Sejarah peradaban dunia adalah sejarah yang
bergelimang dengan kekerasan, dan diakhiri konflik. Konflik yang ditimbulkan
oleh satu peradaban seharusnya tidak terjadi pada wilayah keagamaan -baik
internal agama maupun lintas agama- yang kesemuanya di atas namakan Tuhan dan
kitab suci, karana maenstremnya berbeda. Hal ini tidak hanya menimbulkan trauma
di hati manusia, tetapi ia menyisakan dendam di hati masing-masing-masing
pemeluk agama samapai hari ini. Agama dibenturkan oleh umatnya dengan alasan
bahwa berperang di jalan-Nya akan mendapatkan balasan setimpal dari Tuhan pula,
yaitu surga-Nya sudah siap menanti mereka, para bidadari dengan riang gembira
akan menyambutnya, para Malaikat bertepuk tangan kegirangan menyemput ke
datangan mereka, dan gelar Sahid yang mereka sandang karena dianggap mati dalam
perang suci (Holly War).
Gejala kekerasan (voelence),
kebidaban (barbarity), kekejaman (cruerly), dan segala bentuk tindankan yang
melampui batas kemanusiaan (inhumanity) yang meuncul dalam kehidupan umat
manusia pada hakikatnya telah tua, setua sejarah manusia itu sendiri. Demikian
juga sebaliknya, fenomena kemanusiaan (humanity), kedamaian (peace), keamanan,
(scurity), toleransi, kabajikan (benevolence), dan rasa kasih kayang atas nama
sesama (kemanusiaan), juga telah tua, setua sejarah manusia mengenal
kebudayaan, peradaban dan agama.
Dalam Islam sendiri mengakui bahwa
pembunuhan terjadi pertama kali adalah dilakukan oleh anak Nabi Adam As, Qabil,
yang membunuh adik kandungnya sendiri Habil. Ini adalah sejarah pertama kali
bergelimangnya darah di permukaan bumi oleh anak kandung Nabi Adam sendiri.
Praktik-praktik kezaliman Fir’aun di Mesir Kuno terhadap rakyatnya yang tidak
berdosa banyak dikenal dalam cerita-cerita keagamaan. Demikian pula pada era
sekarang, di Mesir kelompok seperti Jihad Islam dan kelompok ekstimis lainnya
telah membunuh Presiden Anwar Sadat dan Pejabat pemerintah lainnya, membunuh
turis di Luxor, membakar Gereja dan membunuh orang kristen. Belum lagi hubungan
Isra’il-Palestina, penggunaan bunuh diri meninggkat secara ekponensial selama
intifada (kebangkitan) yang dimulai tahun 2000, dan fenomena mutahir paling
menakutkan adalah bom bunuh diri atau serangan bunuh diri dapat dilihat pada serangan
11 September, terhadap World Trade Center dan Pentagon adalah kasusu-kasus
kekerasan atas nama agama dan Tuhan.
Lebih jauh lagi orang-orang Yahudi
di Israel yang membunuhi kaum Muslim yang tengah shalat di Masjid Hebron,
orang-orang Hindu di India yang membakar Masjid Babri, orang-orang Islam di
Mesir yang meneror dan membunuh para turis, atau di Banglades dan Iran yang
menuntut hukuman mati terhadap novelis Taslima Nasreen atau Salman Rushdie,
akar-akar (etnis), konflik berkepanjangan di Irlandia Utara dan bekas
Yugoslavia, dan seterusnya, merupakan fenomena lainya. Sejarah banyak mencatat,
terjadinya perselisihan, pertikaan bahkan peperangan antaragama yang menodai
kemanusiaan manusia itu sendiri. Pertentangan antar Katolik-Islam di Bosnia,
antara Islam dan Hindu di India, antara Katolik dan Pronsetan di Irlandia
utara, antara Budda dan Hindu di Serilangka, konflik Islam dan Kristen Maluku,
konfilik Armenia-Azebrijan dan mungkin masih banyak lagi di tempat-tempat lain
yang belum terekspos media yang sesungguhnya sangat memilukan hati nurani
manusia yang paling dalam.
Pada umumnya sejumlah konflik
antarumat bergama yang terjadi di berbagai penjuru dunia itu tercatat di antara
tiga Agama Samet: Yahudi, Kristen dan Islam, memiliki frekuensi yang cukup tinggi,
entah apa sebenarnya terjadi, padahal ketiga Agama tersebut pada dasarnya
memiliki sumber dan corak yang sama, bahkan disebut-sebut berakar dari satu
sumber yakni pada Nabi Ibrahim, hingga sering disebut sebagai “satu saudara“.
Nabi Muhammad sendiri pernah menyatakan (diriwayatkan oleh Bukhari ) “bahwa
para Nabi itu termasuk Musa dan Isa adalah saudara satu ayah namun beda Ibu”.
