Dalam
bahasa agama, wahyu itu dapat dipahami sebagai
petunjuk atau hidayah bagi ummat manusia dalam mengarungi kehidupan. Hal inilah
yang oleh agama-agama samawi istilah wahyu merupakan tolak ukur sebuah
kebenaran dalam kehidupan mereka. Dalam proses pewahyuan ternyata banyak
mengudang kontroversi di kalangan ulama. Tetapi
semua mengacu pada pendekatan pemahaman sama, namun dengan bahasa yang berbeda. Hal ini wajar karena mereka-mereka tidak mengalaminya secara langsung. Para ulama hanya bersepikulasi dalam merumuskan teori pewahyuaan wahyu, Yang mengetahui secara persis hakikat pewayuaan itu adalah para nabi dan rasul yang mendapat tugas dari sang Khalik.
semua mengacu pada pendekatan pemahaman sama, namun dengan bahasa yang berbeda. Hal ini wajar karena mereka-mereka tidak mengalaminya secara langsung. Para ulama hanya bersepikulasi dalam merumuskan teori pewahyuaan wahyu, Yang mengetahui secara persis hakikat pewayuaan itu adalah para nabi dan rasul yang mendapat tugas dari sang Khalik.
Pewahyuan wahyu adalah proses intraksi
antara Tuhan sebagai sang Khaliq dan manusia dalam hal ini para Nabi. Dalam
intraksi itu adakalany Tuhan memberikan wahyu kepada Nabi-nabi dengan cara
langsung atau secara tidak langsung tanpa perantara atau dengan mengunakan
prantara utusannya, yang semuanya bersumber dari yang satu, yaitu Tuhan. Dalam
pewahyuan itu terkandung berbagai macam informasi-informasi, hukum, pesan-pesan
keagamaan dan kemasyarakatan yang kesemuanya menjadi pedoman bagi manusia dalam
menjalani hidup dan kehidupan, untuk mencapi kebahagiaan hakiki di dunia dan
diakhirat.
Al-Quran adalah wahyu Allah SWT yang
telah diturunkan kepada nabi Muhammad sebagai kitab suci terahir untuk di
jadikan petunjuk dan pedoman hidup dalam mencapai kebahagian dunia dan ahirat.
Demikan pula al-Quran sebagai sumber pokok dan mata air yang memancarkan
ajaran-ajaran Islam dalam al-Quran surat al- isro’ ayat 9 di tegaskan bahwa
”sesungguhnya bahwa Al-Quran itu memberi petujuk kejalan yang lebih lurus dan
memberi khabar gembira kepada orang-orang beriman yang berbuat kebaikan bahwa
mereka memperoleh pahala yang sangat besar”. Kitabullah Al-Quran yang penuh
dengan petujuk, undang-undang dan hukum itu di turunkan sebagai pokok-pokok
keterangan yang tidak dapat di sangkal. Al-Quran membekali kita dengan berbagai
perinsip dan kaidah-kaidah umum serta dasar-dasar yang menyeluruh dan Allah
telah menugaskan kepada rasulnya yakni Muhammad, agar menjelaskan kepada
manusia, agar segala yang tersirat di dalam semua prisnip, kaidah, dan ajaran
pokok tersebut secara terinci, bagian demi bagian termasuk ranting dan
cabangnya meskipun tidak secara keseluruhan atau mendetil.
Menurut Al-Quran para nabi adalah
orang-orang yang revolusioner yang tapil (dengan membawa wahyu) di dalam
berbagai macam corak masyrakat yang berbeda-beda sepanjang zaman, yang dalam
Al-Quran jumlah Revolusiaoner itu ada yang disebutkan nama-namnya ada juga yang
tidak. seorang nabi-repolusioner dengan sipat umum dari para revolusioner
adalah mereka melakukan revolusi dan berjuang melawan masyarakat-masyarakat
penindas, Qur zalima, serta membimbing, mengerakkan dan pengorganisasikan para
pejuang pemberontak, kaum miskin, kaum lemah yang percaya kepada kebenaran,
kejujuran, kesetaraan sosial, persaudaraan dan keadilan serta bertekat keras
untuk meujudkan sebuah tatanaan sosial yang egaliter dan adil menggantikan
sebuah tatanan sosial yang diskrininatif.
