Ads 468x60px

Saturday, June 1, 2013

Prosesi Pewahyuan Al-Qur'an

Dalam bahasa agama, wahyu itu dapat dipahami sebagai petunjuk atau hidayah bagi ummat manusia dalam mengarungi kehidupan. Hal inilah yang oleh agama-agama samawi istilah wahyu merupakan tolak ukur sebuah kebenaran dalam kehidupan mereka. Dalam proses pewahyuan ternyata banyak mengudang kontroversi di kalangan ulama. Tetapi 


semua mengacu pada pendekatan pemahaman sama, namun dengan bahasa yang berbeda. Hal ini wajar karena mereka-mereka tidak mengalaminya secara langsung. Para ulama hanya bersepikulasi dalam merumuskan teori pewahyuaan wahyu, Yang mengetahui secara persis hakikat pewayuaan itu adalah para nabi dan rasul yang mendapat tugas dari sang Khalik.
Pewahyuan wahyu adalah proses intraksi antara Tuhan sebagai sang Khaliq dan manusia dalam hal ini para Nabi. Dalam intraksi itu adakalany Tuhan memberikan wahyu kepada Nabi-nabi dengan cara langsung atau secara tidak langsung tanpa perantara atau dengan mengunakan prantara utusannya, yang semuanya bersumber dari yang satu, yaitu Tuhan. Dalam pewahyuan itu terkandung berbagai macam informasi-informasi, hukum, pesan-pesan keagamaan dan kemasyarakatan yang kesemuanya menjadi pedoman bagi manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan, untuk mencapi kebahagiaan hakiki di dunia dan diakhirat.
Al-Quran adalah wahyu Allah SWT yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad sebagai kitab suci terahir untuk di jadikan petunjuk dan pedoman hidup dalam mencapai kebahagian dunia dan ahirat. Demikan pula al-Quran sebagai sumber pokok dan mata air yang memancarkan ajaran-ajaran Islam dalam al-Quran surat al- isro’ ayat 9 di tegaskan bahwa ”sesungguhnya bahwa Al-Quran itu memberi petujuk kejalan yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang beriman yang berbuat kebaikan bahwa mereka memperoleh pahala yang sangat besar”. Kitabullah Al-Quran yang penuh dengan petujuk, undang-undang dan hukum itu di turunkan sebagai pokok-pokok keterangan yang tidak dapat di sangkal. Al-Quran membekali kita dengan berbagai perinsip dan kaidah-kaidah umum serta dasar-dasar yang menyeluruh dan Allah telah menugaskan kepada rasulnya yakni Muhammad, agar menjelaskan kepada manusia, agar segala yang tersirat di dalam semua prisnip, kaidah, dan ajaran pokok tersebut secara terinci, bagian demi bagian termasuk ranting dan cabangnya meskipun tidak secara keseluruhan atau mendetil.
Menurut Al-Quran para nabi adalah orang-orang yang revolusioner yang tapil (dengan membawa wahyu) di dalam berbagai macam corak masyrakat yang berbeda-beda sepanjang zaman, yang dalam Al-Quran jumlah Revolusiaoner itu ada yang disebutkan nama-namnya ada juga yang tidak. seorang nabi-repolusioner dengan sipat umum dari para revolusioner adalah mereka melakukan revolusi dan berjuang melawan masyarakat-masyarakat penindas, Qur zalima, serta membimbing, mengerakkan dan pengorganisasikan para pejuang pemberontak, kaum miskin, kaum lemah yang percaya kepada kebenaran, kejujuran, kesetaraan sosial, persaudaraan dan keadilan serta bertekat keras untuk meujudkan sebuah tatanaan sosial yang egaliter dan adil menggantikan sebuah tatanan sosial yang diskrininatif.
Setiap dari revolusiaoner (para nabi) memadukan dua peran utama pertama sebagai seorang nabi yang menerima wahyu Ilahi dan dibimbing oleh kebenaran Ilahiyah dan kedua peran seorang revolusiomaer atau seorang pemberontak yang membawa perubahan-perubahan radikal dalam tatanan sosial yang sudah usang dan mentransformasikannya ke model-model dan pola perilaku, pemikiran, emosi dan moral manusia yang sesuai dengan kebenaran wahyu jadi wahyu atau agama adalah revolusi dan revolusi adalah Agama atau wahyu. Wahyu pada tahapan pertama, pernyadaran atau mentranformasi sang nabi-revolusioner, dan selanjutnya kebenaran wahyu ini secara moral dan sosial membangkitkan kembali masyarakat yang korp dan mati, seperti hujan yang memberikan kehidupan pada tanah yang kering dan gersang. 