Dengan demikian agama mereka pada dasarnya adalah satu, yaitu monotisme
(tauhid), penegakan keadilan secara univesral.
Belum lagi tradisi internal
agama-agama, selain memiliki ajaran yang diakui kebenaannya secara umum, bisa
dan sering terjadi penyelewengan oleh umatnya sendiri sangat berpeluang
mengundang konfiki yang berdarah-darah. Sederet tokoh yang telah melakukan itu;
misalnya dalam sejarah agama-agama abad ke-20, kita bisa menyebut nama Mahatma
Gandhi (Hindu), Martin Luther King Jr. (Kristen), Malcolm X (Islam), Ibu
Theresa (Katolik), dan Dalai Lama (Budha) mengakitabkan hal yang serupa,
menyebabkan konflik, kericuhan, kekerasan, dan akhirnya gendang peperangan
terjadi. Belum lagi perbedaan mazhab di antara 4 mazhab yang tekenal, antara
Sunni-Syi’ah juga ikut menorehkan sejarah kemanusiaan yang semuanya berakar
dari pemahaman agama dan konsep perbedaan visi politik, melahirkan ribuan
korban nyawa melayang.
Secara jujur harus diakui bahwasanya
hubungan antaragama itu tidak selalu menampilkan wajah yang harmonis, santun,
penuh kerukunan dan pengertian. Sebakiknya yang muncul adalah wajah konflik dan
ketegangan, dan kekerasaan. Satu sisi juga kekerasan, konfik, gelak sosial
lainnya, terjadi diinternal agama itu sendiri, menambah kesan bahwa orang
beragama adalah orang yang berjiwa keras, kaku dan berdarah-darah.
Persoalan hubungan antarumat
beragama dan internal umat beragama menjadi tema yang menarik, hal ini
setidaknya dikarenakan dua hal; pertama, karena agama dianggap sesuatu yang
vital dan berhubungan dengan sesuatu yang diyakini kebenarannya secara final
(given for garanted), dan tidak boleh ditawar-tawar lagi, sementara dalam
realitanya tidak hanya satu agama yang dipercayai manusia (ourselves), tetapi
ada banyak agama, (other). Kedua, agama adalah sesuatu yang sekaral yang
memberikan kedamaian dan kesejukan dalam menjakani hidup. Dengan kata lain
agama sebagai insfirator dan way of live bagi pemeluknya. Sehingga ketika
terjadi “benturan kepentingan” secara otomatis masing-masing pemeluk agama akan
menjadikan kitab suci mereka sebagai kiblat, dan menfikan yang agama-agama lain
(other). Ketiga, sikap yang ekslusif pemahaman beragama. Hal ini juga banyak
memicu konflik yang selama ini terjadi di antara manusia. Ketika orang bersikap
demikian bahwa yang ada adalah kita dan yang lain adalah salah, kafir, murtad,
dan surga hanya milik dirinya dan kelompoknya.
De fackto menunjukkan, keragaman
agama dan kepercayaan dalam kehidupan adalah kenyataan yang tidak mungkin
dihindari. Berhadapan dengan kenyataan tersebut setiap orang dan umat beragama
dituntut untuk mengambil sikap yang tepat dan benar. Maka tibul pertanyaan
besar apakah agama merupakan biang keladi masalah di atas? Jika agama itu benar
sebagaimana diyakini pemeluknya, mengapa agama itu tidak mempengaruhi
pemeluknya, sehingga tidak timbul kekerasan dan konflik? Mengapa Tuhan
menciptakan banyak agama? Apakah tidak lebih baik bagi Tuhan untuk menciptakan
satu agama dan semua manusia mengikuti agama tersebut? Kalau pun tidak demikian
bagaimana cara terbaik untuk menjalin hubungan yang baik dan harmonis antar
agama? Bagiamana seharusnya agama yang saya, kami, mereka anut, dipercayai
kebenarannya dapat berintraksi dangan agama lain? Cara dan pendekatan apa yang
harus ditempuh, konfrontatif atau kooperatif, objektivitas atau subyektivitas
atau intersubjektif atas teks agama?, temukan jawabannya di malakah ini.
Ambiguitas Agama ‘Boleh Jadi’ Penyebab Kekerasan Konflik
Disadari atau tidak, bahwa berbagai kemungkinan
sumber atau akar kekerasan dapat disebutkan antara lain adalah, pengaruh
iklaim, watak jahat dan distruktif dalam diri manusia, struktur yang jelek dan
tidak adil, dan terakhir adalah Sara. Namun dari sekian banyak penyebab atau
sumber kekerasan, sering terjadi di antara manusia yang berakhir dengan
peperangan adalah kasus Sara. Maka Konflik itu seolah-olah membenarkan bahwa
agama penuh dengan kekerasan. Agama penuh dengan wajah dendam, wajah perang,
dan wajah anti damai. Apakah demikian adanya? Jika demikian sejarah peradaban
manusia seakan-akan ikut membenarkan dalil Karl Marx yang terkenal dengan
“agama adalah candu masyarakat”. Demikian juga dengan statemennya Nietzsche,
seperti yang kutip oleh Tyler T. Roberts, “kisah orang suci (beragma), adalah
bacaan paling abigu dalam eksistensi”.
