Ads 468x60px

AKADEMIA

Kuliah Filsafat Dan Tasawuf Dengan 

Sebagai pengantar umum pada kuliah Filsafat dan Tasawuf, saya sebenarnya hanya ingin berbagi pandangan saya tentang apa dan bagaimana filsafat, sains dan tasawuf dipandang oleh para sarjana Muslim. Kesan saya yang pertama adalah, bahwa dalam tradisi ilmiah Islam, ketiga disiplin ilmu ini, meski bisa dibedakan satu sama lain, tetapi sesungguhnya, merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi, seperti tiga aspek dari entitas yang sama. pada masa sekarang, ada kesan bahwa ketiga bidang ini, filsafat, sains dan tasawuf atau mistisime, adlah tiga hal yang berdiri sendiri-sendiri, dan seolah-olah tidak bisa dipertemukan.

Dalam kuliah kita kali ini, saya akan tunjukkan betapa ketiga disiplin ilmu ini, kalau dipahami secara komprehensif (menyeluruh), memiliki benang merah yang merajut ketiganya dalam sebuah tautan yang harmonis. tidak ada pertentangan di antara mereka, yang ada malah satu sama lain saling melengkapi sebuah pandangan hidup yang lengkap yang telah disumbangkan oleh dunia dan peradaban Islam yang agung.
Sepertinya kita akan mulai dengan filsafat, yang sering dipandang sebagai induk ilmu, kemudian sains Islam, yang sebenarnya merupakan bagian tak terpisahkan dari filsafat Islam, tapi yang paling sering diabaikan dalam perkuliahan-perkuliah filsafat Islam, bukan hanya di negeri ini, tetapi juga di negeri yang telah melahirkannya, Iran. Tasawuf, meski dibedakan oleh Ibn Khaldun sebagai salah satu ilmu naqliyyah (transmitted sciences) di mana ilmu-ilmu filsafat sebagai ilmu 'aqliyyah (rational sciences), tetapi menurut saya, ia merupakan aspek lain dari keilmuan Islam yang esensial, yang tanpanya, keilmuan Islam tidak akan pernah menjadi lengkap. Sekian dulu pengantar kuliah Filsafat dan Tasawuf ini, semoga bermanfaat.

Apa Itu Filsfat?
Sebelum kita berbicara lebih lanjut tentang filsafat, barangkali ada baiknya kita bicara dulu apa itu filsafat. Filsafat berasal dari kata Yunani Philo (pencinta/pencari) dan sophos (kebijaksanaan/kebenaran). Jadi filsafat adalah upaya manusia untuk mencari kebenaran atau mencintai kebijaksanaan. Pada masa Sokrates, di Yunani telah muncul kaum Sophis yang menjadikan manusia sebagai ukuran kebenaran. Tetapi para filosof Yunan lebih suka menyebut diri mereka filosof, yakni pencari kebenaran. Dalam pencarian kebenaran ini, mereka yakin bahwa kebenaran mutlak tidak bisa dicapai, dan karena ityu selalu tersedia ruang bagi generasi berikutnya untuk mencari terus kebenaran yang lebih mendalam. Pencarian filosofis tidak akan berhenti sampai akhir zaman. Kalau ia berhenti (dengan alasan telah mencapai kebenaran absolut), maka ia bukan lagi filsafat, melainkan ideologi atau bahkan agama.
Komitmen para filosof adalah pada kebenaran, bukan otoritas seorang guru atau orang tua. betatapun kecintaan seorang murid kepada gurunya, dan betapapun besar otoritas seorang guru dalam bidang keilmuannya, ia tidak akan menyurutkan seorang filosof sejati untuk menyatakan kebenaran, sekalipun ia bertentangan dengan ajaran dan kepercayaan gurunya tersebut. dengan demikian filsafat mengajari kita berfikir kritis terhadap siapapun. Ini misalnya diilustrasikan dari jawaban Aristoteles yang diberikan pada orang menanyakan, apakah Ia tidak mencintai lagi gurunya, Plato, sehingga terdapat perbedaan-perbedaan yang tajam antara dirinya dan gurunya. "Siapapun tahu," kata Aristoteles, "betapa besar cintaku pada guruku Plato. Cintaku padanya melebihi cintaku pada ayahku. Meskipun begitu, cintaku pada kebenaran melebihi cintaku padanya (baca: guruku)." Hal yang serupa dilakukan juga oleh al-Ghazali kepada gurunya al-Juwayni. Dikatakan bahwa al-Ghazali melakukakan kritik yang sangat tajam kepada materi kuliah yang disampaikan gurunya dalam ta'liqah keduanya, begitu tajam kritikannya itu, sehingga sang guru kebakaran jenggot, seraya berkata: "Ghazali, engkau sama saja dengan mengubur saya hidup-hidup. Tidakkah kau bersabar sampai tiba masa kematianku." inilah dua contoh bagaimana semangat pencarian filosofis tidak akan pernah berakhir.
