Pada abad keenam bangsa Cina dikenal sebagai bangsa
yang memiliki keunggulan dalam ilmu pengobatan tradisional, astronomi,
ramu-ramuan dan lain-lain. Pendek kata, saat itu Cina merupakan salah satu
pusat peradaban dunia yang sangat maju. Karena itulah, Nabi Muhammad saw
menganjurkan umat Islam agar menuntut ilmu di negeri Cina. Pada saat
sekarang diakui atau tidak kiblat ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bangsa
Barat (Eropa dan Amerika). Mengacu pada anjuran Nabi agar umat Islam belajar
sampai ke pusat peradaban Cina, maka pada saat sekarang umat Islam perlu
belajar ilmu pengetahuan dan teknologi kepada bangsa Barat. Untuk menjadi umat
yang maju dan kompetitif dalam arena pergulatan dunia, maka mau tidak mau umat
Islam perlu menyadap ilmu tersebut. Salah satu disiplin ilmu yang
berkembang pesat di kalangan masyarakat Eropa dan Amerika adalah Psikologi.
Disiplin ilmu yang diakui sebagai disiplin ilmu yang mandiri pada tahun 1879 ini adalah ilmu yang lahir di Eropa dan saat ini berkembang pesat di Amerika. Dalam usianya yang melebihi angka satu abad ini psikologi telah memperlihatkan berbagai sumbangannya dalam memecahkan berbagai problem dan menyibak misteri hidup manusia sekaligus mengupayakan peningkatan sumber daya manusia. Melihat sumbangan psikologi yang demikian, jika kita ingin menjadi umat yang kompetitif, maka psikologi adalah disiplin ilmu yang harus dikuasai. Walaupun demikian disadari sepenuhnya bahwa psikologi adalah disiplin ilmu yang dibangun dan dikembangkan dalam masyarakat dan budaya Barat, maka sangat mungkin kerangka pikir (made of thought) psikologi dipenuhi pandangan atau nilai-nilai hidup masyarakat Barat yang tak jarang ditemui pandangan-pandangan psikologi berbeda bahkan bertentangan dengan pandangan Islam. Salah satu agenda penting yang harus diperhatikan oleh muslim yang mempelajari psikologi adalah meninjau kembali konsep-konsep psikologi dengan visi Islam. Hal ini bisa, dengan melakukan perbandingan ataupun dengan cara menilai psikologi dengan sudut pandang Islam atau psikologi dipakai sebagai pisau analisis masalah-masalah umat Islam.
Disiplin ilmu yang diakui sebagai disiplin ilmu yang mandiri pada tahun 1879 ini adalah ilmu yang lahir di Eropa dan saat ini berkembang pesat di Amerika. Dalam usianya yang melebihi angka satu abad ini psikologi telah memperlihatkan berbagai sumbangannya dalam memecahkan berbagai problem dan menyibak misteri hidup manusia sekaligus mengupayakan peningkatan sumber daya manusia. Melihat sumbangan psikologi yang demikian, jika kita ingin menjadi umat yang kompetitif, maka psikologi adalah disiplin ilmu yang harus dikuasai. Walaupun demikian disadari sepenuhnya bahwa psikologi adalah disiplin ilmu yang dibangun dan dikembangkan dalam masyarakat dan budaya Barat, maka sangat mungkin kerangka pikir (made of thought) psikologi dipenuhi pandangan atau nilai-nilai hidup masyarakat Barat yang tak jarang ditemui pandangan-pandangan psikologi berbeda bahkan bertentangan dengan pandangan Islam. Salah satu agenda penting yang harus diperhatikan oleh muslim yang mempelajari psikologi adalah meninjau kembali konsep-konsep psikologi dengan visi Islam. Hal ini bisa, dengan melakukan perbandingan ataupun dengan cara menilai psikologi dengan sudut pandang Islam atau psikologi dipakai sebagai pisau analisis masalah-masalah umat Islam.