Dengan meminjam teori Nietzsche,
keambiguan agama sangat kental terlihat dalam realitas sehari-hari kehidupan
beragama manusia. Ada beberapa penyebab yang dapat menyebabkan konflik
antaragama antara lain; pertama, adanya truth claim (klaim kebenaran) dalam
diri suatu agama. Klaim ini merupakan fondasi iman dan fondasi ajaran
berdirinya suatu agama dan bersifat mutlak (absolut) dalam segalanya, sehingga
merelatifkan yang lain. Padahal yang mutlah (absolute) itu hanya Tuhan, bukan
manusia atau agama itu sendiri secara personal. Semua selain Tuhan adalah
relatif sifatnya. Terjadinya truth claim ini menjadi bagain terpenting dalam
memicu kekerasan dan menyulut peperangan. Kebenaran dalam agama adalah mutlak
(absolute) dalam pemahaman manusia saja, tetapi menjadi tidak mutlak jika
dihadapkan pada keabsolutan Tuhan. Seluruh jalan keselamatan yang diimani oleh
pemeluknya dan yang termuat dalam teks kitab suci diyakini sebagai sumber
keselamatan yang berasal langsung dari Tuhan, tidak ada konstruksi manusia di
dalamnya. Oleh karena itu kebenaran itu tidak memerlukan kebenaran dari pihak
agama lain.
Kedua, perbedaan penafsiran, paradigma
dan pendekatan justru membuat agama menjadi tidak toleran. Ketika teks-teks
kebenaran dari suatu agama dipahami dan diinterpretasikan secara kaku dan
literal agama justru menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam perilaku tidak
toleran itu. Contoh sederhana adalah makna Jihad dalam persepsi sebagian umat
orang Islam. Jihad secara bahasa berarti sunggung-sungguh, berjuang,
mengelurkan segenap kemampuan yang dimiliki, kemampuan, daya upaya atau
kesanggupan. Namun sering kali jihad dipahami secara literer berarti perang,
sehingga dengan adanya legitimasi dari al-Qur'an maupun Hadis perang merupakan
hal yang wajib bagi setiap orang yang beriman.
Ketiga, identifikasi “kita” dan
“mereka” yang membutuhkan legitimasi terus-menerus agar tidak usang terus
dikembangkan lewat narasi besar berupa dasar-dasar keimanan, kisah-kisah dan
ritual keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan tertentu, dan
seterusnya. Narasi ini seringkali diperkokoh oleh bentuk-bentuk ekspresi
keagamaan yang amat kasat mata seperti kekhasan pakaian, arsitektur, musik dan
lainnya. Semua ini hanya menambah kekokohan identitas diri dan kelompok di
atas, sekaligus memperteguh pembedaan di antara banyak orang dan kelompok
manusia beriman. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan
berkembang makin tajam, mengarah kepada askalasi konflik. Kelompok sendiri,
“kita,” disucikan dan makin disucikan, sedang kelompok lain, “mereka,”
dilecehken dan disetankan.
Keempat, di satu sisi agama identik
dengan kedamian dan keadilan, memberikan kesejukan dan rasa aman bagi manusia
yang percaya kepada ajaran Tuhan, namun di satu sisi ia mengancam dengan neraka
bagi mereka yang tidak mempercayai dan melaksanan ajaran-ajaran yang ada di
dalamnya. Hal semacam menjadi delima bagi manusia, sehingga menuntut untuk
diimani dan dilaksanakan segala macam perintahnya dan meninggalkan segala macam
larangannya. Hemat penulis, hampir semua agama mempercayai adanya dokterin
seperti itu, sehingga doktirin itu mempompa dan membakar umatnya untuk memaksan
diri menyebarkan agama kepada orang lain agar diyakini dan ikut bergabung
dengan keyakinannya, melalui da’wah.
Menuju Umat
wasattan untuk Perdamaian Dunia
Setiap orang yakin akan kebenaran agamanya, adalah
sesuatu yang wajar dan niscaya, karena di sanalah inti dan pokok dari
keberagamaan.
