Ads 468x60px

Saturday, June 1, 2013

Kekerasan Beragama, Mungkin kah?

Sejarah peradaban dunia adalah sejarah yang bergelimang dengan kekerasan, dan diakhiri konflik. Konflik yang ditimbulkan oleh satu peradaban seharusnya tidak terjadi pada wilayah keagamaan -baik internal agama maupun lintas agama- yang kesemuanya di atas namakan Tuhan dan kitab suci, karana maenstremnya berbeda. Hal ini tidak hanya menimbulkan trauma di hati manusia, tetapi ia menyisakan dendam di hati masing-masing-masing pemeluk agama samapai hari ini. Agama dibenturkan oleh umatnya dengan alasan bahwa berperang di jalan-Nya akan mendapatkan balasan setimpal dari Tuhan pula, yaitu surga-Nya sudah siap menanti mereka, para bidadari dengan riang gembira akan menyambutnya, para Malaikat bertepuk tangan kegirangan menyemput ke datangan mereka, dan gelar Sahid yang mereka sandang karena dianggap mati dalam perang suci (Holly War).



Gejala kekerasan (voelence), kebidaban (barbarity), kekejaman (cruerly), dan segala bentuk tindankan yang melampui batas kemanusiaan (inhumanity) yang meuncul dalam kehidupan umat manusia pada hakikatnya telah tua, setua sejarah manusia itu sendiri. Demikian juga sebaliknya, fenomena kemanusiaan (humanity), kedamaian (peace), keamanan, (scurity), toleransi, kabajikan (benevolence), dan rasa kasih kayang atas nama sesama (kemanusiaan), juga telah tua, setua sejarah manusia mengenal kebudayaan, peradaban dan agama.
Dalam Islam sendiri mengakui bahwa pembunuhan terjadi pertama kali adalah dilakukan oleh anak Nabi Adam As, Qabil, yang membunuh adik kandungnya sendiri Habil. Ini adalah sejarah pertama kali bergelimangnya darah di permukaan bumi oleh anak kandung Nabi Adam sendiri. Praktik-praktik kezaliman Fir’aun di Mesir Kuno terhadap rakyatnya yang tidak berdosa banyak dikenal dalam cerita-cerita keagamaan. Demikian pula pada era sekarang, di Mesir kelompok seperti Jihad Islam dan kelompok ekstimis lainnya telah membunuh Presiden Anwar Sadat dan Pejabat pemerintah lainnya, membunuh turis di Luxor, membakar Gereja dan membunuh orang kristen. Belum lagi hubungan Isra’il-Palestina, penggunaan bunuh diri meninggkat secara ekponensial selama intifada (kebangkitan) yang dimulai tahun 2000, dan fenomena mutahir paling menakutkan adalah bom bunuh diri atau serangan bunuh diri dapat dilihat pada serangan 11 September, terhadap World Trade Center dan Pentagon adalah kasusu-kasus kekerasan atas nama agama dan Tuhan.
Lebih jauh lagi orang-orang Yahudi di Israel yang membunuhi kaum Muslim yang tengah shalat di Masjid Hebron, orang-orang Hindu di India yang membakar Masjid Babri, orang-orang Islam di Mesir yang meneror dan membunuh para turis, atau di Banglades dan Iran yang menuntut hukuman mati terhadap novelis Taslima Nasreen atau Salman Rushdie, akar-akar (etnis), konflik berkepanjangan di Irlandia Utara dan bekas Yugoslavia, dan seterusnya, merupakan fenomena lainya. Sejarah banyak mencatat, terjadinya perselisihan, pertikaan bahkan peperangan antaragama yang menodai kemanusiaan manusia itu sendiri. Pertentangan antar Katolik-Islam di Bosnia, antara Islam dan Hindu di India, antara Katolik dan Pronsetan di Irlandia utara, antara Budda dan Hindu di Serilangka, konflik Islam dan Kristen Maluku, konfilik Armenia-Azebrijan dan mungkin masih banyak lagi di tempat-tempat lain yang belum terekspos media yang sesungguhnya sangat memilukan hati nurani manusia yang paling dalam.
Pada umumnya sejumlah konflik antarumat bergama yang terjadi di berbagai penjuru dunia itu tercatat di antara tiga Agama Samet: Yahudi, Kristen dan Islam, memiliki frekuensi yang cukup tinggi, entah apa sebenarnya terjadi, padahal ketiga Agama tersebut pada dasarnya memiliki sumber dan corak yang sama, bahkan disebut-sebut berakar dari satu sumber yakni pada Nabi Ibrahim, hingga sering disebut sebagai “satu saudara“. Nabi Muhammad sendiri pernah menyatakan (diriwayatkan oleh Bukhari ) “bahwa para Nabi itu termasuk Musa dan Isa adalah saudara satu ayah namun beda Ibu”. Dengan demikian agama mereka pada dasarnya adalah satu, yaitu monotisme (tauhid), penegakan keadilan secara univesral.