Sering dikatakan bahwa pemikiran filsafat bersifat radikal. Radikal berasal dari kata radix, artinya akar. Maksudnya adalah pemikiran filosofis ini berkenaan dengan akar, yakni akar permasalahan. Ia tidak bergerak dipermukaan, tetapi menelusup ke bagian dalam, mencari akar dari sebuah masalah yang sedang dibicarakan. Akar selalu berada didalam tanah, jadi tak nampak pada indera kita, tetapi kita juga tahu, akarlah yang menjadi sebab munculnya batang tubuh, kemudian cabang, ranting dan buah. Tanpa akar, maka tak mungkin akan ada pohon. Pemikiran filsafat tentu saja berawal pada apa yang nampak, yang biasa disebut fenomena, tapi ia tidak berhenti di sana, melainkan masuk ke dalam untuk mencari realitas (makna, menurut Rumi, atau noumena, dalam bahasa Kant).
Kita memang terbiasa dengan yang nampak ke indera kita, dan tak biasa dengan memikirkan realitas yang terdalam yang tersembunyi di balik fenomena tersebut. Inilah salah satu sebab mengapa pemikiran filosofis kadang terkesan sulit, tak bisa ditembus oleh orang kebanyakan (awam). Tetapi dengan melakukan aktifitas seperti itu, filsafat tidak hendak bermain-main, atau melakukan akrobat intelektual, melainkan hendak dengan serius mencari realitas atau kebenaran. Filosof percaya bahwa di balik apa yang kita lihat (baca: fenomena) ada realitas atau makna. Rumi mengatakan bahwa apa yang nampak pada pandangan kita, hanyalah bentuk. Tetapi di balik setiap bentuk tersimpan makna (realitas), bahkan ia percaya bahwa bentuk itu tercipta demi makna. Rumi berkata: "berapa lama lagi engkau akan bercinta dengan jambangan. Jangan berhenti di sana, pergilah melampaui bentuk luar jambangan. Tapi carilah air, karena jambangan tidak dicipta kecuali untuk menyimpan air." Jangan berhenti pada buih, tapi carilah laut dalam yang tersembunyi di balik buih. Jangan hanya berkata, "aku melihat debu yang beterbangan," karena debu tidak akan beterbangan kecuali diterbangkan oleh angin. Anginlah sang penggerak, sang pelaku, sekalipun ia tak terlihat oleh mata. Jangan berhenti pada kulit kerang itu, tapi masuklah ke dalamnya untuk temukan mutiara, karena nilai dari kerang terletak pada mutiaranya, sekalipun mutiara itu tidak dapat dilihat mata."
Selain bersifat radikal, filsafat juga bersifat rasional. Rasional tentu saja dikaitkan dengan kata ratio atau "reason," penalaran atau akal. Maka dikatakan bahwa filsafat adalah penelitian rasional (akliah) terhadap yang ada (mawjudat/existents) baik yang fisik maupun non-fisik atau metafisik (apa yang ada di balik fisik). Namun karakteristik pemikiran rasional ada pada logika, yaitu ilmu atau kaidah berfikir yang benar, sehingga dikatakan bahwa pemikiran filsafat bersifat logis. Namun, operasi pemikiran logika tertetak apa ada yang disebut silogisme--sebuah upaya untuk menarik kesimpulan (konklusi) dari beberapa premis (premis mayor dan minor) melalui sebuah terma yang ada di antara keduanya, yang disebut middle term (al-hadd al-awsath). Tujuan utama operasi logika adalah mengetahui yang belum diketahui (al-majhul) dari yang sudah kita ketahui (al-ma'lum). Karena itu juga saya pernah menyebut dalam salah satu buku saya, bahwa pemikiran rasiona atau logis bersifat inferensial.