Tetapi kemudian keyakinan akan
kebenaran agamanya tersebut membuatnya menegasikan kepercayaan orang lain dan
memvonis yang lain itu sebagai yang pasti salah adalah sikap yang patut di
pertanyakan kembali. Apalagi jika vonis salah tersebut kemudian
digeneralisasikan dengan menganggap salah juga segala hal yang berasal dari si
kafir tersebut, ini adalah tindakan ekstim dan ekslusif yang harus dijahui. Pada
umumnya ada tiga paragidma dasar manusia dalam beragama seperti yang dikatakan
oleh Raimodo Pannikar, yaitu: pertama,
Eklusifime, yaitu pandangan dan sikap yang mengklaim kebenaran dan keselamatan
hanya pada agama yang dianutnya sendiri yang lain, tidak ada jalan untuk
selamat dan masuk sorga. Kedua, Inkulisfisme,
yaitu pandangan dan sikap yang mengklaim bahwa agama yang dianutnya memiliki
kebenaran dan keselamatan yang lebih sempurna, jika dibandingkan dengan agama
lainya. Artinya dalam padangan ini agama lain masih ada ruang untuk selamat,
untuk masuk sorga dan seterusnya, dengan beberapa syarat-syarat tertentu. Ketiga, Paralisme, yaitu satu pandangan
yang menganggap bahwa sumua kepercayaan agama yang berbeda itu meskipun terjadi
lika-liku dan kebersimpangsiuran, sesungguhnya mempunyai kesejajaran dan kesamaan
yang nantinya akan bertemu pada penziarahan manusia.
Semenrtara W. Tilly menambahkan
bahwa empat teori keagamaan yaitu; ekslusifisme inklusifisme, pluralisme dan
partikularisme dari penelitaian Tilly mengemukakan bahwa semula teori-reori
dasar ini dilontarkan oleh para sarjana agama untuk menjelaskan sikap dan
pandangan umat Kristen tentang tema keselamatan dan kebenaran. Eklusifisme dan
inklusifisme yang di kemukakan oleh Tilly mencakup pengertian seperti yang di
ungkapan di atas, akan tetapi pluralismenya mengandang penjelasan yang berbeda.
Dalam pemahamannya, ia menjelaskan; pluralisme adalah pandangan dan sikap yang
mengkliam bahwa terdapat banyak jalam menuju yang satu yang menujukkan dirinya
dengan banyak cara, sehingga setiap orang hendaknya menuruti jalannya
masing-masing sebaik mungkin agar selamat; artinya tidak ada kepastiaan yang
mutlak. Kemudian teori keempat yang dikemukan oleh Tilly adalah partikularisme,
yaitu suatu pandangan dan sikap yang menganggap bahwa setiap agama memiliki
substansi yang berbeda-beda dan cendrung mendukung klaim-klaim teologis yang
santun. Kaum partikularis memandang bahwa memastikan siapakah yang benar dan
selamat merupakan “tindakan lancang”, karena mengkliam paling mengetahui, pada
akhirnya Tuhan mengatur segala sesuatu.
Sementara Cobb merasa tidak puas dengan teori-teori
di atas lalu menggagas sautu teori yang disebut dengan teologi transpormatif
Di era globalisasi saat ini, umat
beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang dengan apa yang
pernah dialami sebelumnya. Maka, pluralisme agama, konflik internal atau
antarkeagamaan adalah fenomena nyata. Dalam realitas sosial kemasyarakatan
tidak hanya ada self, tetapi ada the ather yang harus diakui eksistensinya.
Dalam rangka mencipatkan suasana yang harmonis dan dinamis, perlunya ada
pemahaman yang komprhensif dan universal tentang esensi ajaran agama sendiri,
agama orang lainnya.
Dalam Islam sendiri, inti agama yang benar adalah
sikap pasrah kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa, pencipta seluruh langit dan
bumi. Tanpa sikap itu hemat Cak Nur, suatu keyakinan keagamaan akan tidak
memiliki kesejatian. Agama yang benar di sisi Tuhan Yang Maha Esa ialah sikap
pasrah yang tulus kepada-Nya. Dalam al-Qur'an sangat mengajurkan penyerahan
total kepada-Nya dan tidak ada tempat selain penyerahan kepada Tuhan.
Penyerahan adalah sikap batin dan hal ini bersifat sangat personal, atau dengan
bahasa lain, hanya orang yang bersangkutan sendiri saja dan Allah yang tau
persis apakah ia secara sejati pasrah kepada Allah (muslim), atau tidak. Atau
dengan meminjam bahasanya Hasan Hanfi, objektifitas akan menjadi kuat melalui
inter-subjektifitas ketimbang tenggelam dalam pemahaman objektivisme.
