Sebelum
Islam hadir ke dunia ini yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW sebagai utusan Allah, telah terdapat sejumlah agama yang dianut
oleh manusia. Dalam pandangan para ahli perbandingan agama (comparative study of religion), agama
secara garis besar dibagi dalam dua bagian, yaitu pertama, agama yang
diturunkan oleh Allah melalui wahyu-Nya sebagaimana yang termaktub dalam al
Qur'an. Agama yang demikian biasa disebut sebagai agama samawi (agama langit).
Yang termasuk dalam kategori agama samawi antara lain Yahudi, Nasrani dan Islam.
Kedua, kelompok agama yang didasarkan dari hasil renungan secara radikal
dari tokoh yang membawanya sebagaimana yang terdokumentasikan di dalam kitab yang disusunnya. Agama yang demikian biasa disebut sebagai agama ardli (agama bumi). Yang termasuk dalam kategori ini antara lain Hindu, Budha, Majusi, Kong Hucu dan lain sebagainya.
dari tokoh yang membawanya sebagaimana yang terdokumentasikan di dalam kitab yang disusunnya. Agama yang demikian biasa disebut sebagai agama ardli (agama bumi). Yang termasuk dalam kategori ini antara lain Hindu, Budha, Majusi, Kong Hucu dan lain sebagainya.
Agama-agama tersebut hingga saat ini
masih dianut oleh manusia di dunia, dan disampaikan secara turun temurun oleh
penganutnya. Dalam mengkaji agama-agama, kita sering dihadapkan dengan model
atau karakteristik agama tersebut. Sebagian dari agama-agama tersebut ada yang
bersifat inklusif-pluralis, yakni mengakui keberadaan agama-agama lainnya,
menghormati dan membiarkannya untuk hidup secara berdampingan. Sebagian yang lain
bersifat eksklusif atau tertutup, yakni tidak mengakui keberadaan agama-gama
lain dan mengklaim agamanyalah yang paling benar dan harus diikuti.
Pada abad pertengahan, studi Islam mulai
memasuki wilayah Kristen Eropa. Kajian-kajian yang berkembang lebih diwarnai
tujuan-tujuan polemik diskriminatif yang menggambarkan wajah Islam dengan
pemahaman dan pemaknaan distortif dan peyoratif. Pemahaman akan Islam yang
seperti ini menimbulkan kesan bahwa Islam adalah agama yang diwarnai kekerasan,
suka berperang, barbarian dan tuduhan-tuduhan lainnya. Hal ini terjadi akibat
polimek Kristen dan Muslim. Walaupun demikian kontak dan ketegangan antara Islam
dan Kristen lambat laun menemukan titik terang, di mana studi Islam dapat
memberikan manfaat besar bagi perkembangan metodologi dan kajian Islam di
Barat.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Charles
J. Adams dalam tulisannya Islamic Religiuos Tradition, bahwa dalam perkembangan
studi ketimuran, para orientalis klasik telah mengkaji Islam dengan menggunakan
pendekatan normatif yang dituangkan ke dalam tiga bentuk, yaitu traditional
missionary approach, apologetic approach, dan irenic approach. Ketiga bentuk
pendekatan ini ini pada intinya masih menaruh kesan ketidakrelaan akan
keberadaan agama lain. Mereka masih berpandangan bahwa agamanyalah yang paling
benar walaupun agama lain tetap diapresiasi (inklusif).
Oleh Adams ditawarkanlah pendekatan
deskriftif yang di dalamnya mencakup philological and historical approuch,
social scientific approuch dan phenomenologal approuch. Akan tetapi yang
menjadi kendala kemudian Adam belum bisa menjabarkan secara konkrit tentang
pendekatan fenomenologi, ia hanya memberikan klasifikasi yang dapat membantu
untuk memahami pendekatan ini, yaitu pertama, fenomenologi diartikan sebagai
suatu metode untuk memahami agama orang lain dengan berupaya masuk atau
berinteraksi dengan agama yang dikaji dengan meninggalkan atribut keagamaan
yang dimiliki si peneliti, metode ini disebut epoch. Keistimewaan dari model
ini adalah kita dapat memahami secara mendalam hakikat dari suatu agama, akan
tetapi juga memiliki kelemahan yaitu dapat memunculkan sinkretisme pada diri si
peneliti. Kedua, Fenomenologi dipandang sebagai pendekatan yang mencoba mencari
struktur dasar dari fenomena-fenomena agama.