Menurut Djamaludin Ancok, usaha
yang dapat digunakan untuk mengintegrasikan psikologi dan Islam adalah
membentuk konsep psikologi baru yang didasarkan pada Islam (Ancok, 2004:
3). Cara tersebut sangatlah bisa ditempuh mengingat kandungan
al-Qur’an yang berpeluang membentuk suatu konsep psikologi yang berwawasan
Islam. Islam melalui al-Quran, Sunnah Nabi dan ditambah dengan khazanah
pemikiran Islam telah menyediakan bahan yang cukup untuk mengawali penyususnan
suatu konsep psikologi Islam. Pada pembahasan pada Bab selanjutnya pertama
penulis akan membahas telaah atas konsep perilaku beragama, mendialogkan antara
psikologi dan Islam dan diakhiri dengan konsep baru tentang psikologi
yang disebut dengan psikologi Islam. Sebuah Telaah Atas Konsep Perilaku
Beragama. Dalam perkembangannya, psikologi modern memberi tempat khusus
bagi kajian tentang prilaku-prilaku keagamaan. Kajian-kajian seperti ini
biasanya dapat kita temukan dalam buku-buku teks psikologi agama. Menarik untuk
mencoba mengkaji ulang bagaimana psikologi modern (Psikoanalisis aliran
prilaku, Psikologi Behaviorisme dan Psikologi Humanistik) tentang perilaku
beragama ini
Psikoanalisis tentang perilaku beragama
Sigmund Freud menggagas psikoanalisis, menerangkan
manusia dengan teori tentang struktur kepribadian manusia. Tiga komponen yang
termasuk dalam struktur kepribadian adalah Id, Ego dan Superego. Ketika manusia
dilahirkan, ia hanya memiliki Id atau dorongan-dorongan yang minta dipuaskan.
Dalam perkembangan selanjutnya tumbuhlah superego dalam diri manusia. Superego
adalah nilai-nilai yang diterima individu dari lingkungannya. Antara Id dan
Superego selalu muncul pertentangan. Id mewakili kepentingan pribadi sedangkan
Superego mewakili norma-norma masyarakat. Untuk mengatur mekanisme diantara
keduanya, berperanlah Ego. (Jalaluddin Rahmat, 2008: 71).
Mencermati padangan Freud, maka
dapat dikatakan bahwa dalam diri manusia tidak ada kebaikan yang bersifat alami
atau biologis. Ketika lahir ia hanya memiliki nafsu/libido/id dan sama sekali
tidak mempunyai dorongan-dorongan kebaikan atau hati nurani. Hati nurani yang
mewakili nilai-nilai kebaikan lahir bersamaan dengan tumbuh kembangnya individu
dalam masyarakat. Karena itu dalam pandangan Freud dorongan beragama bukanlah
suatu dorongan yang alami atau asasi, melainkan dorongan yang tercipta karena
tuntutan lingkungan. Agama adalah reaksi manusia atas ketakutannya sendiri.
Dalam buku yang berjudul The Future of an Illusion, Freud menggungkapkan bahwa
agama dalam ciri-ciri psikologisnya adalah sebuah ilusi, yakni kepercayaan yang
dasar utamanya adalah angan-angan (Wishfulfillment). Manusia lari
kepada agama disebabkan oleh ketidakberdayaannya menghadapi bencana (seperti
bencana alam, takut mati, keinginan agar manusia terbebaskan dari siksaan
manusia lainnya).
Dari penjelasan diatas dapat diungkapkan bahwa orang
melakukan prilaku beragama semata-mata didorong oleh keinginan untuk
menghindari keadaan bahaya yang akan menimpa dirinya dan memberikan rasa aman
bagi dirinya sendiri. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam
fikirannya. Tuhan yang diciptakannya sendiri itulah yang akan disembahnya.
Sementara bagaimana ritual penyembahan terhadap Tuhan sangat tergantung dari
contoh-contoh yang diperlihatkan oleh orang-orang terlebih dahulu yang
melakukannya.
