Ads 468x60px

Saturday, June 1, 2013

Teori Richard C. Martin: Sebuah Pendekatan Agama

Sebelum Islam hadir ke dunia ini yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, telah terdapat sejumlah agama yang dianut oleh manusia. Dalam pandangan para ahli perbandingan agama (comparative study of religion), agama secara garis besar dibagi dalam dua bagian, yaitu pertama, agama yang diturunkan oleh Allah melalui wahyu-Nya sebagaimana yang termaktub dalam al Qur'an. Agama yang demikian biasa disebut sebagai agama samawi (agama langit). Yang termasuk dalam kategori agama samawi antara lain Yahudi, Nasrani dan Islam. Kedua, kelompok agama yang didasarkan dari hasil renungan secara radikal

 dari tokoh yang membawanya sebagaimana yang terdokumentasikan di dalam kitab yang disusunnya. Agama yang demikian biasa disebut sebagai agama ardli (agama bumi). Yang termasuk dalam kategori ini antara lain Hindu, Budha, Majusi, Kong Hucu dan lain sebagainya.
Agama-agama tersebut hingga saat ini masih dianut oleh manusia di dunia, dan disampaikan secara turun temurun oleh penganutnya. Dalam mengkaji agama-agama, kita sering dihadapkan dengan model atau karakteristik agama tersebut. Sebagian dari agama-agama tersebut ada yang bersifat inklusif-pluralis, yakni mengakui keberadaan agama-agama lainnya, menghormati dan membiarkannya untuk hidup secara berdampingan. Sebagian yang lain bersifat eksklusif atau tertutup, yakni tidak mengakui keberadaan agama-gama lain dan mengklaim agamanyalah yang paling benar dan harus diikuti.
Pada abad pertengahan, studi Islam mulai memasuki wilayah Kristen Eropa. Kajian-kajian yang berkembang lebih diwarnai tujuan-tujuan polemik diskriminatif yang menggambarkan wajah Islam dengan pemahaman dan pemaknaan distortif dan peyoratif. Pemahaman akan Islam yang seperti ini menimbulkan kesan bahwa Islam adalah agama yang diwarnai kekerasan, suka berperang, barbarian dan tuduhan-tuduhan lainnya. Hal ini terjadi akibat polimek Kristen dan Muslim. Walaupun demikian kontak dan ketegangan antara Islam dan Kristen lambat laun menemukan titik terang, di mana studi Islam dapat memberikan manfaat besar bagi perkembangan metodologi dan kajian Islam di Barat.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Charles J. Adams dalam tulisannya Islamic Religiuos Tradition, bahwa dalam perkembangan studi ketimuran, para orientalis klasik telah mengkaji Islam dengan menggunakan pendekatan normatif yang dituangkan ke dalam tiga bentuk, yaitu traditional missionary approach, apologetic approach, dan irenic approach. Ketiga bentuk pendekatan ini ini pada intinya masih menaruh kesan ketidakrelaan akan keberadaan agama lain. Mereka masih berpandangan bahwa agamanyalah yang paling benar walaupun agama lain tetap diapresiasi (inklusif).
Oleh Adams ditawarkanlah pendekatan deskriftif yang di dalamnya mencakup philological and historical approuch, social scientific approuch dan phenomenologal approuch. Akan tetapi yang menjadi kendala kemudian Adam belum bisa menjabarkan secara konkrit tentang pendekatan fenomenologi, ia hanya memberikan klasifikasi yang dapat membantu untuk memahami pendekatan ini, yaitu pertama, fenomenologi diartikan sebagai suatu metode untuk memahami agama orang lain dengan berupaya masuk atau berinteraksi dengan agama yang dikaji dengan meninggalkan atribut keagamaan yang dimiliki si peneliti, metode ini disebut epoch. Keistimewaan dari model ini adalah kita dapat memahami secara mendalam hakikat dari suatu agama, akan tetapi juga memiliki kelemahan yaitu dapat memunculkan sinkretisme pada diri si peneliti. Kedua, Fenomenologi dipandang sebagai pendekatan yang mencoba mencari struktur dasar dari fenomena-fenomena agama. 
Berawal dari sinilah Richard C. Martin mencoba mengungkap kebiasaan yang dialami oleh Adam terkait dengan pendekatan fenomenologi agama. Hal ini sangatlah menarik untuk dijadikan bahan diskusi dengan menampilkan permasalahan bagaimana cara kerja dari pendekatan fenomenologi dalam perspektif Richard C. Martin? Dan Apakah pendekatan fenomenologi ini dapat mendekati fenomena keagamaan.