Berawal dari sinilah Richard C. Martin
mencoba mengungkap kebiasaan yang dialami oleh Adam terkait dengan pendekatan
fenomenologi agama. Hal ini sangatlah menarik untuk dijadikan bahan diskusi
dengan menampilkan permasalahan bagaimana cara kerja dari pendekatan fenomenologi
dalam perspektif Richard C. Martin? Dan Apakah pendekatan fenomenologi ini dapat
mendekati fenomena keagamaan.
Studi Islam dan Sejarah
Agama-agama
Ada hubungan disharmonis antara sejarah
agama-agama dan studi Islam, statement inilah yang dikemukakan oleh Adams di
dalam bukunya kumpulan esai-esai tentang sejarah agama. Setidaknya ada dua
alasan tentang kesulitan melihat langsung hubungan antara aktivitas Islamis
dengan historians of religions (para sejarawan agama-agama), yaitu pertama,
adanya fakta bahwa historians of religions berinteraksi dengan data Islam
walaupun sedikit (snape shot) dan hanya relatif sedikit kontribusinya terhadap
pengetahuan tentang masyarakat Islam dan tradisi-tradisi yang terdapat di
dalamnya. Kedua, Belum dielaborasinya problem yang terdapat dalam keilmuan Islam
dalam tema besar yang mendominasi horizon para sejarawan agama-agama.
Ketidaksepakatan Adams ini tentunya menimbulkan sikap tidak menyenangkan bagi
studi akademik tentang Islam sebagai agama.
Sikap yang cenderung antipati telah
diperlihatkan oleh para sejarawan agama-agama yang dilatar belakangi oleh
provinsialisme akademik dan distorsi pemahaman tentang Islam. Tidak adanya
atensi akan studi Islam dipicu oleh kecenderungan pada kompartementalisasi
(menggolong-golongkan) di dalam pendidikan tinggi. Para sarjana hanya mau
mempelajari sebuah ilmu atau karya seseorang apabila karya itu berasal dari
disiplin atau departemen yang sama.
Unsur perdebabatan lain dalam usaha
menyusun sebuah pendekatan terhadap studi lintas budaya (cross-cultural
studies) datang dari sejumlah masalah yang terdapat di antara peneliti dan yang
diteliti. Imparsialitas dan jarak sering kali kurang mendapat perhatian dalam
tulisan-tulisan yang ada relevansinya dengan budaya lain. Terdapat bukti yang
kuat bahwa agama bisa berubah di bawah pengaruh studi akademik. Di antara
mereka yang meneorisasikan hal ini adalah para sarjana yang berpendapat bahwa
muatan kepercayaan orang lain selamanya tidak akan tersingkap kecuali si peneliti
simpati terhadap kepercayaan orang diteliti. Hal ini senada dengan apa yang
disampaikan oleh Prof. Mukti Ali, bahwa agama pada manusia adalah hal yang
sangat pribadi dan mendalam, sehingga hanya dapat diamati dengan berhati-hati.
Seorang peneliti yang secara teknis dan
dikatakan baik belum tentu dapat menemukan persoalan-persoalan agama pada orang
yang diwawancarai atau diteliti kecuali dia sendiri beriman berefleksi, bukan
saja pada situasi sementara penelitian dilakukan, tetapi juga di luar konteks
penelitian, yaitu dalam hidup sehari-hari. Kalau si peneliti bukan orang
beragama, akhirnya ia hanya sanggup mengkonstantir ungkapan-ungkapan
kepercayaan dan gejala-gejala keagamaan, tetapi bukan agama itu sendiri.
Dalam penelitian agama refleksi perlu
dijalankan. Penelitian agama tidak mungkin dilakukan kalau si peneliti tidak
tahu seluk-beluk persoalan pokok agama. Karena itu peneliti dan juga para
pekerja lapangan dalam bidang agama itu sendiri harus beragama dan berefleksi
atas agamanya. Perlu dibangun kesadaran, bahwa munculnya kesulitan dalam
pendekatan semacan ini dikarenakan hanya Muslimlah yang dapat mengkaji
(mengajarkan) Islam dengan tingkat pemahaman yang memadai. Namun demikian ada
sisi kemudahannya yang terletak pada keterbukaan dan empati terhadap
kepercayaan dan keimanan orang lain, dan ini merupakan prasyarat bagi
tercapainya sebuah pemahaman.