Tetapi dalam tradisi ilmiah Islam, filsafat tidak bisa dikaitkan secara eksklusif hanya pada akal. Ia juga dikaitkan pada sumber yang lain seperti indera, hati (intuisi) dan bahkan wahyu. Adalah signifikan (bermaksa) bahwa para filosof Muslim mengidentifikasi filsafat, selain dengan falsafah (dari kata Yunani philosophos), juga dengan hikmah, seperti yang tercermin dari istilah hikmat al-isyraq untuk menyebut sistim filsafat Suhrawardi (w. 1191), atau al-hikmah al-muta'aliyah, untuk sistem filsafat Mulla Shadra (w. 1641). Sekali filsafat diidentifikasi dengan hikmah, maka filsafat tidak akan bisa hanya urusan rasio saja. Karena sumber hikmah bukan hanya akal, juga yang lain, termasuk intuisi dan wahyu. Dipercayai bahwa selain kitab, Tuhan juga, menurut al-Qur'an, memberikan hikmah, dan mengatakan, "barangsiapa diberi hikamah, maka sesungguhnya ia diberikan kebaikan yang banyak." Contoh ideal ahli filsafat (hikmah) adalah Luqman, yang diberi gelar al-Hakim, sang filosof. Oleh karena itu, maka dalam tradisi ilmiah Islam, filsafat tidak bisa "exclusively rational" dan tidak bisa dipisahkan dari intuisi dan wahyu. Mulla Shadra, pernah menyatakan bahwa sumber filsafatnya adalah burhan, irfan dan Qur'an, dengan kata lain akal, hati (intuisi) dan wahyu (kitab suci). Dengan demikian filsafat Islam meliputi sebuah sistem pemikiran yang kompleks, yang melibatkan berbagai potensi yang ada pada diri manusia, dan telah menghasilkan sebuah sistem filosofis yang unik, yang telah melahirkan berbagai mazhab yang distingtif, seperti Peripatetik, Illuminationis, 'irfani, dan Hikmah Muta'aliyyah.

Apa manfaat belajar filsafat?
Saya merasakan manfaat belajar filsafat dari dua aspek: doktrin dan metodologis. Dari sudut doktrin, filsafat telah menawarkan berbagai pandangan dunia (wetanschauung/world view) yang sangat kaya, mempesona dan mendalam. Boleh dikata sebanyak filosof, sebanyak itu juga pandangan dunia ditawarkan. Kadang mereka menawarkan suatu pandangan dunia, yang aneh, dalam arti tak pernah terpikirkan oleh kita sebelumnya, dan sunggunh sangat memperkaya pikiran, dan meluaskan cakrawala kita. Misalnya Heraklietos, memberi saya keinsafan yang mendalam bahwa dunia ini ditandai oleh perubahan yang menyeluruh. Ketika kita menyangkan sebuah benda (katakanlah meja) itu diam, ternyata ia sebenarnya bergerak. Dunia itu mengalir, "panta rei, " katanya. Sebaliknya Parmeinides mengingatkan saya, bahwa dibalik semua yang berubah, ada yang permanen, yang tetap, yang tidak beruba-ubah. Maka tercetuslah ungkapan, "Semua boleh berubah, kecuali perubahan itu sendiri!." Setelah dipikir-pikir, iya juga sebagai prinsip perubahan, ia (baca: perubahan itu sendiri) tidak boleh berubah, karena kalau ia berubah, maka semua yang berubah pada saat itu akan terhenti.
Di kemudian hari Plato menjelaskan dengan lebih mencerahkan lagi, bahwa perubahan yang dibicarakan Heraklietos tak lain daripada benda-benda duniawi yang bisa kita tangkap dengan indera kita, sedangkan yang tetap, seperti yang dibincangkan Parmeinides, berada di dunia idea, dan benda-benda inderawi hanyalah bayangan darinya. Terlepas dari setuju atau tidak, tetap saja gagasan seperti ini sangat menarik dan bermakna. Di tempat lain, Demokritos, mengatakan bahwa dunia terdiri dari atom-atom, yakni satuan terkecil yang tidak bisa dibagi-bagi lagi. Contoh lain, bisa kita ambil dari filosof-filosf lain seperti Pythagoras yang mengatakan dunia terdiri dari angka-angka, atau Suhrawardi, syaikh Isyraqi, yang menyatakan bahwa dunia terdiri dari cahaya dan kegelapan, namun cahaya adalah asal segalanya. Cahaya, sebagai sumber dari segala yang ada, bahkan sumber dari segala cahaya, tidak bisa dipandang banyak. Ia percaya bahwa Cahaya, dipandang dari kecahayaannya, adalah satu, sedangkan yang membedakan satu cahaya dengan cahaya lainnya hanyalah intensitasnya. Berbeda dengan keduanya, Muhammad Iqbal mengatakan bahwa wujud terdiri dari ego-ego, dari ego yang terkecil, katakanlah debu, sampai ego yang tertinggi, yaitu Tuhan, semeangkan Leibniz percaya bahwa dunia terdiri dari monad-monad yang tertutup satu sama lain, dan sederetan ide-ide spektakular lainnya.