Islam sebagaimana namanya adalah
terbentuk dari kata yang sama dengan salam, yang berarti perdamaian, dengan
kata lain Islam adalah agama damai dan penuh kedamaian. Maka ketika Islam sudah
diyakini dan dipeluk sebagai sebuah aksi, dan model hidup, tunggal, jamak,
laki-laki atau wanita ia akan melahirkan sikap yang santun dan damai. Demikian juga
as-salam merupakan bagian dari nama Tuhan yang dianggap sebagai kode universal
dari etika perdamaian, dan karenanya, menurut Hasan Hanafi, merupkan bagian
dari tingkah laku manusia baik sebagai individu maupun sebagai komunitas. Pluralitas
keberagamaan manusia adalah realitas kehidupan yang tidak bisa dihindari.
Terlebih saat sekarang ini era moderenitas segala sesuatu berubah secara cepat
dan intsan. Dan tidak suatu kelompok maupun Negara yang bisa menolak atau
mengentikannya. Pluralitas keberagamaan ini merupakan tantangan khusus yang di
hadapi oleh agama-agama dewasa ini. Setiap agama muncul dalam lingkungan yang
plural dan membentuk dirinya sebagai tanggapan pluralitas tersebut. Ketegangan
terkadang mewarnai hubungan antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain.
Dalam kaitan ini sikap yang diambil para pemeluk agama dalam merespon realitas
pluralitas agama memang tidaklah seragam dan seide, sesuai dengan cara pandang
terhadap realitas tersebut dan pemahaman atas dasar-dasar atau sumber dari keyakinan
yang diantutnya. Dan tidak jarang sikap-sikap tersebut bertentangan, bahkan
sikap pemeluk agama tertentu juga berpariasi, meskipun sikap yang berbeda itu
pada dasarnya, berdasar pada mencari legitimasi dari sumber suci yang sama.
Umat Islam, misalnya dalam menyikapi
masalah ini tentu saja merujuk kepada al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber
pokok ajaran Islam. Namun demikian, meskipun sama-sama berpegang pada al-Quran
dan Hadis, sikap dan pemahaman atau corak fikir terhadap realitas pluralitas
agama sangat beragam. Hal ini dapat di saksikan melalui beragamnya penafsiran
atas nash-nash al-Quran yang berkaitan dengan pluralitas agama. Bahkan satu
penafsiran terkadang bertentangan dengan penafsrian lainnya. Menurut
identifikasi Alwi Syhab, beberapa kitab tafsir al-Quran seperti yang ditulis
oleh Syaid Qutub (fi zdilalil Quran Wahbah Zuhaili (al-Tafsri al-Manir), Syaid
Hawwa (al-asas fi Al-Tafasir), Mutawalli Sa'rawy (Tafir al-Sa'rawy) dan Muhmmad
al-Balaghi –Penafsir syi'ah ('ala al Rahman fi' Tafsir al-Quran) adalah contoh
penasiran Quran bercorak eklusif, dan sangat berbeda dari yang dilakukan oleh
mufassir yang bercorak inkusif, seperti Muhammad Abduh dan Rasih Rido' (Tafsrir
al-Manar) al-Taba'ta'i (al-Mizan) dan Muhammad Jawwad al-Mughiyah (Tafsir al-Mubin),
semenrara Fazlur Rahman juga digolongkan sebagai pemikir yang bercorak
pluralis.
Maka dalam rangka untuk bersikap
secara sehat dan dinamis diperlukan satu sikat yang akomodatif, terbuka, santun
dan berwawasan tinggi, perlu dikedepankan dengan essi-issi yang perlu
direnungkan bersama dalam keragaman beragama. Pertama, betapun setiap orang
terkait demensi dengan historisitas kehidupannya. Setiap orang menghayati dan
memahami Agamanya hanya sejauh kemampuan dan pengalamannya. Pemahamanan dan
penghayatan seorang anak kecil, seorang remaja, seorang pendang, seorang
mahasiswa, seorang ibu, seorang Kiay dan seterusnya, terhadap Agamanya,
Tuhannya, Nabinya, Kitab sucinya, bisa dipastikan berbeda-beda, meskipun
sumbernya sama. Pemahaman di antra mereka tersebut yang dapat dikatakan paling
berar? Dengan kata lain kondisi histories masing-masing orang pada ahirnya
sangat menentukan kepercayaan apa dan keberagamaan seperti apa yang akan di
jalaninya. Menurut John H Hick melului bukunya Philosofi of Riligion benturan
yang terjadi itu sebenarnya bukanlah benturan antar Agama atau antar kebenaran
Agama itu sendiri, tetapi lebih merupakan benturan pemahaman terhadap Agama
masing-masing. Pemahaman terhadap Agama yang pada ahirnya menjadi basis bagi
perilaku budaya pemeluk Agama inilah yang sering berbenturan. Jadi mengatakan
satu Agama itu salah itu benar tidaklah tepat, yang lebih tepat apakah satu
budaya itu salah atau benar jika dikaitkan dengan nilai atau norma yang menjadi
landasannya. Pandangan-pandangan kerangka pakir semacam ini memunculkan ide-ide
mengenai esoteris-esoteris juga Normativitas-Historisitas dalam keberagamaan
dan dapat ditelaah lebih jauh antra lain dalam Tulisan-tulisan Tyinbee,
Fritjoof Schon, Paul Kniter, Huten Smith, juga bisa didapati dalam karya-karya
Seyyed Hossen Nasr.