Persoalan lainnya berkaitan dengan
batasan-batasan yang ditentukan oleh weltanschauung (pandangan hidup) terkait
dengan ruang dan waktu dari mana mengawali sebuah pengamatan dan penilaian.
Lebih lanjut ada keyakinan bahwa sekaranglah saatnya untuk membatasi studi Islam
pada sudut pandang yang bercorak Barat, tetapi ilmiah. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah apakah hal ini mengimplikasikan bahwa hanya kategori-kategori
dan istilah-istilah yang valid yang digunakan untuk menganalisis fenomena agama
Islam itu disediakan oleh Islam sendiri? Atau apakah seluruh bidang kajian,
katakanlah, dalam studi sejarah, ilmu bahasa, ilmu sosial dan studi agama dapat
menjelaskan fenomena kegamaan sehingga menemukan koherensi diskursif, jika
dianggap tidak sebangun di kalangan sarjana Barat dan non-Barat? Inilah
gambaran yang dipaparkan oleh Richard C. Martin seputar permasalahan studi Islam
dan sejarah agama-agama yang akan ia kupas secara fenomenologik. Lebih lanjut
akan dibahas secara elaboratif tentang studi Islam dan sejarah agama-agama
secara terpisah.
Sejarah Agama-agama
Studi terkait dengan agama-agama manusia
yang terspesialisasi merupakan dinamika akademik di abad ke-19. Hal ini
ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah studi agama di Eropa, Inggris dan
Amerika Utara. Sekolah yang didirikan tersebut diberi nama
religionswissenchaft, allgemeine religionsgeschichte, perbandingan agama dan
fenomenologi agama. Aktivitas akademik para sejarawann agama juga dikonversi
oleh studi sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, oriental, al-kitab, dan
teologi. Akan tetapi keduanya masih terdapat distingsi kualitas antara studi
agama dengan disiplin ilmu lainnya. Hal mendesak yang perlu ditempuh adalah
agama sebagai yang menyusun bidang koherens (bertalian) mudah untuk dijelaskan
dan ditafsirkan. Oleh karenanya dalam buku ini Richard ingin menjelaskan dan
memberikan pemahaman lebih baik data keagamaan dari tradisi Islam dalam konteks
studi agama yang umumnya menghendaki survey secara singkat terhadap
perkembangan dalam disiplin ilmu sejarah agama-agama masa lalu.
Kesulitan menjadikan agama sebagai bahan
kajian, mengutip penjelasan Waardenburg setidaknya ada dua hal yang mendasari ,
pertama mengkaji berarti melakukan objektivasi atau penjarakan terhadap objek
kajiannya. Dalam kajian terhadap agama, tidak hanya kepada ‘pihak lain’ yang
diteliti, akan tetapi diri sendiri juga harus terlibat di dalamnya. Kedua,
secara tradisional agama dipahami sebagai sesuatu yang sacral, suci dan agung.
Permasalahan yang akan muncul kemudian, ketika kita mulai bersinggungan atau
ingin mengkritisi terkait dengan hal ini, maka dianggap sebagai sebuah bentuk
pelecehan atau bahkan dianggap merusak nilai tradisional agama.
Menurut Richard, barangkali satu-satunya
peristiwa terpenting yang membawa perubahan pandangan secara komprehensif
adalah peristiwa peran dunia I yang mampu mempengaruhi banyak sarjana untuk
melakukan studi agama-agama. Hal ini disebabkan oleh implikasi perang yang
menimbulkan guncangan besar dan mengakibatkan munculnya desakan akan kebutuhan
untuk menemukan pendekatan yang dapat membuka ekspresi otentik agama-agama lain
agar dapat berbicara secara independent, tanpa interpensi agama lainnya. Yang
dibutuhkan kemudian adalah penilaian objektif terhadap peran agama dalam
kehidupan manusia. Metode pendekatan baru ini kemudian dikenal sebagai
phenomenology of religion atau fenomenologi agama yang muncul pertama kali di
negara Belanda dan Skandanavia.
