Secara historis pengalaman Barat
terhadap beradabaan Muslim sudah dimulai sejak abad 11, ketika Adalusia
(Spanyol) berada pada masa keemasan dan menjadi pusat peradaban dan ilmu
pengetahuan. Pada saat itu orang-orang Eropa bersekolah dan belajar di
perguruan Arab. Pada saat ini kemunculan orentalis Barat dapat diidentikkan
sebagai tarap “kesadaran awal” untuk menguasai bahasa Arab untuk
menterjemahakan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat yang berbahasa Arab ke
bahasa latin, yang pada saat itu merupakan bahasa ilmiah. Jadi, pada fase ini
tujuan orenatalis atau akativitas orentalis lebih berorentasi pada pemindahan
ilmu pengetahuan dan filsafat dari dunia Islam ke Eropa. Pada masa ini
pembahasan tentang Hadis belum terjadi.
Sejarah mencatat pada tahun 1096-1291
terjadilah perang Salib antara Kristen-Barat dan Islam-Timur, peristiwa ini
menimbulkan kekalahan bagi Barat-Kristen. Lalu tidak lama setelah itu kerajaan
Ottoman (Usmani) mengadakan ekspansi atau serangan ke Eropa yang menyebabkan
jatuhnya sejumlah kota seperti Andrionopel tahun 1366, Konstinopel (Istambul)
tahun 1453 M. Menurut hemat Hasan Hanafi Islam pada tahun tersebut tersebar dan
menguasai seperempat bumi Eropa di Andalusia, pulau laut Putih dan Eropa utara
Prancis, bagian utara Italia, Sicilia, Creete, Yunani, Cyprus, dan Eropa Timur.
Pada abad 17-18 disebut sebagai abad
pencercahan (enilightement), karena pada masa ini arah kecendrungan untuk
mengkaji bidang Hadis, seiring perhatiannya terhadap keIslaman secara makro,
nampaknya semakin mengeliat. Kongkritnya kajian mereka memuncak pada abad
19-20 terhadap ilmu Hadis dan ilmu-ilmu semisalnya. Di antara oreintalis yang
berkecimpung dalam bidang Hadis pada masa ini adalah, Leon Caetani, A Spereger,
Eduwerd E Salib Bury, Igez Golgoldeher, Alfred, Jemes Reosen, GHA. Jonball,
Joseph Schacht Deinel. W. Drow, dan masih banyak lagi nama-nama orentalis yang
tidak dapat disebut dalam makalah ini. Di antara nama-nama di atas yang paling
menonjol dalam pemikiran dan karya-karyanya tetang Hadis adalah Igaz Goldzeher
(1850-1921) Joseph Schacht (1902-1969 dan GHA. Juynboll.
Hadis merupakan ucapan, tindakan, serta
sikap dan pesan Nabi terhadap sesuatu yang menyangkut kehidupan beragama. Hadis
dalam risalah Islam merupakan teladan yang harus diikuti. Sebagai catatan
penting dalam sejarah Islam bahwa pada dasarnya sebagian besar Hadis
diriwayatkan secara lisan (oral transmition) oleh Sahabat dan hanya sebagian
kecil sahabat meriwayatkan secara tulisan. Agama Islam merupakan objek studi
Sarjana Barat, bahkan Islam merupakan sudah menjadi karir Barat yang melahirkan
orenatalis dan Islamolog Barat dalam jumlah yang besar. Sarjana Barat menaruh
perhatian yang besar pada studi Islam, karena mereka memandang Islam bukan
hanya sekedar agama, ia juga sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan
kebudayaan yang perlu diperhitungkan. Sebagaimana kita ketahui orientalis
adalah Sarjana Barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran
meliputi agama, adat istiadat, bahasa, sastra, dan masalah lain yang menarik
perhaitain mereka.
Sebelum lebih jauh menguaikan teori
Comman Link ada beberapa faktor kesalahpahaman Barat selama ini terjadi kepada
dunia Timur, khususnya dalam hal ini adalah agama Islam. Faktor-faktor itu
antara lain: Pertama, Barat
memandang Timur khususnya Islam sebagai bangsa dan agama yang Inferior,
sedangkan mereka merasa sebagai bangsa Superior. Demikian juga mereka melihat Islam
sebagai agama teror, agama perusuhan, dan gerombolan orang bar-bar yang patut
dibenci. Kedua, sikap apologis.