Studi Islam dan Sejarah Agama-agama
Ada hubungan disharmonis antara sejarah agama-agama dan studi Islam, statement inilah yang dikemukakan oleh Adams di dalam bukunya kumpulan esai-esai tentang sejarah agama. Setidaknya ada dua alasan tentang kesulitan melihat langsung hubungan antara aktivitas Islamis dengan historians of religions (para sejarawan agama-agama), yaitu pertama, adanya fakta bahwa historians of religions berinteraksi dengan data Islam walaupun sedikit (snape shot) dan hanya relatif sedikit kontribusinya terhadap pengetahuan tentang masyarakat Islam dan tradisi-tradisi yang terdapat di dalamnya. Kedua, Belum dielaborasinya problem yang terdapat dalam keilmuan Islam dalam tema besar yang mendominasi horizon para sejarawan agama-agama. Ketidaksepakatan Adams ini tentunya menimbulkan sikap tidak menyenangkan bagi studi akademik tentang Islam sebagai agama.
Sikap yang cenderung antipati telah diperlihatkan oleh para sejarawan agama-agama yang dilatar belakangi oleh provinsialisme akademik dan distorsi pemahaman tentang Islam. Tidak adanya atensi akan studi Islam dipicu oleh kecenderungan pada kompartementalisasi (menggolong-golongkan) di dalam pendidikan tinggi. Para sarjana hanya mau mempelajari sebuah ilmu atau karya seseorang apabila karya itu berasal dari disiplin atau departemen yang sama.
Unsur perdebabatan lain dalam usaha menyusun sebuah pendekatan terhadap studi lintas budaya (cross-cultural studies) datang dari sejumlah masalah yang terdapat di antara peneliti dan yang diteliti. Imparsialitas dan jarak sering kali kurang mendapat perhatian dalam tulisan-tulisan yang ada relevansinya dengan budaya lain. Terdapat bukti yang kuat bahwa agama bisa berubah di bawah pengaruh studi akademik. Di antara mereka yang meneorisasikan hal ini adalah para sarjana yang berpendapat bahwa muatan kepercayaan orang lain selamanya tidak akan tersingkap kecuali si peneliti simpati terhadap kepercayaan orang diteliti. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Mukti Ali, bahwa agama pada manusia adalah hal yang sangat pribadi dan mendalam, sehingga hanya dapat diamati dengan berhati-hati.
Seorang peneliti yang secara teknis dan dikatakan baik belum tentu dapat menemukan persoalan-persoalan agama pada orang yang diwawancarai atau diteliti kecuali dia sendiri beriman berefleksi, bukan saja pada situasi sementara penelitian dilakukan, tetapi juga di luar konteks penelitian, yaitu dalam hidup sehari-hari. Kalau si peneliti bukan orang beragama, akhirnya ia hanya sanggup mengkonstantir ungkapan-ungkapan kepercayaan dan gejala-gejala keagamaan, tetapi bukan agama itu sendiri.
Dalam penelitian agama refleksi perlu dijalankan. Penelitian agama tidak mungkin dilakukan kalau si peneliti tidak tahu seluk-beluk persoalan pokok agama. Karena itu peneliti dan juga para pekerja lapangan dalam bidang agama itu sendiri harus beragama dan berefleksi atas agamanya.  Perlu dibangun kesadaran, bahwa munculnya kesulitan dalam pendekatan semacan ini dikarenakan hanya Muslimlah yang dapat mengkaji (mengajarkan) Islam dengan tingkat pemahaman yang memadai. Namun demikian ada sisi kemudahannya yang terletak pada keterbukaan dan empati terhadap kepercayaan dan keimanan orang lain, dan ini merupakan prasyarat bagi tercapainya sebuah pemahaman.
Persoalan lainnya berkaitan dengan batasan-batasan yang ditentukan oleh weltanschauung (pandangan hidup) terkait dengan ruang dan waktu dari mana mengawali sebuah pengamatan dan penilaian. Lebih lanjut ada keyakinan bahwa sekaranglah saatnya untuk membatasi studi Islam pada sudut pandang yang bercorak Barat, tetapi ilmiah. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah hal ini mengimplikasikan bahwa hanya kategori-kategori dan istilah-istilah yang valid yang digunakan untuk menganalisis fenomena agama Islam itu disediakan oleh Islam sendiri? Atau apakah seluruh bidang kajian, katakanlah, dalam studi sejarah, ilmu bahasa, ilmu sosial dan studi agama dapat menjelaskan fenomena kegamaan sehingga menemukan koherensi diskursif, jika dianggap tidak sebangun di kalangan sarjana Barat dan non-Barat? Inilah gambaran yang dipaparkan oleh Richard C. Martin seputar permasalahan studi Islam dan sejarah agama-agama yang akan ia kupas secara fenomenologik. Lebih lanjut akan dibahas secara elaboratif tentang studi Islam dan sejarah agama-agama secara terpisah. 