Di sisi lain para rasul (revolusioner ini) sama seperti manusia biasa mempunyai sipat-siapat seperti manausia lainnya, karena juga mempunyai unsur yang sama yaitu terdiri ari dua unsur. Unsur atas dan usur bawah yang harus terpenuhi secara seimbang dan prorsional. kalau di buat sebuah pertanyaan mengapa Tuhan menjadikan utusannya dari bangsa atau jenis manusia? Tidak dari bangsa lain seperti malaikat? Barang kali untuk menjawab perlu ini kita perlu kembali kepada sejarah nabi Adam, dengan merujuk kepada ayat-ayat Al-Quran. Dan sebagai sebuah jawaban singkat bahwa Tuhan mengutus utusannya dari jenis manusia adalah untuk memudahkan komunikasi dan intraksi antar sesama, sehingga pesan-pesan dapat terserap dengan mudah dan baik.
Kemudian dalam ajaran agama yang di wahyukan ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua jalan akal, yang di anugrahkan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yan di peroleh panca indara sebagai bahan untuk sampai kepada kesimupan-kesimpulan. Dan pengetahuan yang di bawa oleh wahyu bersipat absulut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang di peroleh melalui akal bersipat relative, mungkin benar dan mungkin salah.
Dalam makalah ini pemakalah akan mencoba menguraikan sekelumit tentang depinisi wahyu, proses pewahyuan dan tahapan-tahapunnya, serta sedikit membandingkan konsep itu dengan konsep-konsep yang diplurkan oleh M. Syahrur, pemikir Islam kontemporer yang mencoba merasinalisasikan konsep-lama dalam agama, termasuk tentang wahyu.

Sekilas Tentang A-Qur’an
Telah maklum bagi kita bahwa Al-Quran yang ada di tangan kita saat sekarang ini itu adalah kitab Allah yang di wahyukan kepada rasulullah dengan cara-cara berangsur-angsur dan di riwaaytkan secara mutawatir . Sebelum Allah menurunkan Al-Quran kepada rasulullah, Nabi seolah-olah ada kecenrungan yang keras untuk banyak mengasingkan dirinya dengan beri’tikaf di gua hira untuk berkontempasi dan beribadah-ibadah lainnya. Dalam hati beliau merasa asik untuk berkontemplasi, sepertinya (secar sengaja atau tidak) ada sebuah proses persiapan untuk hal yang besar ini.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Bukhri dan Muslim dari Aisyah bahwa Nabi seiring mengujungi gua hira; disana beliau menyediri beberapa malam ; untuk itu beliau selalu berbekal. Kemudian kembali pada Khadijah yang kemudian membekalinya lagi sepeti biasa. Sekali waktu, ketika berada di gua hira, tiba-tiba beliau didatangi kebenaran. Malaikat Jibril berkata bacalah Muhammad Saw. Menjawab saya tidak bisa membaca. Selanjutnya rasulullah mengisahkan, katanya ia merangkulku samapai aku betul-betul lelah, kemudian ia melepaskanku dan berkata bacalah. Aku menjawab aku tidak bisa membaca. Kembali ia merangkulku untuk ketiga kalinya sampai aku betul-betul lelah, lalu melepaskanku dan berkata, “bacalah dengan menyebut nama tuhanmu yang telah menciptakan…” sampai kalimat… apa yang kamu tidak ketahui kemudian Rasullah kembali dengan hati gemetar. (Hadis). 