Belum lagi tradisi internal agama-agama, selain memiliki ajaran yang diakui kebenaannya secara umum, bisa dan sering terjadi penyelewengan oleh umatnya sendiri sangat berpeluang mengundang konfiki yang berdarah-darah. Sederet tokoh yang telah melakukan itu; misalnya dalam sejarah agama-agama abad ke-20, kita bisa menyebut nama Mahatma Gandhi (Hindu), Martin Luther King Jr. (Kristen), Malcolm X (Islam), Ibu Theresa (Katolik), dan Dalai Lama (Budha) mengakitabkan hal yang serupa, menyebabkan konflik, kericuhan, kekerasan, dan akhirnya gendang peperangan terjadi. Belum lagi perbedaan mazhab di antara 4 mazhab yang tekenal, antara Sunni-Syi’ah juga ikut menorehkan sejarah kemanusiaan yang semuanya berakar dari pemahaman agama dan konsep perbedaan visi politik, melahirkan ribuan korban nyawa melayang. 
Secara jujur harus diakui bahwasanya hubungan antaragama itu tidak selalu menampilkan wajah yang harmonis, santun, penuh kerukunan dan pengertian. Sebakiknya yang muncul adalah wajah konflik dan ketegangan, dan kekerasaan. Satu sisi juga kekerasan, konfik, gelak sosial lainnya, terjadi diinternal agama itu sendiri, menambah kesan bahwa orang beragama adalah orang yang berjiwa keras, kaku dan berdarah-darah.
Persoalan hubungan antarumat beragama dan internal umat beragama menjadi tema yang menarik, hal ini setidaknya dikarenakan dua hal; pertama, karena agama dianggap sesuatu yang vital dan berhubungan dengan sesuatu yang diyakini kebenarannya secara final (given for garanted), dan tidak boleh ditawar-tawar lagi, sementara dalam realitanya tidak hanya satu agama yang dipercayai manusia (ourselves), tetapi ada banyak agama, (other). Kedua, agama adalah sesuatu yang sekaral yang memberikan kedamaian dan kesejukan dalam menjakani hidup. Dengan kata lain agama sebagai insfirator dan way of live bagi pemeluknya. Sehingga ketika terjadi “benturan kepentingan” secara otomatis masing-masing pemeluk agama akan menjadikan kitab suci mereka sebagai kiblat, dan menfikan yang agama-agama lain (other). Ketiga, sikap yang ekslusif pemahaman beragama. Hal ini juga banyak memicu konflik yang selama ini terjadi di antara manusia. Ketika orang bersikap demikian bahwa yang ada adalah kita dan yang lain adalah salah, kafir, murtad, dan surga hanya milik dirinya dan kelompoknya. 
De fackto menunjukkan, keragaman agama dan kepercayaan dalam kehidupan adalah kenyataan yang tidak mungkin dihindari. Berhadapan dengan kenyataan tersebut setiap orang dan umat beragama dituntut untuk mengambil sikap yang tepat dan benar. Maka tibul pertanyaan besar apakah agama merupakan biang keladi masalah di atas? Jika agama itu benar sebagaimana diyakini pemeluknya, mengapa agama itu tidak mempengaruhi pemeluknya, sehingga tidak timbul kekerasan dan konflik? Mengapa Tuhan menciptakan banyak agama? Apakah tidak lebih baik bagi Tuhan untuk menciptakan satu agama dan semua manusia mengikuti agama tersebut? Kalau pun tidak demikian bagaimana cara terbaik untuk menjalin hubungan yang baik dan harmonis antar agama? Bagiamana seharusnya agama yang saya, kami, mereka anut, dipercayai kebenarannya dapat berintraksi dangan agama lain? Cara dan pendekatan apa yang harus ditempuh, konfrontatif atau kooperatif, objektivitas atau subyektivitas atau intersubjektif atas teks agama?, temukan jawabannya di malakah ini.