Sejarah Agama-agama
Studi terkait dengan agama-agama manusia yang terspesialisasi merupakan dinamika akademik di abad ke-19. Hal ini ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah studi agama di Eropa, Inggris dan Amerika Utara. Sekolah yang didirikan tersebut diberi nama religionswissenchaft, allgemeine religionsgeschichte, perbandingan agama dan fenomenologi agama. Aktivitas akademik para sejarawann agama juga dikonversi oleh studi sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, oriental, al-kitab, dan teologi. Akan tetapi keduanya masih terdapat distingsi kualitas antara studi agama dengan disiplin ilmu lainnya. Hal mendesak yang perlu ditempuh adalah agama sebagai yang menyusun bidang koherens (bertalian) mudah untuk dijelaskan dan ditafsirkan. Oleh karenanya dalam buku ini Richard ingin menjelaskan dan memberikan pemahaman lebih baik data keagamaan dari tradisi Islam dalam konteks studi agama yang umumnya menghendaki survey secara singkat terhadap perkembangan dalam disiplin ilmu sejarah agama-agama masa lalu.
Kesulitan menjadikan agama sebagai bahan kajian, mengutip penjelasan Waardenburg setidaknya ada dua hal yang mendasari , pertama mengkaji berarti melakukan objektivasi atau penjarakan terhadap objek kajiannya. Dalam kajian terhadap agama, tidak hanya kepada ‘pihak lain’ yang diteliti, akan tetapi diri sendiri juga harus terlibat di dalamnya. Kedua, secara tradisional agama dipahami sebagai sesuatu yang sacral, suci dan agung. Permasalahan yang akan muncul kemudian, ketika kita mulai bersinggungan atau ingin mengkritisi terkait dengan hal ini, maka dianggap sebagai sebuah bentuk pelecehan atau bahkan dianggap merusak nilai tradisional agama. 
Menurut Richard, barangkali satu-satunya peristiwa terpenting yang membawa perubahan pandangan secara komprehensif adalah peristiwa peran dunia I yang mampu mempengaruhi banyak sarjana untuk melakukan studi agama-agama. Hal ini disebabkan oleh implikasi perang yang menimbulkan guncangan besar dan mengakibatkan munculnya desakan akan kebutuhan untuk menemukan pendekatan yang dapat membuka ekspresi otentik agama-agama lain agar dapat berbicara secara independent, tanpa interpensi agama lainnya. Yang dibutuhkan kemudian adalah penilaian objektif terhadap peran agama dalam kehidupan manusia. Metode pendekatan baru ini kemudian dikenal sebagai phenomenology of religion atau fenomenologi agama yang muncul pertama kali di negara Belanda dan Skandanavia. 
Para sarjana akhir abad ke-19 telah berusaha memahami esensi atau hakikat agama menurut alur generik. Sebuah metode alternatif dicoba oleh para filosof, terutama Hegel. (1770-1831) secara tandas pernah mengungkapkan bahwa tujuan utama mempelajari agama-agama adalah untuk memahami adanya kesatuan (unity) di balik keseragaman (diversity). Artinya, di balik aneka ragam manifestasi (perwujudan) agama-agama, terdapat kesatuan serta keutuhan esensi. Esensi yang tunggal itulah yang hendak dipelajari secara mendalam oleh para pemerhati agama. Sebelum Hegel, Kant telah memakai istilah fenomena untuk mendeskripsikan data pengalaman.
Disekitar akhir abad ke-19, istilah fenomenologi mulai dipakai oleh Edmund Husserl. Pernyataannya yang penting adalah bahwa filsafat harus menjauhkan diri dari semua hal yang bersifat metafisik. Filsafat harus mempelajari apa sebenarnya yang dihadapi, tidak membiarkan faktor apa pun yang membuatnya melakukan intervensi dan menjauhkannya dari usaha melakukan analisis langsung terhadap esensi atau struktur-struktur umum. Pengaruh Husserl dan pengaruh dari aliran yang didirikannya sangat besar, akan tetapi pengaruhnya terhadap fenomenologi agama tidak banyak, kecuali dalam bidang pendekatan secara umum. Hanya sedikit dari ahli sejarah agama yang mau mengikuti pemikiran Husserl, walau demikian Husserl telah mewariskan bagi para ahli fenomenologi agama tentang dua hal, yaitu epoche dan eidetic vision.