Definisi Wahyu
Kalimat wahyu ini adalah bentuk masdar dari kata waha- yahy- wahyan, yang arti dasarnya adalah “memberi pengetahuan kepada seseorang secara rahasia sehingga orang lain tidak tau” Kalimat ini sebanayak 70 kali di pakai dalam al-Quran dan di pakai dalam beberapa arti Kata wahyu berasal dari bahasa Arab Al-Wahy kata ini merupakan kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa lain
Dalam kamus al-munir karya Al-Fayyuni wahyu menurut bahasa adalah berarti petujuk, tulisan, kerisalahan, ilham, pembicaraan yang rahasia dan segala sesuatu yang kamu sampaikan kepada selain kamu. Sedangkan arti secara Etimologi ada beberapa ungkapan yang di ungkapkan oleh para ulam’-ulama’ dalam memakanai arti wahyu dalam al-Quran, antara lain:
Pertama, Wahyu berarti “Isarat yang cepat” dengan tangan dan suatu isarat yang di lakukan denga tangan seperti Firman Allah dalam Al-Quran surat Maryam ayat 11, “maka ia mewahyukan (memberi isarat) kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang”. Kedua, Wahyu berarti “memberi tau atau impomasi dengan sembunyi” seperti dalam firman Allah dalam surat Al- Anaam ayat 112 ” dan demikianlah kami jadikan tiap-tiap nabi itu musuh-musuhnya yaitu syatan-syatan manusia dan Jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain dengan ucapan-ucapan indah yang memperdayakan”.
Ketiga, Wahyu juga berarti “perintah” seperti dalam surat Al-maidah ayat 111, Tuhan berfirman “dan ingatlah ketika aku mewahyukan (memerintahkan) kepada pengikut isa, yaitu berimanlah kamu kepada ku dan kepada rasulku.” Keempat, Wahyu bearti “Ilham” juga disebutkan dalam Al-Quran surat Al-qashas ayat 7, yang terjemahannya “Dan kami telah wahyukan (ilhamkan) kepada ibu musa susukanlah dia.  Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata wahyu itu arti umum, dipakai untuk pengetian beberapa macam bentuk pemberitauan yang halus dan khusus seperti yang di katakan Rasyid Rihdo dalam bukunya “wahyu kepada Muhammad”. Di katakan juga di antara bentuk-bentuk wahyu itu adalah “Ar’royu as-shodiqin” (mimpi hakiki), bisikan dalam hati, ilham dan percakapan yang disampaikan oleh malaikat. Selain arti umum tadi “wahyu” juga punya arti khas, yaitu percakapan Ilahi dengan salah satu bentuk yang macam seperti tersebut dalam surat as-Suarao’ 51-52.
Sedangkan secara Terminology wahyu itu tebagi menjadi dua arti (1) Wahyu dalam arti “inzal atau Al-ihhau” artinya memberi wahyu. Kalam Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi.  (2) Wahyu dalam arti “Muhai bihi” yang diwahyukan. Wahyu dalam arti Al-ihhau’ itu menurut istilah ialah “pemberitauan Allah kepada nabi-nabinya, tentang Hukm-hukumnya, berita, dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi menyakinkan kepada nabi. Dan Rasul yang bersangkutan benar-benar yakin bahwa itu benar-benar berasal dari Allah. kemudian beberapa ulama’ memberi definisi yang berbeda tetapi banayak terjadi persamaan. Antara lain; Prof. TM. Ash-siddiqy menyatakan bahwa wahyu dalam arti Al-ihhau’ itu ialah nama bagi sesuatu yang di campakkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada nabi-nabinya. di katakan pula dalam sumber yang lain al-muha bih artinya yang di wahyukan yakni al-Quran dan hadis nabi, tetapi dari segi makna atau jiwanya datang dari Tuhan Zarkani menejelaskan wahyu itu adalah “pemberitaun Allah kepada hambanya yang di pilihnya akan segala sesuatu yang dia kehedaki untuk menampakkanya dari berbagai hidayah dan pengetahuan, akan tetapi dengan cara rahasia yang tidak biasa bagi manusia. Ahmad ali, mendefinisikan wahyu itu adalah ”pemberitauan rahasia (tersembunyi) yang bersumber dari Allah kepada hambanya yang di pilihnya yaitu para nabi dan rasul dengan jalan yang tidak biasa bagi manusia, adakalanya dengan jalan ilham dan ada kalanya melalui perantara. Muhammad Abduh, dalam risalah tauhidnya mengatakan wahyu adalah ”pengetahuan yang di dapat oleh seseorang dari dalam dirinya di sertai keyakinan bahwa hal tersebut dari Allah baik dengan perantara atau tanpa perantara. Sedangkan menutut Rasyid Rihdo wahyu itu adalah suatu ilmu pengetahuan yang di khususkan kepada mereka dengan tidak mereka usahan dan tidak mereka pelajari sebelumnya.