Bagi saya, beragam pandangan dunia ini, sama sekali tidak membuat saya bingung, sebaliknya justru membuat saya merasa berkembang, kaya dan yang lebih penting lagi bahagia. Setiap saya memahami sebuah pandangan dunia baru, bertambahlah satu kebahagiaan, sebuah kebahagiaan yang lebih menyenangkan dibanding kebahagiaan inerawi, seperti makan dan minum dsb. Barangkali sebuah kebahagiaan yang digambarkan Aristoteles sebagi lebih langgeng, lebih abadi.
Seringkali terjadi bahwa pandangan-pandangan duni tersebut bukan hanya menambah luas wawasan kita, tetapi juga memberikan kita solusi yang sangat kita butuhkan pada saat ini. Misalnya, di saat kita mulai merasakan dampak negatif dari sains modern, yang berlandaskan pada pandangan dunia sekuler dan positivistik, katkanlah misalnya dengan timbulnya krisis lingkungan yang akut, maka Ikhwan al-Shafa', dalam pandangan bisa memberi kita sebuah pandangan dunia yang lebih komprehensif dan hidup. Melalui kacamata Ikhwan al-Shafa, tiba-tiba kita menemukan dunia ini tidak lagi mati, alias tak punya nyawa, melainkan hidup dan penuh dinamika. Selain itu, mereka juga menunjukkan jalianan yang erat dan timbal balik antara alam dan manusia. Betapa tidak, sementara manusia disebut al-'alam al-shagir (mikrokosmos), alam disebutnya sebagai al-insan al-kabir (manusia agung). Dikatakan demikian, karena sebagaimana manusia punya akal dan jiwa, yakni akal dan jiwa partikular, maka alampun punya akal dan jiwa, yakni akal dan jiwa universal. Melalui Ikhwan al-al-shafa' kita disadarkan bahwa dunia ini tidaklah mati, melainkan hidup melalui akal dan jiwanya. Maka seyogyanya kita memperlakukan alam dengan penuh hormat dan sayang sebagai makhluk hidup dan sumber kehidupan kita. Semua bagian alam berjiwa, batu-batuan berjiwa, demikian juga tumbuhan, hewan, dan manusia. Seluruh makhluk Allah, termasuk jin dan malaikat juga berjiwa. Bahkan bukan sekedar berjiwa, Jalaluddin Rumi, menyadarkan kita bahwa di lubuk alam ini ada sebuah daya fundamental yang meresap ke seluruh partikel alam semesta, yang menghidupkan dan menggerakkan dunia dari bentuknya yang sederhana kepada yang lebih kompleks dan sempurna, dan kekuatan fundamental tersebut, dalam pandangannya, tidak lain daripada cinta ('isyq). Rumi berkata, "Langit berputar, karena pesona gelombang cinta. Kalau bukan karena cinta, maka dunia telah lama mati, dan beku seperti salju. Kalau bukan karena cinta, bagaimana ia (baca dunia) bisa terbang dan mencari seperti laron (untuk cahaya). Cintalah, kata beliau, yang bertanggung jawab atas perkembangan (evolusi) alam dan menjadi prinsip penggerak (dinamika) dunia. Cintalah, kata Rumi selanjutnya, yang mebuat partkel atom bersatu atau berpisah. Cinta juga yang membuat tumbuhan berkembang, dan cinta jugalah yang mendorong hewan bergerak dan berkembang biak." Dengan ini dunia yang kita tafsirkan secara kering dan tidak menariak, tiba-tiba menjadi vista yang begitu menawan dan menakjubkan. Anda tentu bisa membayangkan betapa bahagianya saya, segera setelah memahami konsep mereka yang agung ini, yang bukan saja menakjubkan tetapi juga bisa menjadi salah satu solusi terhadap berbagai krisis (lingkungan, moral dan spiritual) yang melanda orang modern, sebagai dampak negatif pandangan sekuler dan materialistik yang telah dianutnya selama ini secara diam-diam, kadang tanpa betul-betul disadari.