Jika para sarjana abad ke-19 menelurkan cara-cara bagaimana mengukur agama dan budaya dengan menghindari segala sesuatu yang supranaturalistik, fenomenologi abad ke-20 ingin mendudukkan pengalaman keagamaan manusia sebagai respon atas realitas terdalam. Jadi agama tidak lagi dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah evolusi, tetapi lebih sebagai aspek hakiki dari kehidupan manusia. Capaian fenomenologi sangatlah penting bagi teoritisasi tentang hakekat agama, tetapi sedikit banyak membutuhkan konsekuensi metodologis. Fenomenologi melanjutkan karakter dan ensiklopedik dari allgemeine religionseschihte abad ke-19, yang lebih mengupayakan perbandingan sederhana melalui sintesis makna-makna umum dan lintas budaya. Kontribusi terpenting fenomenologi dalam tulisan-tulisan terbaru memusatkan pada proses pemahaman yang terjadi ketika peneliti menghadapi objek (fenomena keagamaan).
Metode historiko-filologis lama mencari niat historis penulis teks dengan analisis tekstual, dengan kata lain mencari makna asli sehingga tujuan penjelasan terhadap teks sangtalah strukturalis, bukan merupakan makna historis, diakronik sebagai makna holistik, sinkronik. Fenomenologi juga sangat membutuhkan pendekatan terbuka dan empatik untuk memahami fenomena keagamaan. Salah satu kecenderungan penting histografi abad ke-19 adalah distingsi yang dibuat oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan tokoh lainnya antara ilmu alam dengan studi budaya. Dalam studi budaya atau studi manusia, objeknya adalah seluruh perbuatan dan tindakan manusia secara historis yang melibatkan bentuk-bentuk ekspresi artistik, intelektual, sosial, ekonomi, agama, politik.
Dari studi manusia sekaligus studi fenomenologi, pemahaman tentang budaya menghendaki pengetahuan luas termasuk di dalamnya psikologi, sejarah, ekonomi, filologi, kritik sastra, pendeknya semua disiplin yang mengkaji, aktivitas intelektual dan sosialnya. Oleh Dilthey, yang merupakan komponen metodologis penting dalam histografi adalah das verstehen, suatu istilah yang berarti pemahaman tentang gagasan, intensi dan perasaan orang atau masyarakat melalui manifestasi-manifestasi empirik dalam kebudayaan. Metode verstehen mengandaikan bahwa manusia di seluruh masyarakat dan lingkungan sejarah akan mengalami kehidupan yang bermakna dan mereka mengungkap makna-makna tersebut ke dalam pola-pola yang dapat dilihat, sehingga dapat dianalisis dan dipahami.
Selanjutnya adalah pendekatan personalis atau dialogis yang dicetuskan oleh Wilfred Cantwell Smith yang mengambil posisi nominalis terhadap istilah dan kategori standar di mana komponen-komponen agama secara tradisional di uraikan. Smith mengatakan bahwa objek pemahaman ilmiah adalah keimanan yang diyakini individu Muslim (Hindu, Budha, Kristen, dll.) dalam konteks kehidupan nyata. Pemahaman akan menjadi rancu jika penjelasan dan interpretasi tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Muslim itu sendiri. Pandangan Smith ini bersifat ekumene, yang mengundang semua elemen manusia untuk berdialog dalam mencapai pemahaman atas dasar kemanusiaan. 
Menurut Richard, yang perlu dicatat adalah revivalisasi baru dalam studi tentang agama-agama oleh antropolog budaya, sekalipun belum diakui secara eksplisit dalam karya-karya sejarawan agama-agama, bagaimanapun telah memperkuat agama sebagai salah satu bidang kajian. 

