Ads 468x60px

Friday, July 11, 2014

Pendekatan Psikologi Dalam Studi Islam

Pada abad keenam bangsa Cina dikenal sebagai bangsa yang memiliki keunggulan dalam ilmu pengobatan tradisional, astronomi, ramu-ramuan dan lain-lain. Pendek kata, saat itu Cina merupakan salah satu pusat peradaban dunia yang sangat maju. Karena itulah, Nabi Muhammad saw menganjurkan umat Islam agar menuntut ilmu di negeri Cina. Pada saat sekarang diakui atau tidak kiblat ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bangsa Barat (Eropa dan Amerika). Mengacu pada anjuran Nabi agar umat Islam belajar sampai ke pusat peradaban Cina, maka pada saat sekarang umat Islam perlu belajar ilmu pengetahuan dan teknologi kepada bangsa Barat. Untuk menjadi umat yang maju dan kompetitif dalam arena pergulatan dunia, maka mau tidak mau umat Islam perlu menyadap ilmu tersebut. Salah satu disiplin ilmu yang berkembang pesat di kalangan masyarakat Eropa dan Amerika adalah Psikologi.
Disiplin ilmu yang diakui sebagai disiplin ilmu yang mandiri pada tahun 1879 ini adalah ilmu yang lahir di Eropa dan saat ini berkembang pesat di Amerika. Dalam usianya yang melebihi angka satu abad ini psikologi telah memperlihatkan berbagai sumbangannya dalam memecahkan berbagai problem dan menyibak misteri hidup manusia sekaligus mengupayakan peningkatan sumber daya manusia. Melihat sumbangan psikologi yang demikian, jika kita ingin menjadi umat yang kompetitif, maka psikologi adalah disiplin ilmu yang harus dikuasai.  Walaupun demikian disadari sepenuhnya bahwa psikologi adalah disiplin ilmu yang dibangun dan dikembangkan dalam masyarakat dan budaya Barat, maka sangat mungkin kerangka pikir (made of thought) psikologi dipenuhi pandangan atau nilai-nilai hidup masyarakat Barat yang tak jarang ditemui pandangan-pandangan psikologi berbeda bahkan bertentangan dengan pandangan Islam. Salah satu agenda penting yang harus diperhatikan oleh muslim yang mempelajari psikologi adalah meninjau kembali konsep-konsep psikologi dengan visi Islam. Hal ini bisa, dengan melakukan perbandingan ataupun dengan cara menilai psikologi dengan sudut pandang Islam atau psikologi  dipakai sebagai pisau analisis masalah-masalah umat Islam.
Menurut Djamaludin Ancok, usaha yang dapat digunakan untuk mengintegrasikan psikologi dan Islam adalah membentuk konsep psikologi baru yang didasarkan pada Islam (Ancok, 2004: 3). Cara tersebut sangatlah bisa ditempuh mengingat kandungan al-Qur’an yang berpeluang membentuk suatu konsep psikologi yang berwawasan Islam. Islam melalui al-Quran, Sunnah Nabi dan ditambah dengan khazanah pemikiran Islam telah menyediakan bahan yang cukup untuk mengawali penyususnan suatu konsep psikologi Islam. Pada pembahasan pada Bab selanjutnya pertama penulis akan membahas telaah atas konsep perilaku beragama, mendialogkan antara psikologi dan Islam dan diakhiri dengan konsep  baru tentang psikologi yang disebut dengan psikologi Islam. Sebuah Telaah Atas Konsep Perilaku Beragama. Dalam perkembangannya, psikologi modern memberi tempat khusus bagi kajian tentang prilaku-prilaku keagamaan. Kajian-kajian seperti ini biasanya dapat kita temukan dalam buku-buku teks psikologi agama. Menarik untuk mencoba mengkaji ulang bagaimana psikologi modern (Psikoanalisis aliran prilaku, Psikologi Behaviorisme dan Psikologi Humanistik) tentang perilaku beragama ini