Para sarjana akhir abad ke-19 telah
berusaha memahami esensi atau hakikat agama menurut alur generik. Sebuah metode
alternatif dicoba oleh para filosof, terutama Hegel. (1770-1831) secara tandas
pernah mengungkapkan bahwa tujuan utama mempelajari agama-agama adalah untuk
memahami adanya kesatuan (unity) di balik keseragaman (diversity). Artinya, di
balik aneka ragam manifestasi (perwujudan) agama-agama, terdapat kesatuan serta
keutuhan esensi. Esensi yang tunggal itulah yang hendak dipelajari secara
mendalam oleh para pemerhati agama. Sebelum Hegel, Kant telah memakai istilah
fenomena untuk mendeskripsikan data pengalaman.
Disekitar akhir abad ke-19, istilah
fenomenologi mulai dipakai oleh Edmund Husserl. Pernyataannya yang penting
adalah bahwa filsafat harus menjauhkan diri dari semua hal yang bersifat
metafisik. Filsafat harus mempelajari apa sebenarnya yang dihadapi, tidak
membiarkan faktor apa pun yang membuatnya melakukan intervensi dan menjauhkannya
dari usaha melakukan analisis langsung terhadap esensi atau struktur-struktur
umum. Pengaruh Husserl dan pengaruh dari aliran yang didirikannya sangat besar,
akan tetapi pengaruhnya terhadap fenomenologi agama tidak banyak, kecuali dalam
bidang pendekatan secara umum. Hanya sedikit dari ahli sejarah agama yang mau
mengikuti pemikiran Husserl, walau demikian Husserl telah mewariskan bagi para
ahli fenomenologi agama tentang dua hal, yaitu epoche dan eidetic vision.
Jika para sarjana abad ke-19 menelurkan
cara-cara bagaimana mengukur agama dan budaya dengan menghindari segala sesuatu
yang supranaturalistik, fenomenologi abad ke-20 ingin mendudukkan pengalaman
keagamaan manusia sebagai respon atas realitas terdalam. Jadi agama tidak lagi
dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah evolusi, tetapi lebih sebagai
aspek hakiki dari kehidupan manusia. Capaian fenomenologi sangatlah penting
bagi teoritisasi tentang hakekat agama, tetapi sedikit banyak membutuhkan
konsekuensi metodologis. Fenomenologi melanjutkan karakter dan ensiklopedik
dari allgemeine religionseschihte abad ke-19, yang lebih mengupayakan
perbandingan sederhana melalui sintesis makna-makna umum dan lintas budaya.
Kontribusi terpenting fenomenologi dalam tulisan-tulisan terbaru memusatkan
pada proses pemahaman yang terjadi ketika peneliti menghadapi objek (fenomena
keagamaan).
Metode historiko-filologis lama mencari
niat historis penulis teks dengan analisis tekstual, dengan kata lain mencari
makna asli sehingga tujuan penjelasan terhadap teks sangtalah strukturalis,
bukan merupakan makna historis, diakronik sebagai makna holistik, sinkronik.
Fenomenologi juga sangat membutuhkan pendekatan terbuka dan empatik untuk
memahami fenomena keagamaan. Salah satu kecenderungan penting histografi abad
ke-19 adalah distingsi yang dibuat oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan tokoh
lainnya antara ilmu alam dengan studi budaya. Dalam studi budaya atau studi
manusia, objeknya adalah seluruh perbuatan dan tindakan manusia secara historis
yang melibatkan bentuk-bentuk ekspresi artistik, intelektual, sosial, ekonomi,
agama, politik.
Dari studi manusia sekaligus studi
fenomenologi, pemahaman tentang budaya menghendaki pengetahuan luas termasuk di
dalamnya psikologi, sejarah, ekonomi, filologi, kritik sastra, pendeknya semua
disiplin yang mengkaji, aktivitas intelektual dan sosialnya. Oleh Dilthey, yang
merupakan komponen metodologis penting dalam histografi adalah das verstehen,
suatu istilah yang berarti pemahaman tentang gagasan, intensi dan perasaan orang
atau masyarakat melalui manifestasi-manifestasi empirik dalam kebudayaan.