Masyarakat Barat memandang Islam sebagai agama inferior terkait erat dengan
sikap apologis. Sikap apologis itu bertujuan menyerang dasar keyakinan Islam
dan untuk memperkuat kedudukan agama Kristen. Orang Barat menyebut agama Islam
dengan “Muhammadaisme” bertolak dari pandangan agama Kristen tentang Kristus
sebagai basis agama Kristen. Pemberian nama Muhammadanisme tersebut untuk
menumbukhakan kesan bahwa Islam itu ciptaan Muhammad, bukan agama yang
diturunkan Allah swt.
Ketiga,
pandangan negatif lainnya adalah Islam sebagai salah satu sekte Yahudi atau
Keristen yang sesat. Sejarah dunia Islam mencatat pada abad 19 pertengahan
Masehi hampir seluruh bagian dunia Islam masuk dalam cengkraman kolonialisme
bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois Spenger pertama kali mempersoalkankan masalah
status Hadis dalam Islam. Spenger berasal dari Jerman dalam pendahuluan bukunya
mengenai Riwayat Hidup Muhammad mengkliam bahwa Hadis merupakan kumpulan
anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Klaim ini juga di-amini oleh rekan
satu misinya William Muir, oreintalis asal Jerman ini juga mengkaji biografi
Nabi Muhammad dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam lereratur
Hadis nama Nabi Muhammad sengaja dicatut untuk menutupi kebohongan dan
keganjilan (the name of muhamet was abuse to support all possible lies and
absurdities.
Asumsi Ignes Goldzaher
dan Jyunboll
Persoalan mengenai asal usul Hadis masih
menjadi bahan perdebatan di tengah pemikir-pemikir Hadis dari dulu samapai
sekarang. Sejumlah pemikir meragukan apakah semua Hadis itu dapat dibuktikan
secara histories berasal dari Nabi, dan sebagian yang lain mempercayai bahwa
semua Hadis itu berasal dari Nabi. Masing-masing kelompok mempunyai argumentasi
yang nampaknya sama-sama menyakinkan. Ignez Goldzaher (1850-1921) yang
termasuk kelompok pertama mengatakan bahwa fenomena Hadis memang berasal dari
zaman Islam yang paling awal, hanya saja kandungan Hadis memebengkak pada era
selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim, materi Hadis berjalan pararal
dengan dokterin-dokterin fiqh dan ideologi yang saling bertentangan.
Dari sini kemudian Ignez Goldzaher
buru-buru menyimpulkan bahwa sangat sulit menentukan Hadis-hadis orisinal yang
berasal dari Nabi. Sebagian besar materi Hadis dalam koleksi Hadis menurutnya
adalah hasil pengembangan keagamaan, histories, dan sosial Islam selama dua
abad pertama, atau dengan ungkapan lain Hadis adalah refleksi dari kecedrungan
yang nampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut. Akibatnya,
produk-produk kompilasi Hadis yang ada saat ini tidak dapat di percayai secara
keseluruhan sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi. Dengan kata lain Hadis itu
adalah bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi wafat, dan bukan
berasal atau asli dari Nabi.
Sebenarnya penelitain para orentalis ini
dapat dibagi menjadi dua, pertama periode awal (pra-Goldzeher) disimpulkan
bahwa Hadis bukanlah ucapan dan perbuatan yang sebenarnya dari Nabi Muhammad.
Konsekuensi dari anggapan ini bahwa ulama-ulama (muhaddisin) tidak diindahkan
atau diabaikan, karena dipandang tidak pernah ada. Menutut mereka, Hadis adalah
karya manusia belaka yang tidak memiliki kebenaraan agama sama sekali.
Kedua,
tentang penelitian Hadis yang dilakuakan oleh orentalis tercapai ketika Igaz
Goldzeher menerbitkan karyanya “Muhamadanische Studien” di samping karyanya
yang lain “Die Zahiriten” karya di atas adalah puncak tulisa-tulisan Goldzher.