Ambiguitas Agama ‘Boleh Jadi’ Penyebab Kekerasan Konflik
Disadari atau tidak, bahwa berbagai kemungkinan sumber atau akar kekerasan dapat disebutkan antara lain adalah, pengaruh iklaim, watak jahat dan distruktif dalam diri manusia, struktur yang jelek dan tidak adil, dan terakhir adalah Sara. Namun dari sekian banyak penyebab atau sumber kekerasan, sering terjadi di antara manusia yang berakhir dengan peperangan adalah kasus Sara. Maka Konflik itu seolah-olah membenarkan bahwa agama penuh dengan kekerasan. Agama penuh dengan wajah dendam, wajah perang, dan wajah anti damai. Apakah demikian adanya? Jika demikian sejarah peradaban manusia seakan-akan ikut membenarkan dalil Karl Marx yang terkenal dengan “agama adalah candu masyarakat”. Demikian juga dengan statemennya Nietzsche, seperti yang kutip oleh Tyler T. Roberts, “kisah orang suci (beragma), adalah bacaan paling abigu dalam eksistensi”. 
Dengan meminjam teori Nietzsche, keambiguan agama sangat kental terlihat dalam realitas sehari-hari kehidupan beragama manusia. Ada beberapa penyebab yang dapat menyebabkan konflik antaragama antara lain; pertama, adanya truth claim (klaim kebenaran) dalam diri suatu agama. Klaim ini merupakan fondasi iman dan fondasi ajaran berdirinya suatu agama dan bersifat mutlak (absolut) dalam segalanya, sehingga merelatifkan yang lain. Padahal yang mutlah (absolute) itu hanya Tuhan, bukan manusia atau agama itu sendiri secara personal. Semua selain Tuhan adalah relatif sifatnya. Terjadinya truth claim ini menjadi bagain terpenting dalam memicu kekerasan dan menyulut peperangan. Kebenaran dalam agama adalah mutlak (absolute) dalam pemahaman manusia saja, tetapi menjadi tidak mutlak jika dihadapkan pada keabsolutan Tuhan. Seluruh jalan keselamatan yang diimani oleh pemeluknya dan yang termuat dalam teks kitab suci diyakini sebagai sumber keselamatan yang berasal langsung dari Tuhan, tidak ada konstruksi manusia di dalamnya. Oleh karena itu kebenaran itu tidak memerlukan kebenaran dari pihak agama lain.
Kedua, perbedaan penafsiran, paradigma dan pendekatan justru membuat agama menjadi tidak toleran. Ketika teks-teks kebenaran dari suatu agama dipahami dan diinterpretasikan secara kaku dan literal agama justru menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam perilaku tidak toleran itu. Contoh sederhana adalah makna Jihad dalam persepsi sebagian umat orang Islam. Jihad secara bahasa berarti sunggung-sungguh, berjuang, mengelurkan segenap kemampuan yang dimiliki, kemampuan, daya upaya atau kesanggupan. Namun sering kali jihad dipahami secara literer berarti perang, sehingga dengan adanya legitimasi dari al-Qur'an maupun Hadis perang merupakan hal yang wajib bagi setiap orang yang beriman. 
Ketiga, identifikasi “kita” dan “mereka” yang membutuhkan legitimasi terus-menerus agar tidak usang terus dikembangkan lewat narasi besar berupa dasar-dasar keimanan, kisah-kisah dan ritual keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan tertentu, dan seterusnya. Narasi ini seringkali diperkokoh oleh bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang amat kasat mata seperti kekhasan pakaian, arsitektur, musik dan lainnya. Semua ini hanya menambah kekokohan identitas diri dan kelompok di atas, sekaligus memperteguh pembedaan di antara banyak orang dan kelompok manusia beriman. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah kepada askalasi konflik. Kelompok sendiri, “kita,” disucikan dan makin disucikan, sedang kelompok lain, “mereka,” dilecehken dan disetankan.
Keempat, di satu sisi agama identik dengan kedamian dan keadilan, memberikan kesejukan dan rasa aman bagi manusia yang percaya kepada ajaran Tuhan, namun di satu sisi ia mengancam dengan neraka bagi mereka yang tidak mempercayai dan melaksanan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Hal semacam menjadi delima bagi manusia, sehingga menuntut untuk diimani dan dilaksanakan segala macam perintahnya dan meninggalkan segala macam larangannya. Hemat penulis, hampir semua agama mempercayai adanya dokterin seperti itu, sehingga doktirin itu mempompa dan membakar umatnya untuk memaksan diri menyebarkan agama kepada orang lain agar diyakini dan ikut bergabung dengan keyakinannya, melalui da’wah. 
Menuju Umat wasattan untuk Perdamaian Dunia
Setiap orang yakin akan kebenaran agamanya, adalah sesuatu yang wajar dan niscaya, karena di sanalah inti dan pokok dari keberagamaan.