Jadi dari ungkapan-ungkapan di atas dapatlah kita simpulkan bahwa wahyu itu adalah pemberitauan atau informasi secara tersembunyi dan cepat (cepat dalam arti di tuangkan pengetahuan dalam jiwanya dengan sekaligus kepada nabi-nabi. Atau penyampaian sabda-sabda Tuhan kepada orang-orang pilihananya, tanpa di pelajari, atau di pikirkan lebih daulu, dan hal itu di yakini dengan sesungguhnya berasal dari Tuhan, untuk di teruskan kepada ummat manusia guna di jadikan pegangan hidup. Jadi sabda Tuhan itu mengadung ajaran, petujuk dan pedoman yang di perlukan umat manusia dalam perjalanaan hidupnya baik di dunia dan ahirat Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang di sampaikan kepada Muhammad SAW. tekumpul semuanya dalam Al-Quran.
Lalu yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan hadis rasul apakah itu juga dapat di katakan wahyu dari Tuhan? Dalam hal ini ulama juga berpendapat bahwa hadis-hadis Nabi juga termasuk bagian dari wahyu. Hal itu juga di pertegas dengan firman Allah dalam Al-Quran surat an-Najm ayat 3. ”nabi tidak berkata menrut hawa nafsunya , tetapi apa yang di katakan tidak lain adalah wahyu yang di berikan” demikan juga hadis rasul yang di riwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, dan Ibnu majah “ingat bahwa aku di berikan al-Quran dan semacam Al-Quran besertanya” meskipun demikan hadis nabi di pandang sebagai wahyu namun pada hakikatnya masih ada perbedaan yang perinsipil antara Al-quran dan Al hadis meskiun keduanya adalah wahyu dari Allah.

Proses Penyampaian Wahyu
Sebgian orentalis melontarkan tuduhan-tuduhan miring dalam proses pewahyuaan itu. Sepeti yang di ungkapkan oleh Gustav Wield, Aloys Spenger dan Ricard Bell mengatakan bahwa Nabi Muhammad menderita penyakit Epilipi dan Histeria dan masih banyak lagi sarjan Barat yang menuduh dengan tuduhan miring yang walaupun ada juga yang mengakuinya. tapi banyak pemikir Islam membatah hal itu secara ilmiyah, antara lain M Syahrur dalam bukunya al-Kitab dan Al-Quran: dia membantah dengan argment seserang yang mengidap menyakit Epilepsi, ketika seseorang mengalami kritis epilepi ia tidak sadar, setelah sadar orang yang menidap penyakit epilepi biasanya seperti orang dungu atau idiot. Dan ia tidak mengatakan dirinya bertambah atau mendapatkan ilmu saat mengalami epilepi. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dialami oleh Nabi waktu menerima wahu. 
Dalam Al-Quran setidaknya di katakan bahwa cara proses turunya wahyu itu melalui tiga proses . Sebagaimana yang di jelaskan dalam surat As-suhara’ ayat 51-52. “Dan tidak ada lagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang takbir atau dengan mengutus seorang utusan lalu di wahyukan kepadanya dengan izinnya atas apa-apa yang di kehendaki sesunggunya dia maha tinggi dan maha bijaksana” “Dan demikanalah kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al kitab (alQuran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al- Quran itu cahaya yang memberi petujuk dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petujuk kepada jalan yang lurus.”