Titik tolak dari teori Goldzeher adalah sebagai berikut: pertama, Dapat
dibenarkan yang berasal dari masa hidup Muhammad hanya al-Qur’an dan yang lain
berasal dari buatan kaum Muslimin dari abad ke II dan III H./ VII dan IX M. Kedua, Dasar dari anggapan tersebut
adalah bukti-bukti riil menujukkan bahwa masyarakat Islam sebelum abad II dan
ke III adalah masyarakat yang belum memiliki kemampuan yang cukup untuk
memahami dogma-dogma keagamaan, buta hurup masih merata dan kebudayaan hanya
terpusat di lingkungan raja-raja (di kota-kota besar).
Ketiga,
Di samping dasar-dasar tersebut di atas adalah kelangkaan peninggalan tertulis
yang nyata-nyata menujukkan bahwa Hadis dipelihara dengan sadar secara tertulis
lalu di turunkan dari generasi ke generasi yang sampai pada permulaan abad II
Hijriyah ketika Ibnu Shihab al-Zuhri mulai menuliskan teks-teks Hadis. Ignez
Goldzaher mengakui adanya sejumlah kecil Hadis memang tepelihara teksnya dari
guru ke murid secara berantai, tetapi sebagian besar Hadis yang terkumpul dalam
corpus Hadis ternyata tidak dapat dipastikan benar-benar berasal dari Nabi
Muhammad saw. Alasannya demikan sulitnya mencari mana yang di antara sekian
ratus ribu Hadis yang benar-benar berasal dari kehidupan beliau. Dari sini
kemudian, ia katakan bahwa Hadis secara jeles harus dinyatakan tidak berasal
dari masa tersebut. Kongklusinya menurut Goldzeher Hadis yang berasal dari
ungkapan Nabi Muhammad itu tidak dapat di terima secara ilmiah, dan yang dapat
diterima adalah Hadis sebagai Sunnah.
Penulisan dan membukukan Hadis secara
resmi terjadi pada abad ke II hijriyah yang diseponsori oleh seorang khalifah
yaitu Umar bin Abd Aziz, dari bani Umaiyah, dengan mengintrusikan kepada
seluruh ulama untuk mengumpulkan Hadis-hadis Nabi. Atas intruksi dari khalifah,
Ibnu Hazm mengumulkan Hadis-hadis baik yang ada pada dirinya sendiri atau yang
ada pada Amrah, seorang tabi’iy wanita yang banyak meriwayatkan Hadis Aisyah,
demikian pula Ibnu Syhab Azuhri, seorang Imam dan ulama besar hijaz dan Syam.
Walupun harus dicatat pula, sebelumnya ada Hadis Nabi yang sudah ditulis
(tadwinkan) oleh beberapa orang sahabat dan tabi’in, di antaranya: Abdullah bin
Amr bin Ash, salah seorang sahabat Nabi yang selalu menulis apa-apa yang
didengar dari Nabi dan jumlah Hadis yang terkumpul kurang lebih 1000 Hadis yang
kemudian naskah ini disebut dengan Ash-shifah Ash-ashadiqah karena hal ini
ditulisnya secara langsung dari rasul.
Kemudian diteruskan oleh keluaraganya untuk
dijaga dan dihafal. Ada pula sahabat yang bernama Jabir bin Abdullah al-Anshary
r.a (16-73 H.) naskah ini kemudian disebut oleh para ulama dengan Shahifah
Jabir. Dan terakhir seorang tabi’in bernama Hammam bin Munabbih diceritakan
punya sebuah naskah Hadis. Hamam bin Munabbih adalah seorang tabi’in yang alim
yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah. Dari situ kemudian bermunculan
kitab-kitab separti Al- Muawwatta’ karya Imam Malik pada tahun 144 H.
disusul usnad Imam Syafi’i. Karya Imam
Sayfi’i ini mencantumkan semua musnad-musnadnya pada kitab yang diberi nama
al-Umm.
Pada awal ketiga ini bangkitlah para
ulama-ulama seperti: Musa al-Abbasy, Musaddad al-Basry, Asad bin Musa, Nu’aim
bin Hammad al-Khazai’ menyusun kitab-kitab musnad untuk memisahkan mana Hadis
Nabi dan mana fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in. Namun pada saat tersebut
kenyataanya masih banyak Hadis-hadis yang lemah yang belum terpisahkan.
