Ads 468x60px

Tuesday, June 4, 2013

Islam: Agama Kemanusiaan

Secara konstitusional, Pancasila mengakui pentingnya agama dalam kehidupan. Hal ini terlihat dengan sila pertama, yaitu ketuhanan yang Maha Esa. Artinya bangsa Indonesia bebas menganut agama dan kepercayaan masing-masing sesuai dengan keyakinan. Masyarakat bebas beragama dengan keyakinan kepada sesuatu yang dianggap benar dan menyakinkan.
Agama sebagaimana dipahami oleh banyak orang adalah sebagai pembimbing bagi keselamatan hidup manusia.Karena itu, dalam perjalanan sejarahnya, naluri untuk beragama itu akan senantiasa selalu ada. Islam sebagai agama yang menuntut sikap pasrah bulat-bulat kepada Ilahi sangat mendambakan kedamaian. Maka ketika terjadi berjumpaan antara sesama Muslim, ucapan “assalamu alaikum” atau “kedamaian untuk Anda” merupakan simbol dari harapan tersebut. Artinya kedamaian yang diinginkan oleh agama ini bukan hanya kedamaian bagi diri pribadi, akan tetapi untuk pihak lain. Dengan demikian, tidak heran jika salah satu ciri seorang Muslim adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw. Man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi, artinya siapa yang menyelamatkan orang lain (yang mendambakan kedamaian) dari gangguan lidahnya dan tangannya).
Agaknya bukan hanya agama Islam yang mendambakan kedamaian bagi setiap insan, agama-agama yang lain pun tentunya demikian. Karena secara apriori tak ada satu agama pun yang lahir di jagad ini yang mendambakan kekisruhan. Dengan demikian, penting bagi semua umat untuk dipertemukan nuktah keseragaman antar agama guna menciptakan kebaikan untuk semua. Nuktah tersebut tidak hanya bersifat penerimaan dan pengejawantahan akan nilai-nilai kebaikan umum yang terdapat dalam setiap agama, akan tetapi penolakan dan perlawanan akan segala jenis jahat yang secara apriori disepakati ketidakbaikannya oleh semua agama. Jadi tandasnya ketika ajaran sebuah agama terjelmakan dalam sistem perilaku, maka segala sistem tersebut hendaknya mengarah bagi kebaikan untuk semua manusia. Hal ini tentunya menjadi identitas dari semua agama, yaitu “agama senantiasa untuk kebaikan manusia.”
Masalahnya, dalam kehidupan beragama normativitas yang dituntut oleh agama untuk diejawantahkan kadang terkendala oleh pemahaman yang rigid dari pemeluknya sendiri. Nuktah keseragaman untuk bersama-sama beramal saleh dan melawan kejahatan kadang ditanggapi sebagai pencampurbauran keimanan. Padahal wilayah ini sudah jelas ditegaskan oleh agama, lakum dinukum waliya din, bagimu agamamu (baca; keimananmu), bagiku agamaku. Karena itu, tidak ada alasan untuk menjadikan keimanan seseorang sebagai ukuran persaudaraan dan ketidakbersaudaraan. Bukan alasan yang dibenarkan memberikan batas “kita-mereka” dalam kehidupan bermasyarakat atas dasar ketidaksepahaman. Kalau hal itu terjadi, maka kedamaian yang didambakan setiap agama akan terganggu. Malahan sikap anti orang karena beda iman akan menjadi api kericuhan dan pertikaian.
Telah disebutkan bahwa fungsi agama adalah sebagai pembimbing, dari itu ia merupakan berkah dan modal bagi manusia untuk mengarungi hidup. Akan tetapi, jika agama dipahami secara dangkal, tentunya agama (dalam arti keberagamaan) bisa menjadi sumber malapetaka. Belakangan ini kita saksikan berapa banyak orang yang mengklaim kebenaran pemahaman sepihaknya, sehingga mereka tak segan-segan melepaskan nyawa (baca; melakukan bom bunuh diri) dengan menyertakan nyawa-nyawa yang tak berdosa pergi bersamanya atas dalih jihad fi sabilillah. Bagi yang rasikh (dalam) ilmu keagamaannya tentu mereka akan menggeleng-gelengkan kepala tanda ketakjuban plus kengerian akan sikap keberagamaan demikian. Teks bisu, ternyata sedemikian dasyatnya mengarahkan tindakan pembacanya. Adakah yang keliru dalam hal ini? Jelasnya kita akan menjawab, ya.
Di sinilah sebenarnya penghayatan keagamaan yang menyeluruh diperlukan. Dengan adanya penghayatan keberagamaan yang baik, tentunya akan melahirkan sikap dan perilaku keberagamaan yang baik pula. Kalau dihayati misi setiap agama, tentunya akan kita dapatkan bahwa betapa agama amat sangat menginginkan keselamatan bagi manusia seluruhnya, dan dari itu akan kita dapati keberpihakan agama untuk manusia. Dengan keberpihakan ini, konsekuensi logisnya adalah bahwa manusia dituntut untuk berperilaku sosial yang baik, dan setidaknya tidak merugikan orang lain. dalam konteks iniilah Islam sebagai agama Rahmatun lil alamain hadir untuk perabadan modern manusia. Islam dalam pandangan beberapa intelektual Barat dan Timur paling moderat bila dibandingkan dengan agama-agama samawi lainnya.  

0 comments:

Post a Comment