Aspek kedua manfaat belajar filsafat yang saya rasakan berhubungan dengan metodologi. Bagi saya, manfaat terbesar dari belajar filsafat bukanlah semata-mata pada pandangan dunia yang mereka tawarkan, tetapi justru pada cara atau metode berfikir mereka. Para filosof telah mengajari saya bagaimana mengadakan investigasi yang benar terhadap sebuah persoalan. Metode filosofis telah mengajarkan saya bukan hanya bagaimana memahami sebuah ajaran filsafat, tetapi yang paling penting adalah bagaimana berfilsafat. Berfilsafat bagi saya punya dua makna, satu bagaimana berfikir kritis, radikal, sistematis dan benar, dalam arti sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir yang baku, yakni bersifat logis. Dan terus terang, cara berfkir seperti ini telah memberikan banyak sekali manfaat, dan sangat membantu saya dalam melakukan berbagai penelitian termasuk penelitian dan penulisan karya-karya saya sendiri. Menurut saya, salah satu kendala besar yang menghambat penelitian dan penulisan karya ilmiah mahasiswa kita adalah karena kurangnya kemampuan mereka dalam berfikir kritis, sistematis dan logis, singkatnya karena ketidak mengertian mereka terhadap metode filosofis.
Makna kedua dari berfilsafat, bagi saya, adalah menyusun pandangan kita sendiri yang otentik, dalam arti tidak hanya sekedar pinjam sana pinjam sini, comot sana, comot sini. Kesalahan terbesar bangsa ini, sehingga sedikit sekali menghasilkan pemikir, apalagi filosof besar, adalah karena tidak adanya kesadaran yang tertanam sejak dini, akan pentingnya membangun pikiran kita sendiri yang otentik, yang menjadi milik dan acuan kita sendiri. Ini tidak berarti, sebuah bangunan yang sama sekali baru, melainkan sebuah bangunan unik dari bahan-bahan yang telah tersedia dalam khazanah filosofis sebelumnya. Sampai kita bisa membangun pikiran kita yang otentik, maka seorang filosof tidak akan pernah lahir dimanapun di bumi ini, tak terkecuali negeri tercinta ini. Lebih lanjut saya melihat bahwa akar kegagalan ini berasal dari motivasi kita yang salah dalam belajar. Seharusnya belajar itu didorang oleh keinginan luhur mencari kebenaran, tetapi sayangnya sebagian besar mahasiswa kita belajar dengan motivasi yang justeru bukan dan selain mencai kebenaran.

Apa Itu Sains?
Sains, adalah kata yang penting untuk didiskusikan secara filosofis, karena pengaruhnya yang besar terhadap kehidupan modern. Dalam kuliah ini akan didiskusikan, pertama, pengertian, karakteristik dan manfaat dari sains. Tapi dalam pembahasannya, pertama akan dikemukakan dulu peengertian sains, sebagaimana di pahami di era modern, kemudian pengertiannya sebagimana dipahami dalam taradisi ilmiah Islam, dengan istilah ilmu (khususnya ilmu alam)
Marialah kita mulai dengan yang prtama.
Sains dalam perspektif modern. Kata sains adalah adaptasi dari kata Inggris, science, yang sering juga secara kurang tepat diartikan sebagi ilmu pengetahuan. Secara etimologis, kata "science" berasal dari kata Latin "scire" yang arti harfiahnya mengetahui--dan derifatnya pengetahauan. Tetapi secara istilahi/terminologis, kata ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan dan harus disadari oleh setiap pelajar sains. Saampai abad pertengahan saians dipahami sebagai "any organized knowledge," artainya ilmu apapun yang terorganaisir, sehingga pada masa itu, theology disebut juga sains' sehingga muncullah istilah theological science, mathematical science bahkam metaphysical science, disamping tentu saja physical science.