Kelemahan kitab-kitab Hadis tersebut menginspirasikan para ulama ahli Hadis di
abad ketiga pertengahan untuk bergerak cepat menyelamatkanya. Mereka membuat
kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu Hadis itu apakah shahih atau
dha’if. Maka pada periode inilah tekumpul Hadis-hadis shahih dari para
ulama-ulama seperti Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhary (194-256 H.) dengan
kitab Hadisnya yang terkenal Shahih Bukhary atau al-Juwami Shahih. Dalam kitab
ini sekitar 8122 Hadis Shahih.
Kemudian Imam Muslim bin Hajjaj bin
Muslim al-Qusairy (204-261 H.) dengan kitabnya bernama Shahih Muslim atau
al-Jawamius Shahih di dalamnya terdapat Hadis sebanyak 7273. Di samping itu
juga teradapat kitab-kitab Musnad yang mengadung segala jenis Hadis, baik
shahih, hasan maupun dha’if, kecuali Hadis yang sangat dha’if dan mungkar. Pada
abad ketiga disusul pula dengan kreatif ulama Hadis-hadis seperti Sunnan Abu
Daud, Sunnan at-Tirmidzy, Sunnan an-Nasai’I dan Sunnan Ibnu Majah Dengan
demikan, sebetulnya sudah jelas kodifikasi Hadis dari masa ke masa secara
selektif, sehingga asumsi orang Muslim kecil kengkinan atau sebagian kecil saja
Hadis-hadis yang tidak jelas ujung pangkalnya. Dengan kata lain, bahwa
Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Hadis saat sekarang ini betul-betul
berasal dari Nabi dan wajib dipercayainya, walaupun tidak seluruhnyanya. Hadis
dalam pandangan umum masyarakat muslim (word view) bukan buatan para sahabat
dan tabi’in, seperti yang dianggap para orentalis. selanjutnya pemakalah
menguraikan teori Comman Link¬-nya Josehp Schacht dan Juynboll.
Teori Cammon Link adalah istilah di mana
seseorang periwayat yang mendengar sesuatu dari -jarang lebih dari
satu-seseorang yang berwenang lalu menyebarkan atau menyiarkan kepada sejumlah
murid yang pada gilirannya juga mereka menyiarkannya kepada dua atau tiga lagi
murid. Dengan kata lain teori ini adalah periwayat tertua yang disebut dalam
berkas isnad yang meneruskan Hadis kepada lebih dari satu murid. Hal in bisa
terjadi baik dari generasi awal (sahabat), tengah (tabi’in) atau akhir (tabi’ut
tabi’in).
Setiap zaman senantiasa muncul para
pemikir yang tertarik untuk meneliti Hadis. Ini dapat di lihat dari buku-buku
ilmu Hadis atau jurnal-jurnal internasional yang banyak berkembang dewasa ini.
kajian terhadap Hadis dalam karya itu pada umumnya bersifat filsosofis. Para
penulis lebih banyak membicarakan apa yang seharusnya disebut Hadis, bukan apa
yang senyatanya dari Hadis itu. Sementara kajian yang didasarkan pada kajian
murni Ilmiah baru terjadi pada abad 19, yang dilakukan oleh orientalis. Namun
hasil dari studi mereka, khususnya pada Hadis kurang biasa diterima oleh umat Islam.
Seperti teori Comman Link oleh Josep Schacht (1902-1969) yang mengklaim diri
sebagai penerus Golzher menyatakan “we shall mast not meet any legal tradition
from the prophet which can be considered authentic” bahwa isnad memiliki
kecenderungan untuk berkembang kebelakang. Menurutnya isnad berasal dari bentuk
sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengkaitkan dokterin
aliran-aliran fiqih klasik kepada tokoh-tokok yang lebih awal seperti sahabat
dan akhirnya kepada Nabi, karena isnad merupakan rekayasa sebagai hasil dari
pertententangan antara aliran fikih klasik dan ahli Hadis, tak satu pun Hadis
Nabi, lebih-lebih yang berkenaan dengan masalah hukum dapat dipertanggung jawabkankan
sebagai Hadis shahih. Singkatnya Hadis tidak berasal dari Nabi, tapi dari
generasi tabi’in.