Setiap dari revolusiaoner (para nabi)
memadukan dua peran utama pertama sebagai seorang nabi yang menerima wahyu
Ilahi dan dibimbing oleh kebenaran Ilahiyah dan kedua peran seorang
revolusiomaer atau seorang pemberontak yang membawa perubahan-perubahan radikal
dalam tatanan sosial yang sudah usang dan mentransformasikannya ke model-model
dan pola perilaku, pemikiran, emosi dan moral manusia yang sesuai dengan
kebenaran wahyu jadi wahyu atau agama adalah revolusi dan revolusi adalah Agama
atau wahyu. Wahyu pada tahapan pertama, pernyadaran atau mentranformasi sang
nabi-revolusioner, dan selanjutnya kebenaran wahyu ini secara moral dan sosial
membangkitkan kembali masyarakat yang korp dan mati, seperti hujan yang
memberikan kehidupan pada tanah yang kering dan gersang.
Di sisi lain para rasul (revolusioner
ini) sama seperti manusia biasa mempunyai sipat-siapat seperti manausia
lainnya, karena juga mempunyai unsur yang sama yaitu terdiri ari dua unsur.
Unsur atas dan usur bawah yang harus terpenuhi secara seimbang dan prorsional.
kalau di buat sebuah pertanyaan mengapa Tuhan menjadikan utusannya dari bangsa
atau jenis manusia? Tidak dari bangsa lain seperti malaikat? Barang kali untuk
menjawab perlu ini kita perlu kembali kepada sejarah nabi Adam, dengan merujuk
kepada ayat-ayat Al-Quran. Dan sebagai sebuah jawaban singkat bahwa Tuhan
mengutus utusannya dari jenis manusia adalah untuk memudahkan komunikasi dan
intraksi antar sesama, sehingga pesan-pesan dapat terserap dengan mudah dan
baik.
Kemudian dalam ajaran agama yang di
wahyukan ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan pertama, jalan wahyu dalam
arti komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua jalan akal, yang di
anugrahkan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yan di peroleh panca
indara sebagai bahan untuk sampai kepada kesimupan-kesimpulan. Dan pengetahuan
yang di bawa oleh wahyu bersipat absulut dan mutlak benar, sedang pengetahuan
yang di peroleh melalui akal bersipat relative, mungkin benar dan mungkin
salah.
Dalam makalah ini pemakalah akan mencoba
menguraikan sekelumit tentang depinisi wahyu, proses pewahyuan dan
tahapan-tahapunnya, serta sedikit membandingkan konsep itu dengan konsep-konsep
yang diplurkan oleh M. Syahrur, pemikir Islam kontemporer yang mencoba
merasinalisasikan konsep-lama dalam agama, termasuk tentang wahyu.
Sekilas Tentang
A-Qur’an
Telah maklum bagi kita bahwa Al-Quran
yang ada di tangan kita saat sekarang ini itu adalah kitab Allah yang di
wahyukan kepada rasulullah dengan cara-cara berangsur-angsur dan di riwaaytkan
secara mutawatir . Sebelum Allah menurunkan Al-Quran kepada rasulullah, Nabi
seolah-olah ada kecenrungan yang keras untuk banyak mengasingkan dirinya dengan
beri’tikaf di gua hira untuk berkontempasi dan beribadah-ibadah lainnya. Dalam
hati beliau merasa asik untuk berkontemplasi, sepertinya (secar sengaja atau
tidak) ada sebuah proses persiapan untuk hal yang besar ini.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhri dan Muslim dari Aisyah bahwa Nabi seiring mengujungi gua hira; disana
beliau menyediri beberapa malam ; untuk itu beliau selalu berbekal. Kemudian
kembali pada Khadijah yang kemudian membekalinya lagi sepeti biasa. Sekali
waktu, ketika berada di gua hira, tiba-tiba beliau didatangi kebenaran.
Malaikat Jibril berkata bacalah Muhammad Saw. Menjawab saya tidak bisa membaca.