Metode verstehen mengandaikan bahwa manusia di seluruh masyarakat dan
lingkungan sejarah akan mengalami kehidupan yang bermakna dan mereka mengungkap
makna-makna tersebut ke dalam pola-pola yang dapat dilihat, sehingga dapat
dianalisis dan dipahami.
Selanjutnya adalah pendekatan personalis
atau dialogis yang dicetuskan oleh Wilfred Cantwell Smith yang mengambil posisi
nominalis terhadap istilah dan kategori standar di mana komponen-komponen agama
secara tradisional di uraikan. Smith mengatakan bahwa objek pemahaman ilmiah
adalah keimanan yang diyakini individu Muslim (Hindu, Budha, Kristen, dll.)
dalam konteks kehidupan nyata. Pemahaman akan menjadi rancu jika penjelasan dan
interpretasi tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Muslim itu sendiri.
Pandangan Smith ini bersifat ekumene, yang mengundang semua elemen manusia
untuk berdialog dalam mencapai pemahaman atas dasar kemanusiaan.
Menurut Richard, yang perlu dicatat
adalah revivalisasi baru dalam studi tentang agama-agama oleh antropolog
budaya, sekalipun belum diakui secara eksplisit dalam karya-karya sejarawan
agama-agama, bagaimanapun telah memperkuat agama sebagai salah satu bidang
kajian.
Studi Islam
Akhir-akhir ini pengkajian Islam oleh
orang-orang non Islam terus dilakukan bahkan semakin intensif. Pengkajian itu
masih didominasi oleh para pemikir Barat. Hanya kalau dahulu para peneliti Islam
disebut orientalis maka sekarang mereka tidak suka disebut orientalis. Sebutan yang
mereka lebih sukai adalah Islamisis. Menurut Azyumardi Azra, kecenderungan
mereka tidak ingin disebut orientalis muncul setelah kritik tajam Edward W.
Said dalam bukunya Orientalisme. Dalam buku ini Said mengungkapkan secara tajam
bias intelektual Barat terhadap dunia Timur (oriental) umumnya, dan Islam serta
dunia Muslim khususnya. Dengan tegar dia mengemukakan gugatan bahwa Barat
bertanggung jawab membentuk persepsi yang keliru tentang dunia yang ingin
mereka jelaskan. Dengan demikian, secara sederhana dapat ditemukan jawabannya
bahwa dilihat dari segi normatif Islam lebih merupakan agama yang tidak dapat
diberlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma analitis,
kritik metodologis, historis dan empiris, sedangkan jika dilihat dari segi
historis yakni Islam dalam artian diaktikkan oleh manusia serta tumbuh dan
berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai
sebuah disiplin ilmu yaitu Ilmu KeIslaman atau Studi Islam. Perbedaan sudut
pandang akan Islam yang demikian itu dapat menimbulkan distingsi dalam
menjabarkan Islam itu sendiri. Manakala Islam dilihat dari sudut pandang
normatif, Islam merupakan agama yang berkaitan dengan urusan akidah dan
muamalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut pandang historis atau
sebagaimana yang tampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah
disiplin ilmu (studi Islam).
Implikasi dari distorsi informasi dan
pemahaman akan Islam di antaranya dangkalnya pengetahuan akan Islam atau dengan
kata lain Islam tidak ditampilkan secara komprehensif serta objektif. Hal ini
dapat dilihat dari komentar Bernad Lewis dalam esai berjudul The State of
Middle Eastern Studies, yang mengatakan bahwa studi Timur Tengah gersang dalam
perspektif dengan menelaah kembali sejarah studi tentang Islam di Barat sejak
masa pertengahan. Yang memotivasi orang-orang Eropa untuk mengkaji Islam adalah
bersumber dari dua motif yaitu pertama, untuk belajar lebih banyak warisam
klasik yang masih terpelihara dalam bentuk terjemahan dan komentar-komentar
dalam bahasa Arab.
Kedua, Menyokong polemik orang Kristen
terpelajar melawan Islam. Ketika umat Kristen masih di bawah pengaruh
(conversion) Muslim di bidang ilmu pengetahuan dan politik yang berlangsung
hingga abad pertengahan, semakin nyata bahwa umat Muslim tidak pernah melakukan
konversi dalam skala besar. Hal ini memudarkan dua hal yang dijadikan argumen
di atas. Bahkan ketika masa renaisans dimulai, muncul argumen-argumen baru,
pertama adanya rasa ingin tahu akan kebudayaan-kebudayaan asing (rasa ingin
tahu yang dijumpai oleh Lewis yang juga ditemukan oleh G.E. von Grunebaum).