Joseph Schacht orentalis kelahiran
Jerman yang ketutunaan Yahudi ini juga mengatakan senada dengan Igaz golzhiher,
“A gread many traditions in the classical and other collections were put into
circulation only after Safi’i time, the fist considerable body of legal
tradition from prophet originated to word middle of the second century”, dia
mengklaim bahwa Hadis baru muncul pada abad kedua hijriyah dan baru beredar
luas setelah zaman Iman syafi’i. Menurutnya “Even the classical corpus contains
a great many tradition which cannot possible be outhentic” maksudnya
Hadis-hadis yang terdapat dalam al-Kuttub Sittah sekalipun tidak dapat dijamin
keasliannya. Lebih jauh ia berpendapat “The no reason to suppose that the
regular practice of using isneds is older than the beginning of the second
century”, bahwa sistem periwayatan berantai alias isnad merupakan alat
justifikasi dan otorisasi yang baru diperaktikkan pada abad kedua hijriyah.
Senada dengan Schacht adalah G.H.A
Juynboll, mengaku dirinya sebagai pengembang, bukan penemu dari teori tersebut,
dalam tulisannya selalu merujuk kepada Schacht seraya menyatakannya sebagai
pembuat istilah Comman link dan yang pertama kali memerkenalakan “The Origns”.
Mesti demikian Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan
kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai. Sebenarnya
fenomena ini (teori Comman Link) sudah dikenal oleh para ahli Hadis di kalangan
Islam. At-Tirmizi dalam koleksi Hadisnya menyebut Hadis-hadis yang menujukkan
adanya seorang periwayat tertentu, misalnya si A sebagai Comman link dalam
isnadnya, dengan Hadis-hadis si A istilah tehnis yang dipakai Tirmizi untuk
menggambarkan gejala seperti itu adalah madar (poros). Hadis-hadis itu ternyata
membentuk sebagian besar Hadis garib. Yaitu Hadis yang diriwayatkankan oleh
seseorang periwayat tunggal pada tingkatan (tabaqat) isnad tertentu. Tapi
kelihatannya para ahli Hadis di kalangan Islam tidak menyadari sepenuhnya
impelikasi dari gejala tersebut terhadap problem penanggalan Hadis.
Gambarannya dalam kasus ini menurut
Schacht, sebuah Hadis yang biasanya diedarkan oleh seorang ahli Hadis yang
disebutnya sebagai NN, atau seorang yang menggunakan namanya pada saat
tertentu, dalam perkembagannya secara alami Hadis itu diriwayatkan oleh
seseorang atau bebeapa periwayat pada generasi berikutnya dan sebagai akibatnya
bagian isnad yang ke bawah cendrung menjadi beberapa jalur isnad. Sebagai seorang
periwayat yang memperomosikan Hadis NN menyediakan isnad yang kembali pada
otoritas yang lebih tinggi seperti sahabat dan Nabi. Bagian daripada isnad
merupakan bagian palsu yang dibikin oleh NN sebagai upaya penyempurnaan, ia pun
sering kali membut jalur-jalur tambahan (edditon brechhes) dengan menciptakan
isnad-isnad tertentu di samping isnad-isnad yang asli atau melalui proses
penyebaran isnad. Walaupun demikian, NN tetap sebagai Comman link bagi seluruh
atau sebagian besar isnad dari Hadis-hadis tertentu menjadi indikasi yang kuat
bahwa Hadis tesebut berasal dari periwayat yang menjadi Comman link.
Fenomena ini, klaimnya tidak sedekar
hipnotes, tetapi sudah merupakan kejadian umum (commom accerrence). Oleh sebab
itu, jika terdapat Hadis yang memiliki isnad yang berbeda, tetapi masih dalam
satu matan yang tekait erat menjukkan adanya gejala Comman link, maka dapat
disimpukan bahwa Hadis itu bersumber dari seorang periwayat yang menjadi Comman
link yang disebut dalam isnad.
Schacht telah mengemukakan contoh yang
menujukkan gejala Commom link atau dengan istilah lain Comman transmitter.