Studi Islam
Akhir-akhir ini pengkajian Islam oleh orang-orang non Islam terus dilakukan bahkan semakin intensif. Pengkajian itu masih didominasi oleh para pemikir Barat. Hanya kalau dahulu para peneliti Islam disebut orientalis maka sekarang mereka tidak suka disebut orientalis. Sebutan yang mereka lebih sukai adalah Islamisis. Menurut Azyumardi Azra, kecenderungan mereka tidak ingin disebut orientalis muncul setelah kritik tajam Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme. Dalam buku ini Said mengungkapkan secara tajam bias intelektual Barat terhadap dunia Timur (oriental) umumnya, dan Islam serta dunia Muslim khususnya. Dengan tegar dia mengemukakan gugatan bahwa Barat bertanggung jawab membentuk persepsi yang keliru tentang dunia yang ingin mereka jelaskan. Dengan demikian, secara sederhana dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif Islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma analitis, kritik metodologis, historis dan empiris, sedangkan jika dilihat dari segi historis yakni Islam dalam artian diaktikkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu yaitu Ilmu KeIslaman atau Studi Islam. Perbedaan sudut pandang akan Islam yang demikian itu dapat menimbulkan distingsi dalam menjabarkan Islam itu sendiri. Manakala Islam dilihat dari sudut pandang normatif, Islam merupakan agama yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut pandang historis atau sebagaimana yang tampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (studi Islam).
Implikasi dari distorsi informasi dan pemahaman akan Islam di antaranya dangkalnya pengetahuan akan Islam atau dengan kata lain Islam tidak ditampilkan secara komprehensif serta objektif. Hal ini dapat dilihat dari komentar Bernad Lewis dalam esai berjudul The State of Middle Eastern Studies, yang mengatakan bahwa studi Timur Tengah gersang dalam perspektif dengan menelaah kembali sejarah studi tentang Islam di Barat sejak masa pertengahan. Yang memotivasi orang-orang Eropa untuk mengkaji Islam adalah bersumber dari dua motif yaitu pertama, untuk belajar lebih banyak warisam klasik yang masih terpelihara dalam bentuk terjemahan dan komentar-komentar dalam bahasa Arab.
Kedua, Menyokong polemik orang Kristen terpelajar melawan Islam. Ketika umat Kristen masih di bawah pengaruh (conversion) Muslim di bidang ilmu pengetahuan dan politik yang berlangsung hingga abad pertengahan, semakin nyata bahwa umat Muslim tidak pernah melakukan konversi dalam skala besar. Hal ini memudarkan dua hal yang dijadikan argumen di atas. Bahkan ketika masa renaisans dimulai, muncul argumen-argumen baru, pertama adanya rasa ingin tahu akan kebudayaan-kebudayaan asing (rasa ingin tahu yang dijumpai oleh Lewis yang juga ditemukan oleh G.E. von Grunebaum).
Ada perdebatan menarik terkait dengan apakah studi Timur Tengah merupakan program interdisipliner atau disiplin sendiri? Problem lain dimunculkan oleh Binder yang dituangkan di dalam papernya yang berjudul Area Studies Versus The Disciplines, ia menyatakan bahwa banyak disiplin ilmu menolak paham bahwa budaya itu unik, oleh karenanya tidak dapat diperbandingkan. Yang menjadi akar permasalahan dalam hal ini adalah apakah materi studi kawasan (Timur Tengah yang didominasi oleh Islam) penting dan membutuhkan metode studi yang diambil dari materi itu sendiri (disebabkan menginginkan disiplin tersendiri, katakanlah studi Timur Tengah); atau berbagai disiplin akademik dianggap penting (ilmu bahawa, studi sejarah, ilmu politik, antropologi dan seterusnya) karenanya dapat menerapkan metode penelitian yang valid pada studi Timur Tengah. Membandingkan studi ketimuran abad ke-19 dan studi Timur Tengah abad ke-20, Studi Timur Tengah telah dilumpuhkan oleh fakultas yang tidak kompeten, kurikulum yang tidak memadai (khususnya dalam persiapan bahasa), dan standar masuk yang rendah bagi manusia. Hal ini dibuktikan oleh Leonard Binder yang telah melakukan analisis kritis yang menjumpai banyak kesalahan pada fakultas-fakultas yang kurang persiapan dalam mengajarkan materi terkait.
Kritik atas studi Islam menurut Richard haruslah mengambil dimensi baru dengan memperbaharui di mensi lama. Binder di bagian lain esainya membahas tentang orientalism Versus Area Stuidies menyatakan bahwa tradisi studi ketimuran pada abad ke-19 didasarkan pada paradigma sejarah dan filologi yang dibangun oleh studi tentang masa klasik. Orientalisme telah banykak memberikan kontribusi bagi perkembangan tentang studi agama, sejarah, dan masyarakat Islam yang belum terpikirkan dalam studi Timur Tengah dan studi Islam sekarang.
Kebanyakan dari para sarjana sepakat akan dua hal yang dilontarkan oleh Binder, yaitu adanya prasangka agama dan politik dalam studi Timur Tengah. Kemudian muncul pertanyaan, seberapa besar prasangka tersebut memotivasi dalam mengkaji timur Muslim dan apakah pengaruhnya tetap berlanjut pada mereka yang mengajar studi Timur Tengah sekarang? Pertanyaan ini dijawab oleh Edward W. Said dalam bukunya Orientalism yang memberikan gambaran bahwa studi ketimuran sebagai sebuah disiplin keilmuwan secara material dan intelektual berkaitan dengan ambisis politik dan ekonomi Eropa, dan orientalisme telah telah menghasilkan gaya pemikiran yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistemologi antara Timur dan Barat dalam banyak hlm. Hal ini pula yang memapankan superioritas budaya Barat terhadap atas budaya lain, ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Michael Foucoult.
Richard merujuk pada pendapat Said bahwa akan lebih berharga untuk memasukkan wacana tentang Timur Tengah (dunia Islam) dalam bahasa dan metode disiplin serta mengkoordinasikannya sebagai sebuah multi disiplin (lintas petualangan).