Selanjutnya rasulullah mengisahkan, katanya ia merangkulku samapai aku
betul-betul lelah, kemudian ia melepaskanku dan berkata bacalah. Aku menjawab
aku tidak bisa membaca. Kembali ia merangkulku untuk ketiga kalinya sampai aku
betul-betul lelah, lalu melepaskanku dan berkata, “bacalah dengan menyebut nama
tuhanmu yang telah menciptakan…” sampai kalimat… apa yang kamu tidak ketahui
kemudian Rasullah kembali dengan hati gemetar. (Hadis).
Definisi Wahyu
Kalimat wahyu ini adalah bentuk masdar
dari kata waha- yahy- wahyan, yang arti dasarnya adalah “memberi pengetahuan
kepada seseorang secara rahasia sehingga orang lain tidak tau” Kalimat ini
sebanayak 70 kali di pakai dalam al-Quran dan di pakai dalam beberapa arti Kata
wahyu berasal dari bahasa Arab Al-Wahy kata ini merupakan kata asli Arab dan
bukan kata pinjaman dari bahasa lain
Dalam kamus al-munir karya Al-Fayyuni wahyu menurut bahasa adalah berarti petujuk, tulisan, kerisalahan, ilham, pembicaraan yang rahasia dan segala sesuatu yang kamu sampaikan kepada selain kamu. Sedangkan arti secara Etimologi ada beberapa ungkapan yang di ungkapkan oleh para ulam’-ulama’ dalam memakanai arti wahyu dalam al-Quran, antara lain:
Dalam kamus al-munir karya Al-Fayyuni wahyu menurut bahasa adalah berarti petujuk, tulisan, kerisalahan, ilham, pembicaraan yang rahasia dan segala sesuatu yang kamu sampaikan kepada selain kamu. Sedangkan arti secara Etimologi ada beberapa ungkapan yang di ungkapkan oleh para ulam’-ulama’ dalam memakanai arti wahyu dalam al-Quran, antara lain:
Pertama, Wahyu berarti “Isarat yang
cepat” dengan tangan dan suatu isarat yang di lakukan denga tangan seperti
Firman Allah dalam Al-Quran surat Maryam ayat 11, “maka ia mewahyukan (memberi
isarat) kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang”.
Kedua, Wahyu berarti “memberi tau atau impomasi dengan sembunyi” seperti dalam
firman Allah dalam surat Al- Anaam ayat 112 ” dan demikianlah kami jadikan
tiap-tiap nabi itu musuh-musuhnya yaitu syatan-syatan manusia dan Jin. Sebagian
mereka membisikkan kepada sebagian yang lain dengan ucapan-ucapan indah yang
memperdayakan”.
Ketiga, Wahyu juga berarti “perintah”
seperti dalam surat Al-maidah ayat 111, Tuhan berfirman “dan ingatlah ketika
aku mewahyukan (memerintahkan) kepada pengikut isa, yaitu berimanlah kamu
kepada ku dan kepada rasulku.” Keempat, Wahyu bearti “Ilham” juga disebutkan
dalam Al-Quran surat Al-qashas ayat 7, yang terjemahannya “Dan kami telah
wahyukan (ilhamkan) kepada ibu musa susukanlah dia. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata
wahyu itu arti umum, dipakai untuk pengetian beberapa macam bentuk pemberitauan
yang halus dan khusus seperti yang di katakan Rasyid Rihdo dalam bukunya “wahyu
kepada Muhammad”. Di katakan juga di antara bentuk-bentuk wahyu itu adalah
“Ar’royu as-shodiqin” (mimpi hakiki), bisikan dalam hati, ilham dan percakapan
yang disampaikan oleh malaikat. Selain arti umum tadi “wahyu” juga punya arti
khas, yaitu percakapan Ilahi dengan salah satu bentuk yang macam seperti
tersebut dalam surat as-Suarao’ 51-52.