Tetapi pada penghujung abad sembilan belas dan awal abad kedua puluh, sains mengalami perubahan, sesuai dengan perubahan pada ranah filosofis, yang dramatisa, di mana sains kemudian--atas pengaruh Positivisme--hanya difokuskan pada objek-objek empiris (inderawi dan fisik) saja,a sehingga pengertian sains kemudian berubah menjadi "pengetahuan yang sistematik tentang dunia fisik" (a systematic knowledge of the physical world), dengan konsekuensi mengeluarkan segala jenis pengetahauan yang tidak empiris, seperti teologi, metafisik, eskatologi dan bahkan matematik. Semua bidang yang non-empiris dikategorikan sebagi tidak ilmiah, atau quasi dan psudo-ilmiah.
Sains dibedakan dengan pengetahuan (knowledge) karena sifatnya sang sistematik dan teruji. Dari satu sisi, sistematik bisa berarti-sebagaimana dalam filsafat--bersifat logik, analitik, rasional dan metodik. Dalam arti lain sistematik bisa berarti memiliki komponen-komponen pokok yang menjadi ciri sebuah disiplin ilmu, seperti objek (baik material maupun formal) dan metode. Sifat-sifat ini sebenarnya tidak unik sains tapi dishare oleh semua disiplin ilmu. Adapun ciri khas sains terletak pada sifat empirisnya. Disiplin ilmu apapun, kalau mau disebut sains atau saintifik, harus menerima persyaratan ini. Kalau tidak maka ia tidak bisa disebut sains. Sebagai contoh, ketika psiikologi--yang sedianya dipahami sebagi ilmu jiwa, kalau ia mau sisebut ilmu, maka ia harus rela kehilangan jiwanya, dan diganti dengan tingkah-laku atau behaviour, sehingga menurut ahli psikologi kontemporer, disiplin ini tidak lagi disebut sebagi psikologi tetapi "science of behaviour."
Ciri empiris ini, kalau ditelusuri asal usulnya berhulu pada pandangan filosofis yang disebut Positivisme. Bagi kaum Positivis, yang real, dan harus menjadi fokus ilmuwan, adalah yang positiif, dalam arti yang bisa diobservasi dan diinderai, dengan atau tanpa alat bantuan, seperti mikroskopatau teleskop. Dan ciri empiris ini dalam sains modern mempunyai pengaruh yang luas sekali (pervasif), baik terhadap objek, sumber, klasifikasi Ilmu, maupun metodologi ilmu. Pengaruhnya terhadap objek ilmu adalah ditolaknya status ontologis (realitas) dari segala objek ilmu yang tidak bisa diobservasi dan pengakuan sebagi objek sains yang sah atau valid hanya objek-objek fisik yang bisa diinderai. Objek-objek non-fisik yang biasa dimasukkan ke dalam filsafat atau agama, seperti tuhan, malaikat, jiwa, hari akhir dsb. harus ditolak dari ranah sains sebagi ilusi. Jadi mereka tidak bisa lagi dipandang sebagai real. Dengan demikian objek-objek ilmiah difokuskan hanya pada entitas-enitas fisik mulai dari objek terkecil seperti atom dan subatom sampai kepada galaksi dan alam semesta, atau, dengan kata lain, dari objek-objek fisika molekuler sampai pada astro-fisika.
Pengaruh sifat atau kriteria empiris juga terlihat jelas-dari perspektif epistemologis--dari klasifikasi ilmu yang diusungnya. Konsekuensi penolakan terhadap status ontologis objek-objek non-fisik adalah dikeluarkannya dari klasifikasi ilmiah modern disiplin-disiplin ilmu non-empiris, seperti matematika--dengan cabang-cabangnya seperti aritmetika, geometri, musik dll--dan (secara khusus) metafisika, dengan cabang-cabangnya seperti ontologi, teologi, kosmologi transendet, filsafat manusia dan eskatologi. Metafisika yang pada masa klasik dan pertengahan dipandang sebagai induk ilmu, kini disingkirkan dari ranah ilmiah, dan fisikapun menggantikannya sebagi The Science. Maka klasifikasi ilmu (kalau boleh dianggap ada) di dunia ilmiah modern, berkisar hanya pada objek-pbjek fisika, dan ini, seperti disinggung oleh Holmes Rolston III, dalam bukunya Science and Religion, a Critical Survey, meliputi (1) materi atau "matter" yang menghasilkan ilmu-ilmunfisika, (2) kehidupan (life), yang menghasilkan biologi, (pikiran) pikiran (mind) yang menghasilkan psikologi, dan (4) budaya (culture) yang menghasilkan sosiologi.