Tetapi kemudian keyakinan akan kebenaran agamanya tersebut membuatnya menegasikan kepercayaan orang lain dan memvonis yang lain itu sebagai yang pasti salah adalah sikap yang patut di pertanyakan kembali. Apalagi jika vonis salah tersebut kemudian digeneralisasikan dengan menganggap salah juga segala hal yang berasal dari si kafir tersebut, ini adalah tindakan ekstim dan ekslusif yang harus dijahui. Pada umumnya ada tiga paragidma dasar manusia dalam beragama seperti yang dikatakan oleh Raimodo Pannikar, yaitu: pertama, Eklusifime, yaitu pandangan dan sikap yang mengklaim kebenaran dan keselamatan hanya pada agama yang dianutnya sendiri yang lain, tidak ada jalan untuk selamat dan masuk sorga. Kedua, Inkulisfisme, yaitu pandangan dan sikap yang mengklaim bahwa agama yang dianutnya memiliki kebenaran dan keselamatan yang lebih sempurna, jika dibandingkan dengan agama lainya. Artinya dalam padangan ini agama lain masih ada ruang untuk selamat, untuk masuk sorga dan seterusnya, dengan beberapa syarat-syarat tertentu. Ketiga, Paralisme, yaitu satu pandangan yang menganggap bahwa sumua kepercayaan agama yang berbeda itu meskipun terjadi lika-liku dan kebersimpangsiuran, sesungguhnya mempunyai kesejajaran dan kesamaan yang nantinya akan bertemu pada penziarahan manusia.
Semenrtara W. Tilly menambahkan bahwa empat teori keagamaan yaitu; ekslusifisme inklusifisme, pluralisme dan partikularisme dari penelitaian Tilly mengemukakan bahwa semula teori-reori dasar ini dilontarkan oleh para sarjana agama untuk menjelaskan sikap dan pandangan umat Kristen tentang tema keselamatan dan kebenaran. Eklusifisme dan inklusifisme yang di kemukakan oleh Tilly mencakup pengertian seperti yang di ungkapan di atas, akan tetapi pluralismenya mengandang penjelasan yang berbeda. Dalam pemahamannya, ia menjelaskan; pluralisme adalah pandangan dan sikap yang mengkliam bahwa terdapat banyak jalam menuju yang satu yang menujukkan dirinya dengan banyak cara, sehingga setiap orang hendaknya menuruti jalannya masing-masing sebaik mungkin agar selamat; artinya tidak ada kepastiaan yang mutlak. Kemudian teori keempat yang dikemukan oleh Tilly adalah partikularisme, yaitu suatu pandangan dan sikap yang menganggap bahwa setiap agama memiliki substansi yang berbeda-beda dan cendrung mendukung klaim-klaim teologis yang santun. Kaum partikularis memandang bahwa memastikan siapakah yang benar dan selamat merupakan “tindakan lancang”, karena mengkliam paling mengetahui, pada akhirnya Tuhan mengatur segala sesuatu.
Sementara Cobb merasa tidak puas dengan teori-teori di atas lalu menggagas sautu teori yang disebut dengan teologi transpormatif
Di era globalisasi saat ini, umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Maka, pluralisme agama, konflik internal atau antarkeagamaan adalah fenomena nyata. Dalam realitas sosial kemasyarakatan tidak hanya ada self, tetapi ada the ather yang harus diakui eksistensinya. Dalam rangka mencipatkan suasana yang harmonis dan dinamis, perlunya ada pemahaman yang komprhensif dan universal tentang esensi ajaran agama sendiri, agama orang lainnya.
Dalam Islam sendiri, inti agama yang benar adalah sikap pasrah kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa, pencipta seluruh langit dan bumi. Tanpa sikap itu hemat Cak Nur, suatu keyakinan keagamaan akan tidak memiliki kesejatian. Agama yang benar di sisi Tuhan Yang Maha Esa ialah sikap pasrah yang tulus kepada-Nya. Dalam al-Qur'an sangat mengajurkan penyerahan total kepada-Nya dan tidak ada tempat selain penyerahan kepada Tuhan. Penyerahan adalah sikap batin dan hal ini bersifat sangat personal, atau dengan bahasa lain, hanya orang yang bersangkutan sendiri saja dan Allah yang tau persis apakah ia secara sejati pasrah kepada Allah (muslim), atau tidak. Atau dengan meminjam bahasanya Hasan Hanfi, objektifitas akan menjadi kuat melalui inter-subjektifitas ketimbang tenggelam dalam pemahaman objektivisme. 