Sedangkan secara Terminology wahyu itu
tebagi menjadi dua arti (1) Wahyu dalam arti “inzal atau Al-ihhau” artinya
memberi wahyu. Kalam Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi. (2) Wahyu
dalam arti “Muhai bihi” yang diwahyukan. Wahyu dalam arti Al-ihhau’ itu menurut
istilah ialah “pemberitauan Allah kepada nabi-nabinya, tentang Hukm-hukumnya,
berita, dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi menyakinkan kepada
nabi. Dan Rasul yang bersangkutan benar-benar yakin bahwa itu benar-benar
berasal dari Allah. kemudian beberapa ulama’ memberi definisi yang berbeda
tetapi banayak terjadi persamaan. Antara lain; Prof. TM. Ash-siddiqy menyatakan
bahwa wahyu dalam arti Al-ihhau’ itu ialah nama bagi sesuatu yang di campakkan
dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada nabi-nabinya. di katakan pula dalam
sumber yang lain al-muha bih artinya yang di wahyukan yakni al-Quran dan hadis
nabi, tetapi dari segi makna atau jiwanya datang dari Tuhan Zarkani
menejelaskan wahyu itu adalah “pemberitaun Allah kepada hambanya yang di
pilihnya akan segala sesuatu yang dia kehedaki untuk menampakkanya dari
berbagai hidayah dan pengetahuan, akan tetapi dengan cara rahasia yang tidak
biasa bagi manusia. Ahmad ali, mendefinisikan wahyu itu adalah ”pemberitauan
rahasia (tersembunyi) yang bersumber dari Allah kepada hambanya yang di
pilihnya yaitu para nabi dan rasul dengan jalan yang tidak biasa bagi manusia,
adakalanya dengan jalan ilham dan ada kalanya melalui perantara. Muhammad
Abduh, dalam risalah tauhidnya mengatakan wahyu adalah ”pengetahuan yang di
dapat oleh seseorang dari dalam dirinya di sertai keyakinan bahwa hal tersebut
dari Allah baik dengan perantara atau tanpa perantara. Sedangkan menutut Rasyid
Rihdo wahyu itu adalah suatu ilmu pengetahuan yang di khususkan kepada mereka
dengan tidak mereka usahan dan tidak mereka pelajari sebelumnya.
Jadi dari ungkapan-ungkapan di atas
dapatlah kita simpulkan bahwa wahyu itu adalah pemberitauan atau informasi
secara tersembunyi dan cepat (cepat dalam arti di tuangkan pengetahuan dalam
jiwanya dengan sekaligus kepada nabi-nabi. Atau penyampaian sabda-sabda Tuhan
kepada orang-orang pilihananya, tanpa di pelajari, atau di pikirkan lebih
daulu, dan hal itu di yakini dengan sesungguhnya berasal dari Tuhan, untuk di
teruskan kepada ummat manusia guna di jadikan pegangan hidup. Jadi sabda Tuhan
itu mengadung ajaran, petujuk dan pedoman yang di perlukan umat manusia dalam
perjalanaan hidupnya baik di dunia dan ahirat Dalam Islam wahyu atau sabda
Tuhan yang di sampaikan kepada Muhammad SAW. tekumpul semuanya dalam Al-Quran.
Lalu yang menjadi pertanyaan bagaimana
dengan hadis rasul apakah itu juga dapat di katakan wahyu dari Tuhan? Dalam hal
ini ulama juga berpendapat bahwa hadis-hadis Nabi juga termasuk bagian dari
wahyu. Hal itu juga di pertegas dengan firman Allah dalam Al-Quran surat
an-Najm ayat 3. ”nabi tidak berkata menrut hawa nafsunya , tetapi apa yang di
katakan tidak lain adalah wahyu yang di berikan” demikan juga hadis rasul yang
di riwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, dan Ibnu majah “ingat bahwa aku di
berikan al-Quran dan semacam Al-Quran besertanya” meskipun demikan hadis nabi
di pandang sebagai wahyu namun pada hakikatnya masih ada perbedaan yang
perinsipil antara Al-quran dan Al hadis meskiun keduanya adalah wahyu dari
Allah.