Selanjutnya, pengaruh kriteria atau sifat empiris sains juga bisa dilihat terhadap sumber dan metode ilmiah. Karena objek sains hanya dibatasi pada bidang atau dunia empiris, maka sumber ilmu yang utama adalah pengamatan indera, yang digunakan, baik secara telanjang atau dengan alat, seperti mikroskop atau teleskop, untuk mengamati objek-objek penelitiannya. Akal masih digunakan, bukan terutama sebagi sumber ilmu, tetapi sebagai pemberi putusan atas keabsaham pengamatan empirisnya. Di sini, kelihatan sekali bahwa empirisme dan positivisme telah menyingkirkan pengaruh rasionalisme. Nah, kalau rasionalisme saja sudah ditolak, apalagi intuisionalisme yang bersumber pada intuisi, yang bisanya menghasilkan mistisme. Konsekkueansi pandngan empirisme menyebabkan sumber ilmu yang lain seperti akal, hati (intuisi) dan apa lagi wahyu, ditolak dan disingkirkan dari ranah dan medan saintifik.
Terakhir, pengaruh sifat empiris sains ini dapat disaksikan, dan ini jauh lebih signifikan, dalam bidang metodologi. Dengan memfokuskan diri pada objek-objek fisik, maka satu-satunya metode yang paling diandalkan dan paling absah, adalah metode observasi, yakni pengamatan inderawi, dengan atau tanpa alat bantu, atau apa yang juga dikenal dengan istilah "experimental method." Melalui metode ini, sains modern benar-benar telah mengalami perkembangannya yang spektakular, sehingga banyak hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya bisa ditemukan, dan bahkan diaplikasikan pada bidang-bidang terapan yang luar biasa. Pengamatan dan eksperimenpun dilakukan pada bidang-bidang yang sangat kecil seperti objek-objek yang berada pada level atom atau bahkan level di bawah atom (sub-atomic level) dengan ditemukannya molekul, atom, hadron dan quark. Demikian juga pengamatan dilakukan untuk mengamati hal-hal yang sangat jauh baik dari dari sudut ruang maupun waktu, yang menyebabkan manusia modern, dengan teleskop Hubble, mampu merekam apa yang terjadi milyaran tahun ke masa lalu, demgan ditemukan (bahkan) direkamnya supernove dan peristiwa astromis yang lain seperti the black-hole. Jadi dari dunia renik sampai kepada dunia mahabesar dari entitas fisk ini telah dijelajah manusia melalui observasi inderawi. Meskipun, kalau mau jujur, pengamatan terhadap objek-objek yang mahakecil dan mahabesar ini sebenarnya tidak bisa hanya dilakukan melalui pengamatan murni, melainkan, sampai taraf yang penuh arti, melibatkan teori spekulatif tertentu, yang mungkin hanya secara diam-diam dibenarkan oleh ilmuawan-ilmuan yang lebih jujur. Selanjutnya, seluruh hasil pengamatan ini harus mengalami proses verifikasi dan falsifikasi, melalui pengukuran yang sangat teliti dan sistematik sebelum sampai pada hasil hasil yang bisa diuji kebenarannya dan konsistensinya dan juga kemampuannya untuk diulang dan diprediksi. Dengan inilah maka kemudian sains dapat dibedakan dengan knowledge, dengan mana diskusi ini dimulai.

Apa Manfaat Sains
Kekuatan filsafat adalah pada konsepsi, sedangkan kekuatan sains pada persepsi. Konsepsi dihasilkan oleh penalaran akal (reasoning) terhadap objek-objek akliah (ma'qulat/intelliible), melalui metode deduksi, sedangkan persepsi adalah hasil sensasi indera terhadap objek-objeknya, dengan menggunakan metode induksi. Manfaat sains bagi saya (atau kita) dapat dirasakan dalam dua segi: teoritis dan medodologis. Secara teoritis sains (modern) telah memberi banyak informasi yang luar biasa mengenai objek-objek yang ditelitinya. Dalam sains kita menemukan banyak sekali teori-teori hebat tentang dunia fisik, dari mulai langit yang sangat amat luas, yang membicarakan bukan hanya tentang tata surya (solar system), tetapi lebih jauh lagi tentang galaksi, di mana tata surya hanya sebuah noktah kecil di pinggirannya bersama milyaran baintang lain yang terkandung di dalamnya. Bukan itu saja ternyata galaksi bima sakti (milkyway), bukan satu-satunya galaksi yang ada di alam semesta, tapi masih ada milyaran galaksi lain yang berkelompok-kelompok sebagai kluster. Ini tentu benar-benar penemuan revolusioner, kalau mengingat bahwa penemuan besar Kopernikus tentang heleosentris (sering disebut revolusi Kopernikus) ternyata baru bicara matahari sebagai pusat tata surya, tapi diklaim sebagai pusat dunia.