Islam sebagaimana namanya adalah terbentuk dari kata yang sama dengan salam, yang berarti perdamaian, dengan kata lain Islam adalah agama damai dan penuh kedamaian. Maka ketika Islam sudah diyakini dan dipeluk sebagai sebuah aksi, dan model hidup, tunggal, jamak, laki-laki atau wanita ia akan melahirkan sikap yang santun dan damai. Demikian juga as-salam merupakan bagian dari nama Tuhan yang dianggap sebagai kode universal dari etika perdamaian, dan karenanya, menurut Hasan Hanafi, merupkan bagian dari tingkah laku manusia baik sebagai individu maupun sebagai komunitas. Pluralitas keberagamaan manusia adalah realitas kehidupan yang tidak bisa dihindari. Terlebih saat sekarang ini era moderenitas segala sesuatu berubah secara cepat dan intsan. Dan tidak suatu kelompok maupun Negara yang bisa menolak atau mengentikannya. Pluralitas keberagamaan ini merupakan tantangan khusus yang di hadapi oleh agama-agama dewasa ini. Setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural dan membentuk dirinya sebagai tanggapan pluralitas tersebut. Ketegangan terkadang mewarnai hubungan antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain. Dalam kaitan ini sikap yang diambil para pemeluk agama dalam merespon realitas pluralitas agama memang tidaklah seragam dan seide, sesuai dengan cara pandang terhadap realitas tersebut dan pemahaman atas dasar-dasar atau sumber dari keyakinan yang diantutnya. Dan tidak jarang sikap-sikap tersebut bertentangan, bahkan sikap pemeluk agama tertentu juga berpariasi, meskipun sikap yang berbeda itu pada dasarnya, berdasar pada mencari legitimasi dari sumber suci yang sama.
Umat Islam, misalnya dalam menyikapi masalah ini tentu saja merujuk kepada al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber pokok ajaran Islam. Namun demikian, meskipun sama-sama berpegang pada al-Quran dan Hadis, sikap dan pemahaman atau corak fikir terhadap realitas pluralitas agama sangat beragam. Hal ini dapat di saksikan melalui beragamnya penafsiran atas nash-nash al-Quran yang berkaitan dengan pluralitas agama. Bahkan satu penafsiran terkadang bertentangan dengan penafsrian lainnya. Menurut identifikasi Alwi Syhab, beberapa kitab tafsir al-Quran seperti yang ditulis oleh Syaid Qutub (fi zdilalil Quran Wahbah Zuhaili (al-Tafsri al-Manir), Syaid Hawwa (al-asas fi Al-Tafasir), Mutawalli Sa'rawy (Tafir al-Sa'rawy) dan Muhmmad al-Balaghi –Penafsir syi'ah ('ala al Rahman fi' Tafsir al-Quran) adalah contoh penasiran Quran bercorak eklusif, dan sangat berbeda dari yang dilakukan oleh mufassir yang bercorak inkusif, seperti Muhammad Abduh dan Rasih Rido' (Tafsrir al-Manar) al-Taba'ta'i (al-Mizan) dan Muhammad Jawwad al-Mughiyah (Tafsir al-Mubin), semenrara Fazlur Rahman juga digolongkan sebagai pemikir yang bercorak pluralis.
Maka dalam rangka untuk bersikap secara sehat dan dinamis diperlukan satu sikat yang akomodatif, terbuka, santun dan berwawasan tinggi, perlu dikedepankan dengan essi-issi yang perlu direnungkan bersama dalam keragaman beragama. Pertama, betapun setiap orang terkait demensi dengan historisitas kehidupannya. Setiap orang menghayati dan memahami Agamanya hanya sejauh kemampuan dan pengalamannya. Pemahamanan dan penghayatan seorang anak kecil, seorang remaja, seorang pendang, seorang mahasiswa, seorang ibu, seorang Kiay dan seterusnya, terhadap Agamanya, Tuhannya, Nabinya, Kitab sucinya, bisa dipastikan berbeda-beda, meskipun sumbernya sama. Pemahaman di antra mereka tersebut yang dapat dikatakan paling berar? Dengan kata lain kondisi histories masing-masing orang pada ahirnya sangat menentukan kepercayaan apa dan keberagamaan seperti apa yang akan di jalaninya. Menurut John H Hick melului bukunya Philosofi of Riligion benturan yang terjadi itu sebenarnya bukanlah benturan antar Agama atau antar kebenaran Agama itu sendiri, tetapi lebih merupakan benturan pemahaman terhadap Agama masing-masing. Pemahaman terhadap Agama yang pada ahirnya menjadi basis bagi perilaku budaya pemeluk Agama inilah yang sering berbenturan. Jadi mengatakan satu Agama itu salah itu benar tidaklah tepat, yang lebih tepat apakah satu budaya itu salah atau benar jika dikaitkan dengan nilai atau norma yang menjadi landasannya. Pandangan-pandangan kerangka pakir semacam ini memunculkan ide-ide mengenai esoteris-esoteris juga Normativitas-Historisitas dalam keberagamaan dan dapat ditelaah lebih jauh antra lain dalam Tulisan-tulisan Tyinbee, Fritjoof Schon, Paul Kniter, Huten Smith, juga bisa didapati dalam karya-karya Seyyed Hossen Nasr.