Kedua, Pluralitas Agama itu adalah
satu realitas, maka pertanyaan-pertanyaan yang harus di ajaukan, adalah
dapatkah realitas keberagamaan Agama dan kepercayaan itu di hindari atau di
satukan? Akankah menyatukan keragaman tersebut dan membuat semua orang tunduk
dan patuh pada satu Agama? Kalau mungkin bagaimana caranya? Kalau tidak mungkin
lantas keberagamaan itu disikapi seperti apa? Apakah setiap orang yang memiliki
keyakinan berbeda dengan milikku atau milik mereka dilenyapkan saja dipermukaan
bumi ini,?. Jelasnya Pluralitas Agama itu adalah satu keniscayaan yang tidak
bisa dihindari, maka langkah paling Urgen yang dibutuhkan adalah bagaimana
mengelola pluralitas tersebut agar menjadi ladang harmoni dan sumber bagi
penguatan manusia, bukannya mengupayakan dan mencita-citakan agar setiap orang
“bersatu Agama”.
Ketiga, betapapun setiap orang
memiliki keyakinan dan Agama yang berbeda-beda pada dasarnya mereka adalah
mahluk yang sama, memiliki kebuTuhan yang sama, yang mengemban hak dan
kewajiban kemanusiaan yang sama. Kalau seseorang dianggap salah, dan dianggap
sebagai musuh dalam totalitas kehidupannya hanya karena Agama yang beda, maka
yang sebenarnya yang terjadi adalah “suatu bunuh diri kemanusiaan“ seorang ibu
menyusui anaknya, seorang bapak yang menyekolahkan putranya, seorang mahasiswa
yang sedang belajar demi masa depannya dan seterusnya, masihkah mereka dalam
katagori musuh, ketika menjalankan semua itu hanya karena Agama mereka berbeda.
Keempat, betapapun terdapat perbedaan
yang prinsipil antar Agama-Agama, sebetulnya masih banyak persamaan-persamaan
dan kesatuan visi dan misi di antara mereka. Orang boleh mengklaim bahwa
Tuhanku, Nabiku, kitab suciku berbeda sama sekali dengan petujuk Tuhanmu,
tutunan Nabimu, bimbingan kitab sucimu, hal ini perlu dipertimbangkan kembali.
Agama mana? Tuhan yang mana? Nabi siapa dan kitab suci apa? yang tidak
mengajarkan kasih sayang, kebajikan, kesuciaan, kedamaian, keadilan dan
seterusnya dari nilai-nilai positif lainya. Secara sosologis justru manusia
satu dengan manusia yang lain, bangsa yang satu dengan bangsa yang lain, umat
yang satu dengan umat yang lain, saling membutuhkan untuk memenuhi kebuTuhan
hidupnya. Manusia bukan mahluk individu yang harus memisahkan diri dari
masyarakat banyak.
Kita telah mengetahui bahwa hidup
manusia mempunyai tujuan ahir yaitu sesuatu yang baik dan tinggi. Kebahagian
adalah keinginan yang terpuaskan, karena disadari memiliki sesuatu yang baik.
Kepuasan jasmani semata, bukanlah kebagaiaan, itu hanyalah bagian dari intrumen
manusia. Kebahagian tidak sama dengan kegembiraan atau kesenangan. Kebahagian
adalah suatu keadaan yang berlangsung (a lasting condition), dan bukanlah
sebuah perasaan atau emosi yang berlalu.
Secara psikoligis tidaklah mungkin
menghendaki atau mengingini penderitaan atau kesengsaran dalam hidupnya. Semua
orang ingin hidupnya bahagia, aman, tentram, dan korto raharjo. Orang yang
menginginkan hidupnya menderita dan sengsara adalah orang yang jiwanya tidak
sehat. Sudah barang tentu di dalam kehidupan beragama yang sesungguhnya terdiri
dari berbagai Multireligi dan multicultural akan terjadi benturan-benturan
keinginan dan kecendrungan masing-masing orang, atau organisasi, yang semua itu
setiap saat akan memicu kekerasan, pertentangan, perpecahan, bahkan pertumpahan
darah. Hal inilah yang kita sama-sama tidak inginkan terjadinya. Oleh sebab itu
diperluakan kesadaran semua pihak untuk menahan diri, selalu introspeksi diri,
dan yang paling penting kita kembali keajaran Agama masing-masing sesuai dengan
pemahaman yang baik dan benar seperti yang dijalsakan di atas.