Islam di dalam Disiplin Studi Agama
Berbicara tentang studi agama, ada baiknya kita mengangkat kembali pemikiran Jacob Neusner yang sempat menuliskan di artikelnya terkait dengan persoalan tentang disiplin studi agama di tingkat keilmuwan. Ketiga hal itu adalah pertama,  apakah disiplin ilmu yang dibangun dapat melahirkan kurikulum yang dibangun atas dasar konsensus mengenai apakah kita memikirkan suatu lembaga kependidikan dan mensosialisasikannya di kalangan internal? dan apakah teks mentransmisikan tradisi belajar pada tahapan selanjutnya? Kedua, apakah program pendidikan ikut menentukan bobot keilmuwan dari disiplin studi agama, sehingga dapat dilihat adanya kemajuan dari hasil penyelidikan yang dilakukan terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dalam jangka panjang? Ketiga, apakah ada kriteria-kriteria spesifik untuk mengakui capaian dan menandai kesepelean serta pretensi (dalih/tuntutan) secara layak?
Jawaban yang muncul kemudian dianggap memalukan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Neusner sebagai berikut: “Even though, through philology, we understand every word of a text, through history, we know just what happened Indonesia the event or time to which the text testifies, we still do not understand that text, a religious text serves not merely the purposes of philology or history. It demands its profer place as a statement of religion, read as anything but a statement of religion, it is misunderstood. Accordingly, despite the primitive condition of religious studies as presently practiced, the discipline in the making known as religious studies does promise for Jewish learning that what has not yet been attained.
Inti dari ungkapan ini adalah kita belum mampu memahami teks itu sendiri, kita belum bisa membahasakan teks tersebut, hingga dari agama lain pun dapat mempelajarinya. Walaupun studi agama dianggap masih gagal dalam membakukan diri sebagai sebuah disiplin keilmuwan akan tetapi prospeknya menjanjikan, dengan mengupayakan consensus mengenai kurikulum, pemecahan masalah dan kriteria dari tujuan yang akan dicapai.