Misalnya dalam karya as-Syafi’i, al-Ikhtilaf al-Hadis, terdapat sebuah Hadis
memiliki isnad, untuk lebih jejasnya dapat dilihat pada lampiran diagram satu
di bawah. Dalam diagram satu ini kata Schacht, Amr bin Abi Amr merupakan Comman
link dari seluruh jalar isnad Hadis yang diriwayatkan oleh Syafi’i Amr-lah yang
membuat Hadis tersebut bersambung dengan Jabir dan dengan Nabi. Bagian bawah
dari isnad tersebut adalah bagian otentik, sementara bagian atas isnad hanya
buatan dari Amir bin Amr semata.
Dalam upaya memperbaiki isnad, Amr juga mengemukakan
jalur-jalur tambahan, yakni jalur dari seorang laki-laki dari Bani Salamah.
Dengan demikian, Hadis ini sebenarnya bersumber dari Amir bin Amr karena ia
adalah orang pertama yang menyerahkan Hadis ke beberapa periwayat Hadis
beriktnya, dan bukan dari Muthtalib, dan bukan dari Jabir atau Nabi. Berbagai
impelikasi yang ditimbulkan oleh teori Comman link Juynboll memberi indikasi
yang sangat kuat bahwa ide-ide Juynboll tentang sejarah awal periwayatan Hadis
lebih dekat dan lebih sejalan dengan Goldziher dan Schacht, dan kedua
pendahulunya yang merupakan wakil utama dari kelompok revisionis. Dalam banyak
hal, baik teori maupun temuan tidak lebih dari Syrah dan perluasan atas ide-ide
Goldziher dan Schacht. Sebaliknya berbeda pendapat dengan para memikir lain
seperti pendapat Nabi Abott, Sezgib dan Azami demikan juga Fazlur rahman.
Kesimpulan Schacht ini dianggap tidak
berdasar oleh Azami diagram satu di bawah ini, kata Azami dapat menimbulkan
kesalahpaham bagi para pembaca alasannya pertama, dalam diagram 1 itu
digambarkan seolah-olah Amir meriwayatkan Hadis dari ketiga orang guru, yakni
dari Muthatib yang disebutkan dua kali dalam diagram 1 dan dari seorang
laki-laki dari Bani Salamah. Kedua, Schacth kelihatannya salah paham atau tidak
memahami teks dalam al-Ikhtilaf Hadis. Dalam buku itu Syafi’i sebenarnya ingin membandingkan
tiga murid Amir dan menyalahkan Abd Aziz ketika menyebut seorang laki-laki dari
suku Bani Salamah sebagai guru Amir. Di sisi lain, Ibrahim bin Yahya adalah
periwayat yang lebih kuat dari Abd Aziz, lebih-lebih pernyataan itu didukung
oleh pernyataan Sulaiman.
Oleh sebab itu, Amar sebenarnya
meneriama Hadis tersebut hanya melalui satu jalaur isnad, yakni jalur
Muthathib–Jabir–Nabi seperti lampiran diagram dua di bawah. Kembali kepada
pendapat Juynboll sering kali mengemukanakan sebuah asumsi dasar yang menjadi
pijakan dalam meneliti sebuah Hadis serta memperkenalkan beberapa istilah
tehnis yang relatif baru yang berhubungan erat dengan Comman link. Prinsip itu
mengatakan “The more transmission lines come togetheder in one transmitter,
ather reaching him or going a way from him, the more this transmitter and his
transmission have a claim to history” (bahwa semakin banyak jalaur periwayatan
yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, maka
semakin besar seorang periwayat dan periwayataannya memiliki klaim kesejarahaan).
Dengan demikian, hematnya Hadis itu tidak dapat di pertanggung jawabkan
keasliannya.
Respon Pemikir Muslim
Banyak karya-karya tulis ilmiah yang
menanggapi keraguan otentisitas terhadap Hadis yang dilontarkan oleh dua tokoh
tersebut di atas. Di antara mereka adalah Nabia Abbot dalam bukunya Studies in
Literary Papyari Qurani’c Commentary and Tradition, menegaskan bahwa
Hadis-Hadis Nabi Muhammad saw. dapat ditelusuri kebenarannya sampai pada masa
Nabi dan bukan buatan umat Islam setelah abad pertama hijriyah.
Pandangan ini didasrarkan pada
manuskrip-menuskrip yang berhubungan dengan Hadis-hadis Nabi. Fazlur Rahman
mengembangkan kritiknya terhadap tesis Goldzeher dan Joseph Schacht tersebut.