Salah satu hal yang perlu
dipertimbangkan dalam rangka meminimalisir segala sesuatu yang terkait erat
dengan konflik antar umat beragama dengan menggunakan Hermeneutiaka ala
Gadamer. Menurutnya penafsiran kitab suci disesuaikan dengan empat macam seni
bahasa yang yang dia rumuskan pertama adalah Bildung (calture). Teks kitab suci
harus berintraksi atau berdialoh dengan nilai-nilai budaya dimana sebuah teks
itu ada. Kedua adalah sensus Coommunis, yang artinya mempunyai petimbangan
peraksis yang baik, ketiga, judgment hampir sama dengan kedua. dan keempat,
adalah Taste yaitu keseimbangan antara insting panca indra dengan
intelekual.
Pemerintah Indonsia berusaha
melakukan segala upaya untuk implementasiakan petujuk-petujuk dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN), yang secara lebih konkrit dan ralaitas. GBHN
menyatakan bahwa pembangunan kehidupan keagamaan harus di laksanakan sedemikian
rupa untuk meningkatkan kerukunan beragama, meningkatkan fasilitas-fasilitas
yang butuhkan kehidupan keagamaan dan membangum pendidikan Agama di
sekolah-sekolah pada semua tingkat. Perlu dicatat bahwa dalam hal ini
Departemen Agama mengembangkan tiga kerukunan ummat beragama; 1) kerukunan
intern umat beragam, 2) kerukunan antar-umat beragama, 3) kerukunan antar umat
beragama dan pemerintah.
Penyebaran Agama tidak dilarang oleh
pemerintah, selama tidak bertentangan dengan hukum yang ada. Bahkan sebenarnya
pemerintah dalam hal ini menganjurkan kegiatan tersebut sepanjang hal ini
dilakukan untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan masing-masing
pemeluk Agama. Demikian juga Pemerintah mendirikan WMAUB (wadah musyawarah
antar umat beragama), tahun 1980, sebagai upaya membangun hubungan yang baik
antar umat beragama yang berbeda dengan pemerintah. Demikian, juga pemerintah
daerah mendirikan forum-forum serupa, di tingkat Propensi dan di hampir selurah
kota-kota besar, untuk misi dan tujuan yang sama pula.
Dalam hal ini pluralisme haruslah
dipahami bukan dengan suatu absolutisme (mutlak-mutlakan) dalam pemahaman
tentang kebenaran dalam agama. Memang, tidak semua agama itu sama. Agama-agama
itu berbeda-beda. Pluralisme juga bukan dipahami dengan bahasa keterpisahan
(fragmentasi, segregasi), yang justru akan menghidupkan fanatisme sempit.
Tetapi pluralisme haruslah dipahami sebagai suatu keterikatan perbedaan dalam
suatu keadaban. Bahwa perbedaan adalah suatu anugerah dan pemahaman terhadap
perbedaan yang menimbulkan keterikatan sebagai umat manusia yang beradab-lah
yang menjadi faktor utama dalam pluralisme.
Refleski
Tuhan yang Maha Esa itu sempurna dengan
sesempurna-sempurnanya, sedangkan manusia, tidak sempurna alias lemah dan
terbatas. Perbedaan yang terjadi di antara agama-agama yang ada di bumi adalah
bentuk dari keterbatasan manusia dalam memahami dan mengerti kemahasempurnaan
Tuhan. Perbedaan itu justru menandai betapa kaya kesempurnaan dan kepenuhan
Tuhan yang tidak sepenuhnya dipahami manusia. Terjadinya kekerasan, konflik
yang berkepanjangan antar manusia adalah salah satu dari kelemahan memahami
sesuatu yang maha transendental itu. Maka pendekatan yang paling efektif untuk
mereda konflik itu adalah pendekatan intersubjektif-open main dalam beragama.
Dengan pendekatan ini akan melahirkan manusia yang pluralis yang tidak jatuh
kepada nihilisme.
Pluralisme keberagamaan adalah suatu
bentuk pengakuan akan keterbatasan manusia dalam memahami dan menangkap
kemahasempurnaan Tuhan. Keterbatasan ini tentunya tidak mengurangi konsep
keagamaan yang menegaskan kebenaran suatu agama sebagai jalan keselamatan bagi
pemeluk-pemeluknya. Di lain sisi, manusia tidak dapat menggunakan keabsolutan
dalam pemahamannya dalam memahami keabsolutan Tuhan. Dalam diri manusia tidak
ada yang absolute, hanya Tuhan itu maha absolut, dan keabsolutan itu tidak bisa
diklaim hanya dapat dipahami oleh bahasa suatu agama tertentu. Pemahaman
manusia tidak akan mampu menembus kemahasempurnaan dan kemahaabsolutan Tuhan.
