunah, karena kedudukannya sebagai kebiasaan Arab pra Islam, atau karena Al-Quran telah memperkenalkan modifikasi kedalamnya, menyetujui bagian yang selebihnya dengan kebijaksana” 
Daud Rasiyd, dari Islam garis kanan, tidak mau ketinggalan untuk mengomentari hal tersebut dengan menyatakan bahwa tuduhan tersebut secara histories dan realitas tidaklah beralasan. Alasanya singkat, Nabi meninggal dunia setelah bangunan Islam ini benar-benar sempurna. Lebih lanjut Daud Rasyid mengatakan bahwa untuk mengetahui matangnya Islam periode pertama, cukup lihat kesiapan Umar bin Khattab menangani dan dua imprium besar (Persia dan Romawi) ketika itu yang berhasil dikuasai Islam. Khalifah Umar mampu menjalankan roda pemerintahan yang sangat besar itu. Sekiranya Islam pada masa fase sunyi mustahil rasanya Umar dapat memikul tugas berat itu dalam mengendalikan dua kerajaan tersebut.
Pada bagian lain tuduhan itu juga dibantah oleh MM. Azami ia mengatakan bahwa tulisan-tulisan Hadis itu sudah ada sejak rasul masih hidup. Terdapat banyak menuskrip-menuskrip yang menyimpan tulisan-tulisan Hadis. Abdurahman Wahid pula mengatakan sebagai berikut: pertama, Hadis tidak diturunkan hanya dengan lisan belaka. Hal yang menujang bukti ini dengan menerbitkan tiga buah corpus Hadis yang dieditnya dalam disertasinya, yaitu naskah-naskah Suhail bin Ali Shalih, Ubaidillah bin Umar dan Ali al-Yaman, yang kesemuanya berasal dari abad pertama hijriyah.
Dengan demikian, tuduhan bahwa Hadis mudah dipalsukan dan tidak otentik menjadi tidak terbukti lagi. Kedua, Penelitan atas istilah-istilah yang mengunakan dalam referesni Hadis menujukkan bahwa berita yang menyatakan Ibnu Siyhab al-Zuhri adalah orang pertama yang menuliskan Hadis pada permulaan abad kedua hijriyah mengandung arti lain daripada yang diduga atau yang diterima secara umum selama ini. MM Azami membuktikan bahwa al-Zuhri adalah pengumpul (compiler) belaka pada semua koleksi naskah-naskah Hadis yang telah dibukukan selama setengah abad sebelumnya. Demikian pula, istilah-istilah yang selama ini hanya dianggap memiliki konotasi transmisi Hadis secara lisan, dianggap oleh MM Azami memiliki arti tulisan dan tertulis.
Ketiga, Pembuktian tentang kesalahan dalam memahami Hadis-hadis yang melarang penulisan Hadis oleh Nabi Muhammad saw. oleh Azami dibuktikan hanya ada satu yang otentik dan yang lainya lemah. Adapun yang satu ini, bukanlah melarang Hadis secara umum, melainkan larangan menulis Hadis dalam kertas, seperti kain, muka tulang, atau pelepah korma yang telah berisikan ayat-ayat al-Qura’n, guna menghindari kekeliruan atau pecampuradukan. 
Adapun anggapan Goldzeher dan Schacht tentang kuatnya akses atau pengaruh politik pada perkembangan Hadis, seperti kebobrokan atau penyimpangan Khalifah Umaiyah, lahirnya ahli fiqh klasik dan oposisi ahli Hadis dalam pemalsuaan Hadis, atau tuduhan terhadap al-Zuhri yang bersekongkol dengan penguasa Umaiyah dalam pemalsuaan Hadis, juga medapat sorotan tajam dari sarjana Islam kontemporer khususnya. Seperti diketahui bahwa kritikus Hadis tidak mengenal keberatan atau rasa sungkan dalam menilai seorang rawi, dari cacat yang paling besar, hingga kekhilafan yang paling kecil habis dibongkar. Tuduhan Goldzeher terhadap al-Zuhri adalah satu tuduhan yang tidak berdasar sama sekali. Menurut Ibnu Sa’ad al-Zuhri adalah orang tsiqah, banyak ilmunya dan banyak Hadisnya, dan ia seorang faqih dan banyak lagi gelar-gelar yang disandang olehnya seperti al-Imam, al-Hafiz dan Hujjah.
Selain asumsi tersebut, tuduhan Goldzeher juga dianggap tidak berdasar, karena menurut Azami tidak ada bukti-bukti histories yang memperkuat tuduhan tersebut. Diperkirakan ketika al-Zuhri dituduh memalsukan Hadis, ia berumur 10-18 tahun. Karena itu sangatlah tidak mungkin seorang anak yang berusia seperti itu mampu meriwayatkan Hadis yang mengubah pelaksaan ibadah haji dari Mekkah ke Yaressalem. 
Adapun gambaran orentalis tentang kebobrokan khalifah-khalifah Umaiyah, tidak telalu tepat. Sebab dalam leterarur lain tercatat ada bebarapa Khalifah Umaiyah yang punya kategori sebagai orang-orang takwa. Ibnu Sa’ad dalam karyanya at-Tabaqah mengungkapkan biografi dan ketakwaan Khalifah Abdul Malik, sehingga orang menyebutnya “merpati masjid”, demikian pula Walid ibn Malik yang di zamannya banyak dibangun masjid, sehingga masa pengabdiannya disebut sebagai masa pembangunan. 

Renungan Kecilku
Joseph Schach dan Juynboll dua tokoh orientalis ternama dan paling menonjol dalam pempermasalahkan keberadaan Hadis dalam dunia Islam. Mereka telah mendekati Hadis dengan teori Comman link-nya untuk menyelidiki asal usul dan sejarah awal periwayartaan Hadis selama kurang lebih dua puluh tahun. Teori ini berpijak pada pada asmumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, maka semakin besar periwayat dan jalur periwayatannya memiliki klaim kesejarahan. Dengan kata lain, jalur periwayatan yang dapat dipercaya sebagai jalur histories adalah jalur yang bercabang lebih dari satu jalur.
Sementara jalur yang berkembang kepada satu jalur saja yakni, (single strain) tidak dapat dipercaya kesejaharannya. Joseph Schacht mengatakan bahwa semua Hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Hadis seperti Kuttubus sittah tidak dapat dijamin keasliaannya alias palsu, yakni bikinaan para generasi setelah Nabi. Dia hanya mengakui Hadis sebagai Sunnah dalam arti jalan atau cara hidup yang dijalani oleh Rasul dan diperaktekkan oleh para sahabat dan seterusnya.
Tesis ini barangkali tidak dapat dibenarkan secara mutlak. Memang harus diakui bahwa kodifikasi hadis terlambat datang. Kaum Muslimin secara histories terlambat sadar akan pentingnya budaya baca dan tulis-menulis, merupakan pelung untuk mempertanyakan dan meragukan keberadaan Hadis Nabi sebagai sumber hukum Islam. Di satu sisi kajian dan pendapat para oreinantalis “kecil kemungkinaan” bersikap objektif dalam meneliti leteratur-leteratur juga menjadi masalah tersendiri.

Jelas kerangka keilmuan serta teori yang dibangun tidak sama dengan para ulama Islam. Dalam konteks ini kemudian orang seringkali mencari jalur aman, (the middle way) yaitu memahami Islam dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an atau memahami dan mengamalkan Islam dalam persektif Sunnah daripada hadis yang sudah tereduksinya proses dan prosedurnya.

0 comments:

Post a Comment