Psikoanalisis tentang perilaku beragama 
Sigmund Freud menggagas psikoanalisis, menerangkan manusia dengan teori tentang struktur kepribadian manusia. Tiga komponen yang termasuk dalam struktur kepribadian adalah Id, Ego dan Superego. Ketika manusia dilahirkan, ia hanya memiliki Id atau dorongan-dorongan yang minta dipuaskan. Dalam perkembangan selanjutnya tumbuhlah superego dalam diri manusia. Superego adalah nilai-nilai yang diterima individu dari lingkungannya. Antara Id dan Superego selalu muncul pertentangan. Id mewakili kepentingan pribadi sedangkan Superego mewakili norma-norma masyarakat. Untuk mengatur mekanisme diantara keduanya, berperanlah Ego. (Jalaluddin Rahmat, 2008: 71).
Mencermati padangan Freud, maka dapat dikatakan bahwa dalam diri manusia tidak ada kebaikan yang bersifat alami atau biologis. Ketika lahir ia hanya memiliki nafsu/libido/id dan sama sekali tidak mempunyai dorongan-dorongan kebaikan atau hati nurani. Hati nurani yang mewakili nilai-nilai kebaikan lahir bersamaan dengan tumbuh kembangnya individu dalam masyarakat. Karena itu dalam pandangan Freud dorongan beragama bukanlah suatu dorongan yang alami atau asasi, melainkan dorongan yang tercipta karena tuntutan lingkungan. Agama adalah reaksi manusia atas ketakutannya sendiri. Dalam buku yang berjudul The Future of an Illusion, Freud menggungkapkan bahwa agama dalam ciri-ciri psikologisnya adalah sebuah ilusi, yakni kepercayaan yang dasar utamanya adalah angan-angan (Wishfulfillment). Manusia lari kepada agama disebabkan oleh ketidakberdayaannya menghadapi bencana (seperti bencana alam, takut mati, keinginan agar manusia terbebaskan dari siksaan manusia lainnya).
Dari penjelasan diatas dapat diungkapkan bahwa orang melakukan prilaku beragama semata-mata didorong oleh keinginan untuk menghindari keadaan bahaya yang akan menimpa dirinya dan memberikan rasa aman bagi dirinya sendiri. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam fikirannya. Tuhan yang diciptakannya sendiri itulah yang akan disembahnya. Sementara bagaimana ritual penyembahan terhadap Tuhan sangat tergantung dari contoh-contoh yang diperlihatkan oleh orang-orang terlebih  dahulu yang melakukannya.

Behaviorisme tentang perilaku beragama
Behaviorisme (aliran prilaku) yang diilhami John Broadus Watson dan digerakkan B.F Skinner. Skiner berpendapat bahwa perilaku manusia pada umumnya dapat dijelaskan berdasarkan teori pengkondisian operan (operant conditioning). Manusia melakukan sesuatu dalam kehidupannya untuk mendapatkan akibat-akibat entah untuk pemenuhan kebutuhan atau menghindari datangnya hukuman atau pengalaman yang tidak enak. Perilaku keagamaan sebagaimana prilaku lain merupakan ungkapan bagaimana manusia dengan pengkondisian operan belajar hidup di dunia yang dikuasai oleh hukum ganjaran dan hukuman.
Aliran ini memandang manusia  ibarat mesin. Tingkah lakunya merupakan respon dari setiap stimulus yang didapatkan karena pelajaran-pelajaran yang dipelajari. Oleh karena itu aliran ini sangat mementingkan lingkungan. Asumsi dasarnya bahwa tingkah laku manusia sebagai manifestasi kejiwaannya merupakan respon dari stimulus yang diterimanya dari lingkungan (Ramayulis, 2007: 148).
Skiner menolak mekanisme internal dan eksternal untuk menjelaskan pengalaman beragama. Ucapan seperti “saya merasa suka pergi ke tempat ibadah” dipandang dari sudut pengertian Behavioristis  tidak berbicara apa-apa. Apakah perasaan menjadi penyebab orang pergi ke tempat ibadah atau Tuhan yang membangkitkan perasaan untuk pergi ke tempat ibadah itu? Masalah pokokny adalah orang yang bersangkutan mengetahui apa yang terjadi dengan orang yang merasa suka pergi ke tempat ibadah. Faktor pengalaman yang memuaskan itu mendorongnya pergi ke tempat ibadah dan tidak pergi ke tempat lain. Dalam pandangan Skiner kegiatan keagamaan diulangi karena menjadi faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan.

Psikologi Humanistik tentang Perilaku beragama
Tokoh yang diambil dalam kelompok ini adalah Abraham Maslow. Dalam pandangan Maslow semua manusia memiliki kecenderungan yang dibawa sejak lahir untuk mengaktualisasikan diri. Kita didorong oleh kebutuhan-kebutuhan yang universal dibawa sejak lahir, yang tersusun dalam suatu tingkatan dari yang paling lemah ke yang paling kuat. Prasyarat untuk mencapai aktualisasikan diri adalah memuaskan empat kebutuhan yang berada pada tingkat yang paling rendah yaitu kebutuhan fisiologi, kebutuhan rasa aman, kebutuhan memiliki cinta dan kasih sayang dan kebutuhan akan penghargaan. Aktualisasi diri dapat didefinisikan sebagai perkembangan yang paling tinggi dan penggunaan semua bakat perkembangan yang paling tinggi. Orang yang mengaktualisasikan diri didorong oleh metamotivasi (metamotivation).
Pendekatan humanistik mengakui eksistensi agama. Maslow sendiri dalam teorinya mengemukakan konsep  metamotivation yang diluar kelima hierarchy of needs yang pernah dia kemukakan. Mystical adalah bagian dari metamotivation yang menggambarkan pengalaman keagamaan. Pada kondisi ini manusia merasakan adanya pengalaman keagamaan yang sangat dalam. Pribadi (self) lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan transendental (self is lost and transcended). Menurut Maslow ini adalah keadaan tertinggi dari kesempurnaan manusia. Ada kesempatan dimana orang yang mengaktualisasikan diri mengalami ekstase, kebahagiaan, perasaan terpesona yang meluap-luap, suatu pengalaman keagamaan yang sangat mendalam.

0 comments:

Post a Comment