Manusia hanya mampu berikhtiar melalui jalan keselamatan yang telah diwahyukan
Tuhan dengan jalan yang berbeda terhadap tiap manusia yang ada dimuka bumi ini.
Dimasa modern saat sekarang ini,
agama semakin ditutut mampu memecahkan berbagai macam masalah yang muncul di
tengah-tengah umat, dan merupakan tugas atau amanah dari Allah kepada para
cendikia muslim untuk bagaimana bisa menangkap spirit Al-Quran secara utuh dan
komprehensip. Dengan uraian di atas yang ideal harus dikedepankan, maka
beberapa kesimpulan dapat dikatakan, adalah : pertama, jaminan kebenaran
seseorang pemeluk agama bukan atas status atau identitas kepemelukannya dalam agama-agama
tertentu , tetapi pada penyerahan dirinya secara total kepada Tuhan dan
pembuktian melalui amal-amal baik. Dengan memenuhi syarat-syarat tersebut,
setiap pemeluk agama akan memperoleh keselamatan. Kedua klaim-klaim ekslusif
tentang kebenaran agama muncul dari dua sebab antara lain: (a) kurangnya
pengetahuan pemeluk agama atas agama yang dipeluknya. Artinya klaim ekslusif
tidak mucul jika pemeluk agama memiliki pengetahuan yang mendalam tentang
intisari agama, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. (b) berbahnya
agama sejati, menjadi "agama golongan" tertentu. Agama golongan
inilah yang terlalu melihat kedalam diri, inword looking, dan tidak sudi
memandang adanaya kebenaran pada agama lain, outward looking. Bila seseorang
atau kelompok pemeluk agama telah berperilaku demikian, maka dia atau mereka
telah menjadikan agama yang semula sejati, menjadi agama golongan. Hal ini bisa
mucul dalam komunitas agama mana saja.
Hidup memang penuh dinamika, apalagi
dalam dimensi sosial kemasyarakatannya, termasuk dalam wilayah antar umat
beragama. Ketegangan dan kelegaan, kesulitan dan kemudahan, kerukunan dan
konfik semuanya datang silih berganti. Namun semua konflik yang berdarah-darah
itu, yang terjadi dalam wilayah kehidupan antar dan inter beragama, menujukan
adanya bentuk konflik tidak sehat, karena manusia tidak hanya gagal
mengatasinya dengan jalan kreatif, dan tanpa kekerasan, tetapi bahkan sering
kali mengulang konflik yang sama dengan menimbulkan korban baik harta benda
maupun nyawa yang tak terhitung jumlahnya.
Melihat paparan dan uraian di atas,
agaknya tidak berlebihan menyebut bahwasanya kunci dan jalan keluar pertama
dari berbagai konflik antar Agama yang berdarah-darah dan memilukan tersebut
adalah: Kesediaan untuk membuka diri dan membuka mata terhadap pluralitas untuk
selanjutnya mampu menempatkan diri secara prorprsional ditengah masing-masing
umat. Membuang jauh jauh truth klaim dalam berintraksi dengan Agama dan
kepercayaan lain, sehingga mampu melihat orang dari luar dan dalamnya mereka.
Membuang jauh-jauh prasangka-prasangka negatip lainnya, sehingga ia melihat
semua orang, semua agama ingin mencapai hidup sebagaimana dirinya, aman,
tentram, dan sejatra selamat dunia dan akhirat.
Sebagai catatan akhir dari tulisan
ini, agaknya menarik untuk melihat analisa Farid Esack, terhadap ayat al-Quran
yang membahas menenai hubungan antar Agama ini, yaitu surat al-Maidah Q.S 5 :
48, dalam ayat tersebut dinyatakan, bahwa beragam jalan dan Agama yang ada itu,
adalah kehendak Allah, agar manusia saling berlomba dalam kebaikan. Dengan
melihat kontek perlombaan itu, menurut Farid Esack, menyebutkan ada empat
implikasi yang harus disadari oleh setiap umat beragama; 1) kebajikan yang
diakaui dan diberi pahala itu, bukan monopuli dari satu pihak yang berlomba. 2
) juri dalam hal ini adalah Tuhan harus berada diluar kepentingan-kepentingan
sempit para peseta lomba. 3) klaim bahwasanya dia lebih dekat dengan juri atau
juri lebih sayang kepadanya, tidak ada gunnya bagi peserta lomba, bahkan bisa
jadi merugikan dirinya sendiri. 4) konpetisi yang adil itu, tidak dapat
diketahui hasilnya sebelum lomba berahir.
Selamat dan raih Menjadi Umat yang Pluralis
untuk Meraih Kemenangan
0 comments:
Post a Comment