Behaviorisme tentang perilaku beragama
Behaviorisme (aliran prilaku) yang diilhami John
Broadus Watson dan digerakkan B.F Skinner. Skiner berpendapat bahwa perilaku
manusia pada umumnya dapat dijelaskan berdasarkan teori pengkondisian
operan (operant conditioning). Manusia melakukan sesuatu dalam
kehidupannya untuk mendapatkan akibat-akibat entah untuk pemenuhan kebutuhan
atau menghindari datangnya hukuman atau pengalaman yang tidak enak. Perilaku
keagamaan sebagaimana prilaku lain merupakan ungkapan bagaimana manusia dengan
pengkondisian operan belajar hidup di dunia yang dikuasai oleh hukum ganjaran
dan hukuman.
Aliran ini memandang manusia
ibarat mesin. Tingkah lakunya merupakan respon dari setiap stimulus yang
didapatkan karena pelajaran-pelajaran yang dipelajari. Oleh karena itu aliran
ini sangat mementingkan lingkungan. Asumsi dasarnya bahwa tingkah laku manusia
sebagai manifestasi kejiwaannya merupakan respon dari stimulus yang diterimanya
dari lingkungan (Ramayulis, 2007: 148).
Skiner menolak mekanisme internal
dan eksternal untuk menjelaskan pengalaman beragama. Ucapan seperti “saya
merasa suka pergi ke tempat ibadah” dipandang dari sudut pengertian
Behavioristis tidak berbicara apa-apa. Apakah perasaan menjadi penyebab
orang pergi ke tempat ibadah atau Tuhan yang membangkitkan perasaan untuk pergi
ke tempat ibadah itu? Masalah pokokny adalah orang yang bersangkutan mengetahui
apa yang terjadi dengan orang yang merasa suka pergi ke tempat ibadah. Faktor
pengalaman yang memuaskan itu mendorongnya pergi ke tempat ibadah dan tidak
pergi ke tempat lain. Dalam pandangan Skiner kegiatan keagamaan diulangi karena
menjadi faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan.
Psikologi Humanistik tentang Perilaku beragama
Tokoh yang diambil dalam kelompok ini adalah Abraham
Maslow. Dalam pandangan Maslow semua manusia memiliki kecenderungan yang dibawa
sejak lahir untuk mengaktualisasikan diri. Kita didorong oleh
kebutuhan-kebutuhan yang universal dibawa sejak lahir, yang tersusun dalam
suatu tingkatan dari yang paling lemah ke yang paling kuat. Prasyarat untuk
mencapai aktualisasikan diri adalah memuaskan empat kebutuhan yang berada pada
tingkat yang paling rendah yaitu kebutuhan fisiologi, kebutuhan rasa aman,
kebutuhan memiliki cinta dan kasih sayang dan kebutuhan akan penghargaan.
Aktualisasi diri dapat didefinisikan sebagai perkembangan yang paling tinggi
dan penggunaan semua bakat perkembangan yang paling tinggi. Orang yang
mengaktualisasikan diri didorong oleh metamotivasi (metamotivation).
Pendekatan humanistik mengakui
eksistensi agama. Maslow sendiri dalam teorinya mengemukakan konsep metamotivation yang
diluar kelima hierarchy of needs yang pernah dia kemukakan. Mystical adalah
bagian dari metamotivation yang menggambarkan pengalaman keagamaan.
Pada kondisi ini manusia merasakan adanya pengalaman keagamaan yang sangat
dalam. Pribadi (self) lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan
kekuatan transendental (self is lost and transcended). Menurut Maslow ini
adalah keadaan tertinggi dari kesempurnaan manusia. Ada kesempatan dimana orang
yang mengaktualisasikan diri mengalami ekstase, kebahagiaan, perasaan terpesona
yang meluap-luap, suatu pengalaman keagamaan yang sangat mendalam.
0 comments:
Post a Comment