Kedua, Pluralitas Agama itu adalah satu realitas, maka pertanyaan-pertanyaan yang harus di ajaukan, adalah dapatkah realitas keberagamaan Agama dan kepercayaan itu di hindari atau di satukan? Akankah menyatukan keragaman tersebut dan membuat semua orang tunduk dan patuh pada satu Agama? Kalau mungkin bagaimana caranya? Kalau tidak mungkin lantas keberagamaan itu disikapi seperti apa? Apakah setiap orang yang memiliki keyakinan berbeda dengan milikku atau milik mereka dilenyapkan saja dipermukaan bumi ini,?. Jelasnya Pluralitas Agama itu adalah satu keniscayaan yang tidak bisa dihindari, maka langkah paling Urgen yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola pluralitas tersebut agar menjadi ladang harmoni dan sumber bagi penguatan manusia, bukannya mengupayakan dan mencita-citakan agar setiap orang “bersatu Agama”. 
Ketiga, betapapun setiap orang memiliki keyakinan dan Agama yang berbeda-beda pada dasarnya mereka adalah mahluk yang sama, memiliki kebuTuhan yang sama, yang mengemban hak dan kewajiban kemanusiaan yang sama. Kalau seseorang dianggap salah, dan dianggap sebagai musuh dalam totalitas kehidupannya hanya karena Agama yang beda, maka yang sebenarnya yang terjadi adalah “suatu bunuh diri kemanusiaan“ seorang ibu menyusui anaknya, seorang bapak yang menyekolahkan putranya, seorang mahasiswa yang sedang belajar demi masa depannya dan seterusnya, masihkah mereka dalam katagori musuh, ketika menjalankan semua itu hanya karena Agama mereka berbeda.
Keempat, betapapun terdapat perbedaan yang prinsipil antar Agama-Agama, sebetulnya masih banyak persamaan-persamaan dan kesatuan visi dan misi di antara mereka. Orang boleh mengklaim bahwa Tuhanku, Nabiku, kitab suciku berbeda sama sekali dengan petujuk Tuhanmu, tutunan Nabimu, bimbingan kitab sucimu, hal ini perlu dipertimbangkan kembali. Agama mana? Tuhan yang mana? Nabi siapa dan kitab suci apa? yang tidak mengajarkan kasih sayang, kebajikan, kesuciaan, kedamaian, keadilan dan seterusnya dari nilai-nilai positif lainya. Secara sosologis justru manusia satu dengan manusia yang lain, bangsa yang satu dengan bangsa yang lain, umat yang satu dengan umat yang lain, saling membutuhkan untuk memenuhi kebuTuhan hidupnya. Manusia bukan mahluk individu yang harus memisahkan diri dari masyarakat banyak.
Kita telah mengetahui bahwa hidup manusia mempunyai tujuan ahir yaitu sesuatu yang baik dan tinggi. Kebahagian adalah keinginan yang terpuaskan, karena disadari memiliki sesuatu yang baik. Kepuasan jasmani semata, bukanlah kebagaiaan, itu hanyalah bagian dari intrumen manusia. Kebahagian tidak sama dengan kegembiraan atau kesenangan. Kebahagian adalah suatu keadaan yang berlangsung (a lasting condition), dan bukanlah sebuah perasaan atau emosi yang berlalu. 
Secara psikoligis tidaklah mungkin menghendaki atau mengingini penderitaan atau kesengsaran dalam hidupnya. Semua orang ingin hidupnya bahagia, aman, tentram, dan korto raharjo. Orang yang menginginkan hidupnya menderita dan sengsara adalah orang yang jiwanya tidak sehat. Sudah barang tentu di dalam kehidupan beragama yang sesungguhnya terdiri dari berbagai Multireligi dan multicultural akan terjadi benturan-benturan keinginan dan kecendrungan masing-masing orang, atau organisasi, yang semua itu setiap saat akan memicu kekerasan, pertentangan, perpecahan, bahkan pertumpahan darah. Hal inilah yang kita sama-sama tidak inginkan terjadinya. Oleh sebab itu diperluakan kesadaran semua pihak untuk menahan diri, selalu introspeksi diri, dan yang paling penting kita kembali keajaran Agama masing-masing sesuai dengan pemahaman yang baik dan benar seperti yang dijalsakan di atas.
Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam rangka meminimalisir segala sesuatu yang terkait erat dengan konflik antar umat beragama dengan menggunakan Hermeneutiaka ala Gadamer. Menurutnya penafsiran kitab suci disesuaikan dengan empat macam seni bahasa yang yang dia rumuskan pertama adalah Bildung (calture). Teks kitab suci harus berintraksi atau berdialoh dengan nilai-nilai budaya dimana sebuah teks itu ada. Kedua adalah sensus Coommunis, yang artinya mempunyai petimbangan peraksis yang baik, ketiga, judgment hampir sama dengan kedua. dan keempat, adalah Taste yaitu keseimbangan antara insting panca indra dengan intelekual. 
Pemerintah Indonsia berusaha melakukan segala upaya untuk implementasiakan petujuk-petujuk dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang secara lebih konkrit dan ralaitas. GBHN menyatakan bahwa pembangunan kehidupan keagamaan harus di laksanakan sedemikian rupa untuk meningkatkan kerukunan beragama, meningkatkan fasilitas-fasilitas yang butuhkan kehidupan keagamaan dan membangum pendidikan Agama di sekolah-sekolah pada semua tingkat. Perlu dicatat bahwa dalam hal ini Departemen Agama mengembangkan tiga kerukunan ummat beragama; 1) kerukunan intern umat beragam, 2) kerukunan antar-umat beragama, 3) kerukunan antar umat beragama dan pemerintah.
Penyebaran Agama tidak dilarang oleh pemerintah, selama tidak bertentangan dengan hukum yang ada. Bahkan sebenarnya pemerintah dalam hal ini menganjurkan kegiatan tersebut sepanjang hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan masing-masing pemeluk Agama. Demikian juga Pemerintah mendirikan WMAUB (wadah musyawarah antar umat beragama), tahun 1980, sebagai upaya membangun hubungan yang baik antar umat beragama yang berbeda dengan pemerintah. Demikian, juga pemerintah daerah mendirikan forum-forum serupa, di tingkat Propensi dan di hampir selurah kota-kota besar, untuk misi dan tujuan yang sama pula.
Dalam hal ini pluralisme haruslah dipahami bukan dengan suatu absolutisme (mutlak-mutlakan) dalam pemahaman tentang kebenaran dalam agama. Memang, tidak semua agama itu sama. Agama-agama itu berbeda-beda. Pluralisme juga bukan dipahami dengan bahasa keterpisahan (fragmentasi, segregasi), yang justru akan menghidupkan fanatisme sempit. Tetapi pluralisme haruslah dipahami sebagai suatu keterikatan perbedaan dalam suatu keadaban. Bahwa perbedaan adalah suatu anugerah dan pemahaman terhadap perbedaan yang menimbulkan keterikatan sebagai umat manusia yang beradab-lah yang menjadi faktor utama dalam pluralisme.

Refleski
Tuhan yang Maha Esa itu sempurna dengan sesempurna-sempurnanya, sedangkan manusia, tidak sempurna alias lemah dan terbatas. Perbedaan yang terjadi di antara agama-agama yang ada di bumi adalah bentuk dari keterbatasan manusia dalam memahami dan mengerti kemahasempurnaan Tuhan. Perbedaan itu justru menandai betapa kaya kesempurnaan dan kepenuhan Tuhan yang tidak sepenuhnya dipahami manusia. Terjadinya kekerasan, konflik yang berkepanjangan antar manusia adalah salah satu dari kelemahan memahami sesuatu yang maha transendental itu. Maka pendekatan yang paling efektif untuk mereda konflik itu adalah pendekatan intersubjektif-open main dalam beragama. Dengan pendekatan ini akan melahirkan manusia yang pluralis yang tidak jatuh kepada nihilisme.
Pluralisme keberagamaan adalah suatu bentuk pengakuan akan keterbatasan manusia dalam memahami dan menangkap kemahasempurnaan Tuhan. Keterbatasan ini tentunya tidak mengurangi konsep keagamaan yang menegaskan kebenaran suatu agama sebagai jalan keselamatan bagi pemeluk-pemeluknya. Di lain sisi, manusia tidak dapat menggunakan keabsolutan dalam pemahamannya dalam memahami keabsolutan Tuhan. Dalam diri manusia tidak ada yang absolute, hanya Tuhan itu maha absolut, dan keabsolutan itu tidak bisa diklaim hanya dapat dipahami oleh bahasa suatu agama tertentu. Pemahaman manusia tidak akan mampu menembus kemahasempurnaan dan kemahaabsolutan Tuhan. Manusia hanya mampu berikhtiar melalui jalan keselamatan yang telah diwahyukan Tuhan dengan jalan yang berbeda terhadap tiap manusia yang ada dimuka bumi ini.