Proses Penyampaian
Wahyu
Sebgian orentalis melontarkan
tuduhan-tuduhan miring dalam proses pewahyuaan itu. Sepeti yang di ungkapkan
oleh Gustav Wield, Aloys Spenger dan Ricard Bell mengatakan bahwa Nabi Muhammad
menderita penyakit Epilipi dan Histeria dan masih banyak lagi sarjan Barat yang
menuduh dengan tuduhan miring yang walaupun ada juga yang mengakuinya. tapi
banyak pemikir Islam membatah hal itu secara ilmiyah, antara lain M Syahrur
dalam bukunya al-Kitab dan Al-Quran: dia membantah dengan argment seserang yang
mengidap menyakit Epilepsi, ketika seseorang mengalami kritis epilepi ia tidak
sadar, setelah sadar orang yang menidap penyakit epilepi biasanya seperti orang
dungu atau idiot. Dan ia tidak mengatakan dirinya bertambah atau mendapatkan
ilmu saat mengalami epilepi. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dialami
oleh Nabi waktu menerima wahu.
Dalam Al-Quran setidaknya di katakan
bahwa cara proses turunya wahyu itu melalui tiga proses . Sebagaimana yang di
jelaskan dalam surat As-suhara’ ayat 51-52. “Dan tidak ada lagi seorang
manusiapun bahwa Allah berkata kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu
atau di belakang takbir atau dengan mengutus seorang utusan lalu di wahyukan
kepadanya dengan izinnya atas apa-apa yang di kehendaki sesunggunya dia maha
tinggi dan maha bijaksana” “Dan demikanalah kami wahyukan kepadamu wahyu
(al-Quran) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al
kitab (alQuran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami
menjadikan al- Quran itu cahaya yang memberi petujuk dengan dia siapa yang kami
kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi
petujuk kepada jalan yang lurus.”
Dari ayat ini Allah secara eksplisit
menjelaskan bahwa Allah menyampaikan apa-apa yang di kehendakinya kepada para
Nabinya dengan tiga cara: 1) menyampaikan pengertian kedalam hati nabi atau
dengan megilhamakan, yaitu berfirmaan tanpa perantara antara Allah dan manusia
termasuk dalam bagian ini adalah mimpi yang tepat dan benar. sebagaimana nabi
telah terjadi bagi nabi Muhammad di permulaan wahyu yang beliau terima, beliau
bermimpi seakan-akan melihat sinar shubuh dan terjadi persis seperti yang di
impikan. Demikian juga Nabi Ibrohim mimpi menyembelih putranya (Ismail As) dan
peristiwa ini di ungkapkan dalam Al-Quran surat As-shaffat.1-2. 2). Berfirman
di balik takbir (hijab) seperti Nabi Musa ketika menerima pengangkatan
kenabiannya. Peristiwa ini juga terdapat dalam Al-Quran. Suarat Al-A’rop ayat
143. demikian juga malam isra’ dan mi’raj nabi Muhammad berdialuh langsung
dengan Allah. Kedua jenis ini adalah system penyampaian wahyu yang tanpa
melalui perantara. Kemudian. 3) Firman Allah yang di bawa oleh malaikat dan di
sampaikan kepada manusia, sehingga ia mendengar perkataan malaikat sebagai
wahyu ketika malaikat menirukan firman Allah. Keadaan seperti ini juga banyak
di jelaskan pada ayat lain separti surat as- Suara’ ayat 192 demikian juga al-
Bakaroh ayat 97. namun secara rinci proses pewahyuaan itu terjadi dengan tujuh
cara.