Selain gambaran dramatis tentang alam semesta, sains modern juga memberikan teori yang hebat bagi alam semesta kita, dan kisah kejadiannya. Menurut penelitian Hubble, alam semesta yang kita kenal ternyata dalam keadaan terus berkembang, atau yang diistilahkan the expanding universe. Dengan ditemukannya fakta ini, maka teori big bang yang dulu digagas oleh Laplace dan Kant, kini mendapat pembenaran ilmiahnya. Pengembangan atau pemuaian alam semesta ini, dipandang berasal dari sebuah ledakan hebat dari sebuah substansi yang mahapadat, yang dikenal dengan singularitas. Dari ledakannya itulah maka secara evolutif alam semesta berkembang seperti yang kita saksikan sekarang ini. Dan kalau sudah sampai saat nanti, ia akan kembali kepada keadaan yang disebut sebagai "big crunch" dimana alam semesta yang maha luas ini akan mebali ke pada keadaan semula, yakni singularits, yang disebut sebagai lobang hitam (black hole).
Selain berbicara tentang langit, sains juga berbicara tentang apa yang ada antara langit dan bumi, dalam cabang ilmu meteorologi, yang meliputi teori lapisan-lapisan atmosfer yang mengelilingi bumi (dari yang paling rendah troposfer, melalui statosfer, lapisan ozon, mesosfer, ionosfer dan terakhir eksosfer (diperkirakan bahwa tebal atau rentang antara lapisan yang paling bawah dan paling tinggi adalah sekitar 700-900 km dan yang lebih mengejutkan lagi adalah penemuan yangnmengatakan bahwa lapisan udara yang begitu tebal tersebut ternyata bergerak mengikuti rotasi bumi, sebagai akibat tarikan gravitasi bumi). Adapun bulan, yang menandai wilayah lingkup meteorologi, berjarak rata-rata 384.000 km. selain bicara tentang lapisan-lapisan bumi, meteorlogi juga bicara tentang benda-benda dan peristiwa yang terjadi antara bulan dan permulkaan bumi. Benda-benda langit yang dimaksud adalah ternasuk awan, udara, salju, hujan. Sedangkan peristiwa yang dimaksud adalah apa yang terjadi pada dan di antara benda-benda tersebut, seperti formasi awan dan badai besar (urricance), badai (angin, salju, angin puting beliung, tornedo), kilat, halilintar, salju, hujan es, dll),
Ketika perhatian turun ke bumi, maka sains mengkaji bidang-bidang yang berbeda, seperti yang berkenaan dengan unsur-unsur (dibahas dalam kimia), ruang, waktu dan berak benda-benda (sebagai kajian utama fisika), kemudian benda-benda mineral (mineralogi), tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan (biologi), tentang pikiran dan gejala mental manusia (yang dibahas dalam psikologi) dan budaya yang dibahas dalam sosiologi. Dalam bidang fisika, sains modern telah membongkar rahasia terdalam dari dunia fisik, tidak terbatas hanya pada atom,--yang dulu dipandang sebagai bagian atau komponen terkecil dunia fisik yang tak bisa dibagi lagi,--tapi lebih dalam dari itu, menyelam ke dunia di bawah level atom (sub-atomic level), dengan ditemukannya hadron dan quark. Fisika juga menemukan beberapa daya fundamental alam seperti gravitasi, elektromagnetik, golombang nuklir lemah (weak force) dan gelombang nuklir kuat (strong force). Di bidang minerologi, telah ditemukan substansi-substansi mineral yang jauh lebih mahal dari pada emas,mperak bahkan intan dan berlian, seperti uranium dan plutonium. Selain itu, terungkap juga suatu kekuatan besar yang tidak terbayangkan sebelumnya yang justru muncul dari substansi yang paling kecil, yaitu atom dan bahkan dari inti atom, yaitu daya atom atau nuklir. (bersambung).



0 comments:

Post a Comment