Dimasa modern saat sekarang ini, agama semakin ditutut mampu memecahkan berbagai macam masalah yang muncul di tengah-tengah umat, dan merupakan tugas atau amanah dari Allah kepada para cendikia muslim untuk bagaimana bisa menangkap spirit Al-Quran secara utuh dan komprehensip. Dengan uraian di atas yang ideal harus dikedepankan, maka beberapa kesimpulan dapat dikatakan, adalah : pertama, jaminan kebenaran seseorang pemeluk agama bukan atas status atau identitas kepemelukannya dalam agama-agama tertentu , tetapi pada penyerahan dirinya secara total kepada Tuhan dan pembuktian melalui amal-amal baik. Dengan memenuhi syarat-syarat tersebut, setiap pemeluk agama akan memperoleh keselamatan. Kedua klaim-klaim ekslusif tentang kebenaran agama muncul dari dua sebab antara lain: (a) kurangnya pengetahuan pemeluk agama atas agama yang dipeluknya. Artinya klaim ekslusif tidak mucul jika pemeluk agama memiliki pengetahuan yang mendalam tentang intisari agama, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. (b) berbahnya agama sejati, menjadi "agama golongan" tertentu. Agama golongan inilah yang terlalu melihat kedalam diri, inword looking, dan tidak sudi memandang adanaya kebenaran pada agama lain, outward looking. Bila seseorang atau kelompok pemeluk agama telah berperilaku demikian, maka dia atau mereka telah menjadikan agama yang semula sejati, menjadi agama golongan. Hal ini bisa mucul dalam komunitas agama mana saja.
Hidup memang penuh dinamika, apalagi dalam dimensi sosial kemasyarakatannya, termasuk dalam wilayah antar umat beragama. Ketegangan dan kelegaan, kesulitan dan kemudahan, kerukunan dan konfik semuanya datang silih berganti. Namun semua konflik yang berdarah-darah itu, yang terjadi dalam wilayah kehidupan antar dan inter beragama, menujukan adanya bentuk konflik tidak sehat, karena manusia tidak hanya gagal mengatasinya dengan jalan kreatif, dan tanpa kekerasan, tetapi bahkan sering kali mengulang konflik yang sama dengan menimbulkan korban baik harta benda maupun nyawa yang tak terhitung jumlahnya.
Melihat paparan dan uraian di atas, agaknya tidak berlebihan menyebut bahwasanya kunci dan jalan keluar pertama dari berbagai konflik antar Agama yang berdarah-darah dan memilukan tersebut adalah: Kesediaan untuk membuka diri dan membuka mata terhadap pluralitas untuk selanjutnya mampu menempatkan diri secara prorprsional ditengah masing-masing umat. Membuang jauh jauh truth klaim dalam berintraksi dengan Agama dan kepercayaan lain, sehingga mampu melihat orang dari luar dan dalamnya mereka. Membuang jauh-jauh prasangka-prasangka negatip lainnya, sehingga ia melihat semua orang, semua agama ingin mencapai hidup sebagaimana dirinya, aman, tentram, dan sejatra selamat dunia dan akhirat.
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, agaknya menarik untuk melihat analisa Farid Esack, terhadap ayat al-Quran yang membahas menenai hubungan antar Agama ini, yaitu surat al-Maidah Q.S 5 : 48, dalam ayat tersebut dinyatakan, bahwa beragam jalan dan Agama yang ada itu, adalah kehendak Allah, agar manusia saling berlomba dalam kebaikan. Dengan melihat kontek perlombaan itu, menurut Farid Esack, menyebutkan ada empat implikasi yang harus disadari oleh setiap umat beragama; 1) kebajikan yang diakaui dan diberi pahala itu, bukan monopuli dari satu pihak yang berlomba. 2 ) juri dalam hal ini adalah Tuhan harus berada diluar kepentingan-kepentingan sempit para peseta lomba. 3) klaim bahwasanya dia lebih dekat dengan juri atau juri lebih sayang kepadanya, tidak ada gunnya bagi peserta lomba, bahkan bisa jadi merugikan dirinya sendiri. 4) konpetisi yang adil itu, tidak dapat diketahui hasilnya sebelum lomba berahir.
Selamat dan raih Menjadi Umat yang Pluralis untuk Meraih Kemenangan

0 comments:

Post a Comment