Dari ayat ini Allah secara eksplisit menjelaskan bahwa Allah menyampaikan apa-apa yang di kehendakinya kepada para Nabinya dengan tiga cara: 1) menyampaikan pengertian kedalam hati nabi atau dengan megilhamakan, yaitu berfirmaan tanpa perantara antara Allah dan manusia termasuk dalam bagian ini adalah mimpi yang tepat dan benar. sebagaimana nabi telah terjadi bagi nabi Muhammad di permulaan wahyu yang beliau terima, beliau bermimpi seakan-akan melihat sinar shubuh dan terjadi persis seperti yang di impikan. Demikian juga Nabi Ibrohim mimpi menyembelih putranya (Ismail As) dan peristiwa ini di ungkapkan dalam Al-Quran surat As-shaffat.1-2. 2). Berfirman di balik takbir (hijab) seperti Nabi Musa ketika menerima pengangkatan kenabiannya. Peristiwa ini juga terdapat dalam Al-Quran. Suarat Al-A’rop ayat 143. demikian juga malam isra’ dan mi’raj nabi Muhammad berdialuh langsung dengan Allah. Kedua jenis ini adalah system penyampaian wahyu yang tanpa melalui perantara. Kemudian. 3) Firman Allah yang di bawa oleh malaikat dan di sampaikan kepada manusia, sehingga ia mendengar perkataan malaikat sebagai wahyu ketika malaikat menirukan firman Allah. Keadaan seperti ini juga banyak di jelaskan pada ayat lain separti surat as- Suara’ ayat 192 demikian juga al- Bakaroh ayat 97. namun secara rinci proses pewahyuaan itu terjadi dengan tujuh cara.
Dalam bukunya H. Munawar Chalil  menjelaskan bahwa penyampain wahyu melalui Jibril ada ini melaui dua cara; Pertama, nabi dapat melihat kehadiran Jibrial as dan dalam hal ini ada dua macam pula; Jibril di lihat dalam bentuk asli, tapi semacam ini jarang sekali terjadi. Dan terkadang Jibril menyamar separti wujud manusia dan pernah menjelma seperti salah satu rupa shabat bernama Dihyah bin Khlifah. Kedua, nabi tidak melihat Jibril waktu menerima wahyu, tapi mendengar pada waktu datangnya malaikat itu suara seperti suara lebah atau suara gemerincingan bel. dalam keadaan separti ini Nabilah yang mengetahui hakikatnya. Bagi orang yang kebetulan menyaksiakan hanya melihat gejala-gejala lahiriayah saja, seperti badan nabi bertambah berat dan nabi mengeluarkan keringat yang sangat banyak sekalipun cuacanya sangat dingin perlu di catat bahwa dominasi di turunkannya wahyu oleh Malaikat Jibril, tetapi oleh Hasby As-siddiqiy menyebutkan bahwa malaikat Israfil turun membawa beberapa kalimat dan wahyu, sebelum Jibril membawa Al- Quran.
Al- Asfahani mengatakan dalam muqodimah tafsirnya bahwa Ahlussunah wal jamaah telah sepakat menyatakan bahwa kalamullah itu di turunkan, tapi mereka berbeda penadapat dalam mengartiakan inzal (turun) sebagian mereka mengatakan bahwa turunnya (inzal) itu merupakan menampakan bacaan. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah mengilhamkan kalamnya kepada Jiblir, dengan megajarkan kalam itu kepada Jibril.  Setelah itu Jibril melakukan bacaan tadi di bumi sudah barang tentu turun ke bumi At-Thiby mengatakan “boleh jadi turunnya Al-Quran kepada Nabi dengan cara Jibril menerima kalamullah dari Allah dengan cara tertentu yang kita tidak dapat meggambarkanya, atau Jibril menghafalnya dari lauhil mahfuz. Setelah itu dia merurunkannya dan mengajarkannya kapada nabi SAW (dihunjamkannya kedalam jiwa nabi).
Secara spisisifik berbicara tentang Al-Quran para mutakallimin menetapkan bahwa hakikat Al-Quran adalah makna yang berdiri pada zat Allah ta’ala. Ulama’-ulama’ mu’tazilah berpenadapat bahwa hakikat Al-quran itu adalah huruf-huruf dan suara yang di jadikan Allah, yang setelah berujud lalu hilang dan lenyap. Sedangkan Al-Gozali dalam kitabnya al-Mustasfa mengatakan” hakikat Al-Quran adalah kalam yang berdiri pada zat Allah, yaitu satu sipat yang Qodim di antara sipat-siapatnya dan kalam itu lapaznya mustarak, di pergunakan untuk lafaz yang menujukan kepada makna, sebagaimana di pergunakan untuk makna yang di tujuk oleh lafaz
Al-kathbur Rozi mengatakan dalam kitab hawazul kasyaf “al-inzal menurut bahasa berarti menempatkan atau menggerakkan sesuatu dari atas ke bawah. Kedua pengertian bahasa itu tidak nyata dalam ucapan, boleh jadi itu di pergunakan dalam arti majazi. Lebih lanjut dia mengatakan Al-Quraan itu makna yang tetap pada zat Allah SWT.