Dalam bukunya H. Munawar Chalil
menjelaskan bahwa penyampain wahyu melalui Jibril ada ini melaui dua cara;
Pertama, nabi dapat melihat kehadiran Jibrial as dan dalam hal ini ada dua
macam pula; Jibril di lihat dalam bentuk asli, tapi semacam ini jarang sekali
terjadi. Dan terkadang Jibril menyamar separti wujud manusia dan pernah
menjelma seperti salah satu rupa shabat bernama Dihyah bin Khlifah. Kedua, nabi
tidak melihat Jibril waktu menerima wahyu, tapi mendengar pada waktu datangnya
malaikat itu suara seperti suara lebah atau suara gemerincingan bel. dalam
keadaan separti ini Nabilah yang mengetahui hakikatnya. Bagi orang yang
kebetulan menyaksiakan hanya melihat gejala-gejala lahiriayah saja, seperti
badan nabi bertambah berat dan nabi mengeluarkan keringat yang sangat banyak
sekalipun cuacanya sangat dingin perlu di catat bahwa dominasi di turunkannya
wahyu oleh Malaikat Jibril, tetapi oleh Hasby As-siddiqiy menyebutkan bahwa
malaikat Israfil turun membawa beberapa kalimat dan wahyu, sebelum Jibril
membawa Al- Quran.
Al- Asfahani mengatakan dalam muqodimah
tafsirnya bahwa Ahlussunah wal jamaah telah sepakat menyatakan bahwa kalamullah
itu di turunkan, tapi mereka berbeda penadapat dalam mengartiakan inzal (turun)
sebagian mereka mengatakan bahwa turunnya (inzal) itu merupakan menampakan
bacaan. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah mengilhamkan kalamnya kepada
Jiblir, dengan megajarkan kalam itu kepada Jibril. Setelah itu Jibril melakukan bacaan tadi di
bumi sudah barang tentu turun ke bumi At-Thiby mengatakan “boleh jadi turunnya
Al-Quran kepada Nabi dengan cara Jibril menerima kalamullah dari Allah dengan
cara tertentu yang kita tidak dapat meggambarkanya, atau Jibril menghafalnya
dari lauhil mahfuz. Setelah itu dia merurunkannya dan mengajarkannya kapada
nabi SAW (dihunjamkannya kedalam jiwa nabi).
Secara spisisifik berbicara tentang
Al-Quran para mutakallimin menetapkan bahwa hakikat Al-Quran adalah makna yang
berdiri pada zat Allah ta’ala. Ulama’-ulama’ mu’tazilah berpenadapat bahwa
hakikat Al-quran itu adalah huruf-huruf dan suara yang di jadikan Allah, yang
setelah berujud lalu hilang dan lenyap. Sedangkan Al-Gozali dalam kitabnya
al-Mustasfa mengatakan” hakikat Al-Quran adalah kalam yang berdiri pada zat
Allah, yaitu satu sipat yang Qodim di antara sipat-siapatnya dan kalam itu
lapaznya mustarak, di pergunakan untuk lafaz yang menujukan kepada makna,
sebagaimana di pergunakan untuk makna yang di tujuk oleh lafaz
Al-kathbur Rozi mengatakan dalam kitab hawazul kasyaf “al-inzal menurut bahasa berarti menempatkan atau menggerakkan sesuatu dari atas ke bawah. Kedua pengertian bahasa itu tidak nyata dalam ucapan, boleh jadi itu di pergunakan dalam arti majazi. Lebih lanjut dia mengatakan Al-Quraan itu makna yang tetap pada zat Allah SWT.
Al-kathbur Rozi mengatakan dalam kitab hawazul kasyaf “al-inzal menurut bahasa berarti menempatkan atau menggerakkan sesuatu dari atas ke bawah. Kedua pengertian bahasa itu tidak nyata dalam ucapan, boleh jadi itu di pergunakan dalam arti majazi. Lebih lanjut dia mengatakan Al-Quraan itu makna yang tetap pada zat Allah SWT.
Maka turunya wahyu itu tidak berbentuk
kalimat dan hurup yang menujukkan pada makna tersebut dan Allah menetapkannya
di lauhil mahfuz” dan barang siapa mengatakan Al-Quran itu berbetuk
lafaz-lafgaz maka turuny wahyu itu dengan tetapnya di lauhil mahfudz. Hemat
pemakalah pengetian yang terakhir ini (Al-Qur’an berbentuk lapaz-lafaz ) adalah
sesuai, karena keadaan al-Quran itu di ambil dari dua pengertian bahasa tadi.