Kesimpulan
Kegelisahan akademik yang dirasakan oleh Richard terkait dengan studi Islam dan studi agama-agama, antara lain: Pertama, Pamahaman terhadap studi Islam dan studi agama-agama masih berkutat pada pendekatan normatif dan tidak menyentuh aspek deskriftifnya. Kedua, titik tekan pendidikan hanya seputar believer atau pendidikan iman seharusnya menyentuh aspek historians.Ketiga, di kembangkannya sikap Lidiest subjectivism (lawan dari scientific objektivisme. Keempat, kendala mencari format bagaimana menghubungkan antara studi Islam dengan studi agama-agama.
Fenomenologi mempelajari manusia yang ditinjau dari aspek psikologi, sejarah, ekonomi, filologi, kritik sastra. Adapun cara kerja fenomenologi yang ditawarkan oleh Richard adalah sebagai berikut: a). Pendekatan terbuka dan empatik. b). Epoche yaitu menghilangkan prasangka atau prejudice c). idetic vision d). Agama merupakan aspek hakiki dari kehidupan manusia bukan berasal dari evolusi e). Harus menemukan sikap universal. Dilthey menawarkan metodologi yaitu das verstehen yang mengungkap pemahaman manusia tentang gagasan, intensi, dan perasaan orang.
Terkait dengan orientalisme bahwa para sarjana agama-agama sepakat akan dua hal sebagaimana yang dilontarkan oleh Binder, yaitu adanya prasangka agama dan politik dalam studi Timur Tengah. Di antara problem yang dihadapi oleh studi Islam hingga kini belum dapat disejajarkan dengan disiplin ilmu lainnya antara lain Studi Timur Tengah telah dilumpuhkan oleh fakultas yang tidak kompeten, kurikulum yang tidak memadai (khususnya dalam persiapan bahasa), dan standar masuk yang rendah bagi manusia. Walaupun studi agama dianggap masih gagal dalam membakukan diri sebagai sebuah disiplin keilmuwan akan tetapi, prospeknya menjanjikan, dengan mengupayakan consensus mengenai kurikulum, pemecahan masalah dan kriteria dari tujuan yang akan dicapai.

1 comments:

Unknown said...

Kalo berkenaan dg gerakan DI/TII kira2 pendekatan apa yg lebih cocok utk ditulis sbg karya ilmiah.

Post a Comment