Maka turunya wahyu itu tidak berbentuk kalimat dan hurup yang menujukkan pada makna tersebut dan Allah menetapkannya di lauhil mahfuz” dan barang siapa mengatakan Al-Quran itu berbetuk lafaz-lafgaz maka turuny wahyu itu dengan tetapnya di lauhil mahfudz. Hemat pemakalah pengetian yang terakhir ini (Al-Qur’an berbentuk lapaz-lafaz ) adalah sesuai, karena keadaan al-Quran itu di ambil dari dua pengertian bahasa tadi. Munkin yang di maksud dengan turunya wahyu (inzal) itu ialah menetapkan di langait dunia setelah di tetapkan di lauhil mahfudz, maka hal ini sesuai dengan pengetian bahasa nomor dua (mengerakkan sesuatu dari atas ke bawah)
Jalal Al-din As-suyuti dalam menjawab pertanyaan seperti “bagamana yang Ilahiah dapat bertemau dengan manusiawi dalam proses pewahyuan Al-Quran” beliau menayatakan “entah Nabi membentuk manusiawinya dengan bentuk malaikat, entah Jibril yang menggalkan bentuk aslinya dan masuk kedalam bentuk manusia dalam mewahyukan al-Quran kepada nabi.”
Lebih lanjut, dia mengatakan mengenai cara-cara atau proses pewahyuan dengan mengetengahkan lima kemungkinan teradinya 1) malaikat membawanya dengan suara lonceng. (yang di maksud dengan suara lonceng ini adalah seperti suara lancing besi yang gemerincing terdengar terus-menerus, tetapi bunyi yang bukan perkatan yang tersusun dari hurup-hurup) 2) malaikat mungkin membisikan kata-kata. 3) malaikat mungkain mengabil bentuk manusia dan berbicara. 4) malaikat mungkin datang dalam bentuk mimpi; dan 5) Tuhan sendiri langsung berbicara kepada Nabi baik melalui mimpi ataupun dalam keadan terjaga seperti terjadi saat isro’ dan mi’raj’.
Tetapi hematnya (sepanjang yang dia ketaui) tidak ada wahyu dalam al-Quran yang di sampaikan dengan cara terahir ini lain lagi pendapat fazlur Rohman pemikir kontemporer dalam Islam, dia menyatakan “bahwa nabi melihat sosok figur atau jiwa yang “horizontal tertinggi” ( bil ufuqil al-a’la 53.7) atau horizon tercerah ( bil ufuqil al- mubin) atau di dekat pohon yang paling tinggi ( ‘ind sidratu al- munthaha). Tetapi bagaimanaun juga pendapat para ulama’ hal itu hanya sebatas teori pridiksi. hakikat wahyu tidaklah ada kemungkinan kita mengetahuinya atau memperoleh rahasianya. Sebab wahyu itu sebuah keadaan yang tidak dapat di ketahui hakikatnya oleh manusia biasa kecuali oleh nabi yang mendapat wahyu itu sendiri.

Tahapan Wahyu
Sebagaiman diuraikan di atas bahwa Al-Quran diturukan kepada Nabi Muhammad Saw dengan berbagai macam cara yang secara rinci dikatakan dalam al-Qaran proses pewahyuan itu ada ada tiga macam, namun kalau di rinci lagi seperti diuraikan dalam catatan kakinya terbagi menjadi tujuh macam. Segaian serjana muslim berpendapat bahwa kewahyuan Al-Quran mengelami dua tahapan penurunan. Pertama Al-Quran diturunkan sekaligus (dafah wahidah) dari lauhil mahfuzh kelangit dunia dan kedua Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Secara berangsur-angsur (munajjaman) selama kurang lebih 23 tahun pandangan tersebut didasarkan pada kenyetaraan bahwa konsep penurunan wahyu Al-Quran terkadang dikaitkan dengan kata anzala (kata benda al-inzal) seperti dalam surat AS. Al-Baqarah (2) ayat 184 dan al-Qadar (97) ayat 1 yang berarti penurunan wahyu Al-Quran secara sekaligus dan terkadang dikaitkan dengan kata nazzala (kata benda Tanzil ) seperti dalam surat al-isra (17) 106 yang mengandung konotasi penurunan Al-Quran secara gradual.
