Secara konstitusional, Pancasila mengakui pentingnya agama dalam
kehidupan. Hal ini terlihat dengan sila pertama, yaitu ketuhanan yang Maha Esa.
Artinya bangsa Indonesia bebas menganut agama dan kepercayaan masing-masing
sesuai dengan keyakinan. Masyarakat bebas beragama dengan keyakinan kepada
sesuatu yang dianggap benar dan menyakinkan.
Agama sebagaimana dipahami oleh banyak orang adalah sebagai pembimbing
bagi keselamatan hidup manusia.Karena itu, dalam perjalanan sejarahnya, naluri
untuk beragama itu akan senantiasa selalu ada. Islam sebagai agama yang
menuntut sikap pasrah bulat-bulat kepada Ilahi sangat mendambakan
kedamaian. Maka ketika terjadi berjumpaan antara sesama Muslim, ucapan “assalamu
alaikum” atau “kedamaian untuk Anda” merupakan simbol dari harapan
tersebut. Artinya kedamaian yang diinginkan oleh agama ini bukan hanya
kedamaian bagi diri pribadi, akan tetapi untuk pihak lain. Dengan demikian,
tidak heran jika salah satu ciri seorang Muslim adalah sebagaimana yang
disabdakan oleh Nabi saw. Man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi,
artinya siapa yang menyelamatkan orang lain (yang mendambakan kedamaian) dari
gangguan lidahnya dan tangannya).
Agaknya bukan hanya agama Islam yang mendambakan kedamaian bagi setiap
insan, agama-agama yang lain pun tentunya demikian. Karena secara apriori
tak ada satu agama pun yang lahir di jagad ini yang mendambakan kekisruhan.
Dengan demikian, penting bagi semua umat untuk dipertemukan nuktah
keseragaman antar agama guna menciptakan kebaikan untuk semua. Nuktah
tersebut tidak hanya bersifat penerimaan dan pengejawantahan akan nilai-nilai
kebaikan umum yang terdapat dalam setiap agama, akan tetapi penolakan dan
perlawanan akan segala jenis jahat yang secara apriori disepakati
ketidakbaikannya oleh semua agama. Jadi tandasnya ketika ajaran sebuah agama
terjelmakan dalam sistem perilaku, maka segala sistem tersebut hendaknya
mengarah bagi kebaikan untuk semua manusia. Hal ini tentunya menjadi identitas
dari semua agama, yaitu “agama senantiasa untuk kebaikan manusia.”
Masalahnya, dalam kehidupan beragama normativitas yang dituntut oleh
agama untuk diejawantahkan kadang terkendala oleh pemahaman yang rigid
dari pemeluknya sendiri. Nuktah keseragaman untuk bersama-sama beramal
saleh dan melawan kejahatan kadang ditanggapi sebagai pencampurbauran keimanan.
Padahal wilayah ini sudah jelas ditegaskan oleh agama, lakum dinukum waliya
din, bagimu agamamu (baca; keimananmu), bagiku agamaku. Karena itu, tidak
ada alasan untuk menjadikan keimanan seseorang sebagai ukuran persaudaraan dan
ketidakbersaudaraan. Bukan alasan yang dibenarkan memberikan batas
“kita-mereka” dalam kehidupan bermasyarakat atas dasar ketidaksepahaman. Kalau
hal itu terjadi, maka kedamaian yang didambakan setiap agama akan terganggu. Malahan
sikap anti orang karena beda iman akan menjadi api kericuhan dan pertikaian.
Telah disebutkan bahwa fungsi agama adalah sebagai pembimbing, dari itu
ia merupakan berkah dan modal bagi manusia untuk mengarungi hidup. Akan tetapi,
jika agama dipahami secara dangkal, tentunya agama (dalam arti keberagamaan)
bisa menjadi sumber malapetaka. Belakangan ini kita saksikan berapa banyak
orang yang mengklaim kebenaran pemahaman sepihaknya, sehingga mereka tak
segan-segan melepaskan nyawa (baca; melakukan bom bunuh diri) dengan
menyertakan nyawa-nyawa yang tak berdosa pergi bersamanya atas dalih jihad
fi sabilillah. Bagi yang rasikh (dalam) ilmu keagamaannya tentu
mereka akan menggeleng-gelengkan kepala tanda ketakjuban plus kengerian
akan sikap keberagamaan demikian. Teks bisu, ternyata sedemikian dasyatnya
mengarahkan tindakan pembacanya. Adakah yang keliru dalam hal ini? Jelasnya
kita akan menjawab, ya.
Di sinilah sebenarnya penghayatan keagamaan yang menyeluruh diperlukan.
Dengan adanya penghayatan keberagamaan yang baik, tentunya akan melahirkan
sikap dan perilaku keberagamaan yang baik pula. Kalau dihayati misi setiap
agama, tentunya akan kita dapatkan bahwa betapa agama amat sangat menginginkan
keselamatan bagi manusia seluruhnya, dan dari itu akan kita dapati keberpihakan
agama untuk manusia. Dengan keberpihakan ini, konsekuensi logisnya adalah bahwa
manusia dituntut untuk berperilaku sosial yang baik, dan setidaknya tidak
merugikan orang lain. dalam konteks iniilah Islam sebagai agama Rahmatun lil alamain hadir untuk perabadan modern manusia. Islam dalam pandangan beberapa intelektual Barat dan Timur paling moderat bila dibandingkan dengan agama-agama samawi lainnya.
0 comments:
Post a Comment