Munkin yang di maksud dengan turunya wahyu (inzal) itu ialah menetapkan di
langait dunia setelah di tetapkan di lauhil mahfudz, maka hal ini sesuai dengan
pengetian bahasa nomor dua (mengerakkan sesuatu dari atas ke bawah)
Jalal Al-din As-suyuti dalam menjawab pertanyaan seperti “bagamana yang Ilahiah dapat bertemau dengan manusiawi dalam proses pewahyuan Al-Quran” beliau menayatakan “entah Nabi membentuk manusiawinya dengan bentuk malaikat, entah Jibril yang menggalkan bentuk aslinya dan masuk kedalam bentuk manusia dalam mewahyukan al-Quran kepada nabi.”
Jalal Al-din As-suyuti dalam menjawab pertanyaan seperti “bagamana yang Ilahiah dapat bertemau dengan manusiawi dalam proses pewahyuan Al-Quran” beliau menayatakan “entah Nabi membentuk manusiawinya dengan bentuk malaikat, entah Jibril yang menggalkan bentuk aslinya dan masuk kedalam bentuk manusia dalam mewahyukan al-Quran kepada nabi.”
Lebih lanjut, dia mengatakan mengenai
cara-cara atau proses pewahyuan dengan mengetengahkan lima kemungkinan
teradinya 1) malaikat membawanya dengan suara lonceng. (yang di maksud dengan
suara lonceng ini adalah seperti suara lancing besi yang gemerincing terdengar
terus-menerus, tetapi bunyi yang bukan perkatan yang tersusun dari hurup-hurup)
2) malaikat mungkin membisikan kata-kata. 3) malaikat mungkain mengabil bentuk
manusia dan berbicara. 4) malaikat mungkin datang dalam bentuk mimpi; dan 5)
Tuhan sendiri langsung berbicara kepada Nabi baik melalui mimpi ataupun dalam
keadan terjaga seperti terjadi saat isro’ dan mi’raj’.
Tetapi hematnya (sepanjang yang dia
ketaui) tidak ada wahyu dalam al-Quran yang di sampaikan dengan cara terahir
ini lain lagi pendapat fazlur Rohman pemikir kontemporer dalam Islam, dia
menyatakan “bahwa nabi melihat sosok figur atau jiwa yang “horizontal
tertinggi” ( bil ufuqil al-a’la 53.7) atau horizon tercerah ( bil ufuqil al-
mubin) atau di dekat pohon yang paling tinggi ( ‘ind sidratu al- munthaha).
Tetapi bagaimanaun juga pendapat para ulama’ hal itu hanya sebatas teori
pridiksi. hakikat wahyu tidaklah ada kemungkinan kita mengetahuinya atau
memperoleh rahasianya. Sebab wahyu itu sebuah keadaan yang tidak dapat di
ketahui hakikatnya oleh manusia biasa kecuali oleh nabi yang mendapat wahyu itu
sendiri.
Tahapan Wahyu
Sebagaiman diuraikan di atas bahwa
Al-Quran diturukan kepada Nabi Muhammad Saw dengan berbagai macam cara yang
secara rinci dikatakan dalam al-Qaran proses pewahyuan itu ada ada tiga macam,
namun kalau di rinci lagi seperti diuraikan dalam catatan kakinya terbagi
menjadi tujuh macam. Segaian serjana muslim berpendapat bahwa kewahyuan
Al-Quran mengelami dua tahapan penurunan. Pertama Al-Quran diturunkan sekaligus
(dafah wahidah) dari lauhil mahfuzh kelangit dunia dan kedua Al-Quran
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Secara berangsur-angsur (munajjaman)
selama kurang lebih 23 tahun pandangan tersebut didasarkan pada kenyetaraan
bahwa konsep penurunan wahyu Al-Quran terkadang dikaitkan dengan kata anzala
(kata benda al-inzal) seperti dalam surat AS. Al-Baqarah (2) ayat 184 dan
al-Qadar (97) ayat 1 yang berarti penurunan wahyu Al-Quran secara sekaligus dan
terkadang dikaitkan dengan kata nazzala (kata benda Tanzil ) seperti dalam
surat al-isra (17) 106 yang mengandung konotasi penurunan Al-Quran secara gradual.