Menurut Rahman, mereka gagal menemukan perbedaan penting antara Hadis dan
Sunnah, akibatnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa Sunnah Nabi dalam
kenyataanya bukanlah dari Nabi, tetapi merupakan tradisi umum di tengah-tengah
masyarakat Islam, Rahman mengatakan sebagai berikut:
”Tidak seorangpun dari ontentalis ini yang
menyatakan perbedaan atau memutuskan persoalan apakah sunah yang terjadi awal
masyarakat Muslim ini dipandang sebagai sunah, karena kedudukannya sebagai
kebiasaan Arab pra Islam, atau karena Al-Quran telah memperkenalkan modifikasi
kedalamnya, menyetujui bagian yang selebihnya dengan kebijaksana”
Daud Rasiyd, dari Islam garis kanan,
tidak mau ketinggalan untuk mengomentari hal tersebut dengan menyatakan bahwa
tuduhan tersebut secara histories dan realitas tidaklah beralasan. Alasanya
singkat, Nabi meninggal dunia setelah bangunan Islam ini benar-benar sempurna.
Lebih lanjut Daud Rasyid mengatakan bahwa untuk mengetahui matangnya Islam
periode pertama, cukup lihat kesiapan Umar bin Khattab menangani dan dua
imprium besar (Persia dan Romawi) ketika itu yang berhasil dikuasai Islam.
Khalifah Umar mampu menjalankan roda pemerintahan yang sangat besar itu.
Sekiranya Islam pada masa fase sunyi mustahil rasanya Umar dapat memikul tugas
berat itu dalam mengendalikan dua kerajaan tersebut.
Pada bagian lain tuduhan itu juga
dibantah oleh MM. Azami ia mengatakan bahwa tulisan-tulisan Hadis itu sudah ada
sejak rasul masih hidup. Terdapat banyak menuskrip-menuskrip yang menyimpan
tulisan-tulisan Hadis. Abdurahman Wahid pula mengatakan sebagai berikut: pertama, Hadis tidak diturunkan hanya
dengan lisan belaka. Hal yang menujang bukti ini dengan menerbitkan tiga buah
corpus Hadis yang dieditnya dalam disertasinya, yaitu naskah-naskah Suhail bin
Ali Shalih, Ubaidillah bin Umar dan Ali al-Yaman, yang kesemuanya berasal dari
abad pertama hijriyah.
Dengan demikian, tuduhan bahwa Hadis
mudah dipalsukan dan tidak otentik menjadi tidak terbukti lagi. Kedua, Penelitan atas istilah-istilah
yang mengunakan dalam referesni Hadis menujukkan bahwa berita yang menyatakan
Ibnu Siyhab al-Zuhri adalah orang pertama yang menuliskan Hadis pada permulaan
abad kedua hijriyah mengandung arti lain daripada yang diduga atau yang
diterima secara umum selama ini. MM Azami membuktikan bahwa al-Zuhri adalah
pengumpul (compiler) belaka pada semua koleksi naskah-naskah Hadis yang telah
dibukukan selama setengah abad sebelumnya. Demikian pula, istilah-istilah yang
selama ini hanya dianggap memiliki konotasi transmisi Hadis secara lisan,
dianggap oleh MM Azami memiliki arti tulisan dan tertulis.
Ketiga,
Pembuktian tentang kesalahan dalam memahami Hadis-hadis yang melarang penulisan
Hadis oleh Nabi Muhammad saw. oleh Azami dibuktikan hanya ada satu yang otentik
dan yang lainya lemah. Adapun yang satu ini, bukanlah melarang Hadis secara
umum, melainkan larangan menulis Hadis dalam kertas, seperti kain, muka tulang,
atau pelepah korma yang telah berisikan ayat-ayat al-Qura’n, guna menghindari
kekeliruan atau pecampuradukan.