Ada perdebatan menarik terkait dengan
apakah studi Timur Tengah merupakan program interdisipliner atau disiplin
sendiri? Problem lain dimunculkan oleh Binder yang dituangkan di dalam papernya
yang berjudul Area Studies Versus The Disciplines, ia menyatakan bahwa banyak
disiplin ilmu menolak paham bahwa budaya itu unik, oleh karenanya tidak dapat
diperbandingkan. Yang menjadi akar permasalahan dalam hal ini adalah apakah materi
studi kawasan (Timur Tengah yang didominasi oleh Islam) penting dan membutuhkan
metode studi yang diambil dari materi itu sendiri (disebabkan menginginkan
disiplin tersendiri, katakanlah studi Timur Tengah); atau berbagai disiplin
akademik dianggap penting (ilmu bahawa, studi sejarah, ilmu politik,
antropologi dan seterusnya) karenanya dapat menerapkan metode penelitian yang
valid pada studi Timur Tengah. Membandingkan studi ketimuran abad ke-19 dan
studi Timur Tengah abad ke-20, Studi Timur Tengah telah dilumpuhkan oleh
fakultas yang tidak kompeten, kurikulum yang tidak memadai (khususnya dalam
persiapan bahasa), dan standar masuk yang rendah bagi manusia. Hal ini
dibuktikan oleh Leonard Binder yang telah melakukan analisis kritis yang
menjumpai banyak kesalahan pada fakultas-fakultas yang kurang persiapan dalam
mengajarkan materi terkait.
Kritik atas studi Islam menurut Richard
haruslah mengambil dimensi baru dengan memperbaharui di mensi lama. Binder di
bagian lain esainya membahas tentang orientalism Versus Area Stuidies
menyatakan bahwa tradisi studi ketimuran pada abad ke-19 didasarkan pada
paradigma sejarah dan filologi yang dibangun oleh studi tentang masa klasik.
Orientalisme telah banykak memberikan kontribusi bagi perkembangan tentang
studi agama, sejarah, dan masyarakat Islam yang belum terpikirkan dalam studi
Timur Tengah dan studi Islam sekarang.
Kebanyakan dari para sarjana sepakat
akan dua hal yang dilontarkan oleh Binder, yaitu adanya prasangka agama dan
politik dalam studi Timur Tengah. Kemudian muncul pertanyaan, seberapa besar
prasangka tersebut memotivasi dalam mengkaji timur Muslim dan apakah
pengaruhnya tetap berlanjut pada mereka yang mengajar studi Timur Tengah
sekarang? Pertanyaan ini dijawab oleh Edward W. Said dalam bukunya Orientalism
yang memberikan gambaran bahwa studi ketimuran sebagai sebuah disiplin
keilmuwan secara material dan intelektual berkaitan dengan ambisis politik dan
ekonomi Eropa, dan orientalisme telah telah menghasilkan gaya pemikiran yang
dilandaskan pada distingsi teologis dan epistemologi antara Timur dan Barat
dalam banyak hlm. Hal ini pula yang memapankan superioritas budaya Barat
terhadap atas budaya lain, ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Michael
Foucoult.
Richard merujuk pada pendapat Said bahwa akan lebih berharga untuk memasukkan wacana tentang Timur Tengah (dunia Islam) dalam bahasa dan metode disiplin serta mengkoordinasikannya sebagai sebuah multi disiplin (lintas petualangan).
Richard merujuk pada pendapat Said bahwa akan lebih berharga untuk memasukkan wacana tentang Timur Tengah (dunia Islam) dalam bahasa dan metode disiplin serta mengkoordinasikannya sebagai sebuah multi disiplin (lintas petualangan).