Selain alasan di atas, mereka menguatkan
dengan riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas. Diriwayatkan bahwa ibnu
Abbas pernah mengatakan “ Al-Quran diturunkan pada lailatul al-Qadar di bulan
Ramadhan kelangit dunia secara sekaligus kemudian di turunkan kepada Nabi
secara berangsur-angsur”. Berbeda dengan yang diungkapkan oleh M. Syahrur ia
mencoba untuk merasionalkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Dengan
pendekatan Filsafat bahasa ia mencoba meelaborasi arti kata al-inzal dan tanzil
dalam Al-Quran tersebut. Menurutnya bahwa inzal yang terdapat dalam al_Quran
tersebut berarti “ merubah sesuatu yang tidak mungkin ditangkap oleh manusia
(gairo mudrakah) menjadi sesuatu yang dapat dicerna (mudrakah). Kaitannya
dengan pewahyuaan al_Quran kata anzala pada QS al_Qadr (97) ayat 1 misalnya
berarti bahwa Al-Quran diubah oleh Allah dari keadaan yang tidak bisa ditangkap
oleh manusia atau malaikat kedalam eksestensi yang dapat dicerna (Qur’a¬n
al-arabyan) dan hal ini terjadi secara sekaligus pada malam Qadr. Jadi
menurutnya Al-Quran sebelum diturunkan kelangit dunia itu dalam keadaan gairu
mustarah.
Kesimpulan
Wahyu pada basis Islam tercantum gagasan
bahwa Tuhan secara periodek mewahyukan kehendaknya, menyediakan inpormasi yang
tepat untuk membimbing urusan-urusan manusia dan memipin menuju kehidupan
ahirat yang bahagia. Pewahyuan dimulai sejak manusia dan Nabi pertama Adam,
proses pewahyuaan ini berlanjut sepanjang sejarah manusia hingga pesan wahyu
ahirnya dipelihara secara utuh dalam bertuk Al-Quran. Yang merupakan intisari
dan wahyu-wahyu sebelumnya.al-Quran merupakan pewahyuan penyempurna dan pelurus
bagi wahyu-wahyu yang diselewengkan oleh manusia dari masa kemasa.
Dari pemaparan di atas dapatlah
pemakalah mengambil intisari dari pengertian wahyu, wahyu adalah komunikasi
antara Tuhan dengan para Rasulnya secara rahasia dan cepat dan sudah barang
tentu conten dari wahyu itu sendiri terdiri dari pesan-pesan keagamaan dan
kemasarakatan, guna di jadikan pedoman dan solusi dalam kehidupan di dunia dan
ahirat. Kemudian proses dari terjadinya wahyu itu sendiri terdiri dari beberapa
fase-fase, antara lain melalui perantara malaikat Jibril baik dalam keadaan
bentuk asli maupun merubah diri kedalam bentuk lain, atau Tuhan sendiri dengan
kekuasan dan kewenangannya menyampaikan wahyu itu secara langsung atau dengan
tidak langsung. namun hakikat dari wahyu sendiri dalam pandangan para ulama’,
namun secara umum dapat di simpulkan bahwa hakikat wahyu adalah tidak ada yang
mengetahui secara pasti hanya para Nabi dan Rasul yang mengalaminya. Yang dapat
mencertiakannya secara pasti, namun itu bukan tujuan nabi di utus
ketengah-tengah ummatnya. yang penting bagi ummatnya adalah isi dan pesan-pesan
yang terkadung di dalamnya itu yang lebih utama. Bagaimana wahyu dalam hal ini
dapat di jadikan sebagai sebuah pedoman yang utuh seutuh-utuhnya, dalam rangka
mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.
Demikian makalah repisi ini di buat
untuk memenuhi tugas-ahir semester ini. Sudah barang pasti sudah banyak
kekurangan yang terdapat disana-sini, hal ini karena keterbatasan pemakalah.
Keritik dan saran dalam rangka penyempuraan selalu pemakalah harapkan.semoga
Tuhan selalu memberikan bimbingan kejalannya, memberikan cahaya wahyunya dalam
mengarungi hidup dan kehidupan ini.
0 comments:
Post a Comment