Selain alasan di atas, mereka menguatkan dengan riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas. Diriwayatkan bahwa ibnu Abbas pernah mengatakan “ Al-Quran diturunkan pada lailatul al-Qadar di bulan Ramadhan kelangit dunia secara sekaligus kemudian di turunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur”. Berbeda dengan yang diungkapkan oleh M. Syahrur ia mencoba untuk merasionalkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Dengan pendekatan Filsafat bahasa ia mencoba meelaborasi arti kata al-inzal dan tanzil dalam Al-Quran tersebut. Menurutnya bahwa inzal yang terdapat dalam al_Quran tersebut berarti “ merubah sesuatu yang tidak mungkin ditangkap oleh manusia (gairo mudrakah) menjadi sesuatu yang dapat dicerna (mudrakah). Kaitannya dengan pewahyuaan al_Quran kata anzala pada QS al_Qadr (97) ayat 1 misalnya berarti bahwa Al-Quran diubah oleh Allah dari keadaan yang tidak bisa ditangkap oleh manusia atau malaikat kedalam eksestensi yang dapat dicerna (Qur’a¬n al-arabyan) dan hal ini terjadi secara sekaligus pada malam Qadr. Jadi menurutnya Al-Quran sebelum diturunkan kelangit dunia itu dalam keadaan gairu mustarah.

Kesimpulan
Wahyu pada basis Islam tercantum gagasan bahwa Tuhan secara periodek mewahyukan kehendaknya, menyediakan inpormasi yang tepat untuk membimbing urusan-urusan manusia dan memipin menuju kehidupan ahirat yang bahagia. Pewahyuan dimulai sejak manusia dan Nabi pertama Adam, proses pewahyuaan ini berlanjut sepanjang sejarah manusia hingga pesan wahyu ahirnya dipelihara secara utuh dalam bertuk Al-Quran. Yang merupakan intisari dan wahyu-wahyu sebelumnya.al-Quran merupakan pewahyuan penyempurna dan pelurus bagi wahyu-wahyu yang diselewengkan oleh manusia dari masa kemasa.
Dari pemaparan di atas dapatlah pemakalah mengambil intisari dari pengertian wahyu, wahyu adalah komunikasi antara Tuhan dengan para Rasulnya secara rahasia dan cepat dan sudah barang tentu conten dari wahyu itu sendiri terdiri dari pesan-pesan keagamaan dan kemasarakatan, guna di jadikan pedoman dan solusi dalam kehidupan di dunia dan ahirat. Kemudian proses dari terjadinya wahyu itu sendiri terdiri dari beberapa fase-fase, antara lain melalui perantara malaikat Jibril baik dalam keadaan bentuk asli maupun merubah diri kedalam bentuk lain, atau Tuhan sendiri dengan kekuasan dan kewenangannya menyampaikan wahyu itu secara langsung atau dengan tidak langsung. namun hakikat dari wahyu sendiri dalam pandangan para ulama’, namun secara umum dapat di simpulkan bahwa hakikat wahyu adalah tidak ada yang mengetahui secara pasti hanya para Nabi dan Rasul yang mengalaminya. Yang dapat mencertiakannya secara pasti, namun itu bukan tujuan nabi di utus ketengah-tengah ummatnya. yang penting bagi ummatnya adalah isi dan pesan-pesan yang terkadung di dalamnya itu yang lebih utama. Bagaimana wahyu dalam hal ini dapat di jadikan sebagai sebuah pedoman yang utuh seutuh-utuhnya, dalam rangka mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.
Demikian makalah repisi ini di buat untuk memenuhi tugas-ahir semester ini. Sudah barang pasti sudah banyak kekurangan yang terdapat disana-sini, hal ini karena keterbatasan pemakalah. Keritik dan saran dalam rangka penyempuraan selalu pemakalah harapkan.semoga Tuhan selalu memberikan bimbingan kejalannya, memberikan cahaya wahyunya dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini.

0 comments:

Post a Comment