Islam di dalam Disiplin
Studi Agama
Berbicara tentang studi agama, ada
baiknya kita mengangkat kembali pemikiran Jacob Neusner yang sempat menuliskan
di artikelnya terkait dengan persoalan tentang disiplin studi agama di tingkat
keilmuwan. Ketiga hal itu adalah pertama,
apakah disiplin ilmu yang dibangun dapat melahirkan kurikulum yang
dibangun atas dasar konsensus mengenai apakah kita memikirkan suatu lembaga
kependidikan dan mensosialisasikannya di kalangan internal? dan apakah teks
mentransmisikan tradisi belajar pada tahapan selanjutnya? Kedua, apakah program
pendidikan ikut menentukan bobot keilmuwan dari disiplin studi agama, sehingga
dapat dilihat adanya kemajuan dari hasil penyelidikan yang dilakukan terhadap
permasalahan-permasalahan yang muncul dalam jangka panjang? Ketiga, apakah ada
kriteria-kriteria spesifik untuk mengakui capaian dan menandai kesepelean serta
pretensi (dalih/tuntutan) secara layak?
Jawaban yang muncul kemudian dianggap
memalukan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Neusner sebagai berikut: “Even though, through philology, we
understand every word of a text, through history, we know just what happened
Indonesia the event or time to which the text testifies, we still do not
understand that text, a religious text serves not merely the purposes of
philology or history. It demands its profer place as a statement of religion,
read as anything but a statement of religion, it is misunderstood. Accordingly,
despite the primitive condition of religious studies as presently practiced,
the discipline in the making known as religious studies does promise for Jewish
learning that what has not yet been attained.
Inti dari ungkapan ini adalah kita belum
mampu memahami teks itu sendiri, kita belum bisa membahasakan teks tersebut,
hingga dari agama lain pun dapat mempelajarinya. Walaupun studi agama dianggap
masih gagal dalam membakukan diri sebagai sebuah disiplin keilmuwan akan tetapi
prospeknya menjanjikan, dengan mengupayakan consensus mengenai kurikulum,
pemecahan masalah dan kriteria dari tujuan yang akan dicapai.
Kesimpulan
Kegelisahan akademik yang dirasakan oleh
Richard terkait dengan studi Islam dan studi agama-agama, antara lain: Pertama, Pamahaman terhadap studi Islam dan studi
agama-agama masih berkutat pada pendekatan normatif dan tidak menyentuh aspek
deskriftifnya. Kedua, titik tekan pendidikan hanya seputar
believer atau pendidikan iman seharusnya menyentuh aspek historians.Ketiga, di kembangkannya sikap Lidiest
subjectivism (lawan dari scientific objektivisme. Keempat, kendala mencari format bagaimana
menghubungkan antara studi Islam dengan studi agama-agama.
Fenomenologi mempelajari manusia yang
ditinjau dari aspek psikologi, sejarah, ekonomi, filologi, kritik sastra. Adapun
cara kerja fenomenologi yang ditawarkan oleh Richard adalah sebagai berikut:
a). Pendekatan terbuka dan empatik. b). Epoche yaitu menghilangkan prasangka
atau prejudice c). idetic vision d). Agama merupakan aspek hakiki dari
kehidupan manusia bukan berasal dari evolusi e). Harus menemukan sikap
universal. Dilthey menawarkan metodologi yaitu das verstehen yang mengungkap
pemahaman manusia tentang gagasan, intensi, dan perasaan orang.
Terkait dengan orientalisme bahwa para
sarjana agama-agama sepakat akan dua hal sebagaimana yang dilontarkan oleh
Binder, yaitu adanya prasangka agama dan politik dalam studi Timur Tengah. Di
antara problem yang dihadapi oleh studi Islam hingga kini belum dapat
disejajarkan dengan disiplin ilmu lainnya antara lain Studi Timur Tengah telah
dilumpuhkan oleh fakultas yang tidak kompeten, kurikulum yang tidak memadai
(khususnya dalam persiapan bahasa), dan standar masuk yang rendah bagi manusia.
Walaupun studi agama dianggap masih gagal dalam membakukan diri sebagai sebuah
disiplin keilmuwan akan tetapi, prospeknya menjanjikan, dengan mengupayakan
consensus mengenai kurikulum, pemecahan masalah dan kriteria dari tujuan yang
akan dicapai.
1 comments:
Kalo berkenaan dg gerakan DI/TII kira2 pendekatan apa yg lebih cocok utk ditulis sbg karya ilmiah.
Post a Comment