Adapun anggapan Goldzeher dan Schacht
tentang kuatnya akses atau pengaruh politik pada perkembangan Hadis, seperti
kebobrokan atau penyimpangan Khalifah Umaiyah, lahirnya ahli fiqh klasik dan
oposisi ahli Hadis dalam pemalsuaan Hadis, atau tuduhan terhadap al-Zuhri yang
bersekongkol dengan penguasa Umaiyah dalam pemalsuaan Hadis, juga medapat
sorotan tajam dari sarjana Islam kontemporer khususnya. Seperti diketahui bahwa
kritikus Hadis tidak mengenal keberatan atau rasa sungkan dalam menilai seorang
rawi, dari cacat yang paling besar, hingga kekhilafan yang paling kecil habis
dibongkar. Tuduhan Goldzeher terhadap al-Zuhri adalah satu tuduhan yang tidak
berdasar sama sekali. Menurut Ibnu Sa’ad al-Zuhri adalah orang tsiqah, banyak
ilmunya dan banyak Hadisnya, dan ia seorang faqih dan banyak lagi gelar-gelar
yang disandang olehnya seperti al-Imam, al-Hafiz dan Hujjah.
Selain asumsi tersebut, tuduhan
Goldzeher juga dianggap tidak berdasar, karena menurut Azami tidak ada
bukti-bukti histories yang memperkuat tuduhan tersebut. Diperkirakan ketika
al-Zuhri dituduh memalsukan Hadis, ia berumur 10-18 tahun. Karena itu sangatlah
tidak mungkin seorang anak yang berusia seperti itu mampu meriwayatkan Hadis
yang mengubah pelaksaan ibadah haji dari Mekkah ke Yaressalem.
Adapun gambaran orentalis tentang
kebobrokan khalifah-khalifah Umaiyah, tidak telalu tepat. Sebab dalam leterarur
lain tercatat ada bebarapa Khalifah Umaiyah yang punya kategori sebagai
orang-orang takwa. Ibnu Sa’ad dalam karyanya at-Tabaqah mengungkapkan biografi
dan ketakwaan Khalifah Abdul Malik, sehingga orang menyebutnya “merpati masjid”,
demikian pula Walid ibn Malik yang di zamannya banyak dibangun masjid, sehingga
masa pengabdiannya disebut sebagai masa pembangunan.
Renungan Kecilku
Joseph Schach dan Juynboll dua tokoh
orientalis ternama dan paling menonjol dalam pempermasalahkan keberadaan Hadis
dalam dunia Islam. Mereka telah mendekati Hadis dengan teori Comman link-nya
untuk menyelidiki asal usul dan sejarah awal periwayartaan Hadis selama kurang
lebih dua puluh tahun. Teori ini berpijak pada pada asmumsi dasar bahwa semakin
banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju
kepadanya atau yang meninggalkannya, maka semakin besar periwayat dan jalur
periwayatannya memiliki klaim kesejarahan. Dengan kata lain, jalur periwayatan
yang dapat dipercaya sebagai jalur histories adalah jalur yang bercabang lebih
dari satu jalur.
Sementara jalur yang berkembang kepada
satu jalur saja yakni, (single strain) tidak dapat dipercaya kesejaharannya.
Joseph Schacht mengatakan bahwa semua Hadis yang terdapat dalam kitab-kitab
Hadis seperti Kuttubus sittah tidak dapat dijamin keasliaannya alias palsu,
yakni bikinaan para generasi setelah Nabi. Dia hanya mengakui Hadis sebagai
Sunnah dalam arti jalan atau cara hidup yang dijalani oleh Rasul dan
diperaktekkan oleh para sahabat dan seterusnya.
Tesis ini barangkali tidak dapat
dibenarkan secara mutlak. Memang harus diakui bahwa kodifikasi hadis terlambat
datang. Kaum Muslimin secara histories terlambat sadar akan pentingnya budaya
baca dan tulis-menulis, merupakan pelung untuk mempertanyakan dan meragukan
keberadaan Hadis Nabi sebagai sumber hukum Islam. Di satu sisi kajian dan
pendapat para oreinantalis “kecil kemungkinaan” bersikap objektif dalam
meneliti leteratur-leteratur juga menjadi masalah tersendiri.
Jelas kerangka keilmuan serta teori yang
dibangun tidak sama dengan para ulama Islam. Dalam konteks ini kemudian orang
seringkali mencari jalur aman, (the middle way) yaitu memahami Islam dari
sumber aslinya yaitu al-Qur’an atau memahami dan mengamalkan Islam dalam
persektif Sunnah daripada hadis yang sudah tereduksinya proses dan prosedurnya.
0 comments:
Post a Comment